Sakaratul Maut

1593 Words
Di acara pernikahan Sarah pun, Mayang sudah mempunyai niat buruk. Ia ingin meracuni semua tamu undangan, tapi syukurlah Sarah datang tepat waktu sehingga rencana busuk itu digagalkan. Mayang dengan terang-terangan menyukai Raka dan ingin menghancurkan hidup kakaknya. Namun, Sarah langsung memeluk kaki Mayang, bersujud memohon agar direstui. Merelakan Raka menjadi suami Sarah. Namun, gadis itu tetap bersikukuh. Cintanya pada Raka kini membutakan hati dan pikirannya. "Jangan gegabah, Dik. Kamu tau sendiri kalau Mas Raka sangat mencintaiku. Percuma kamu memohon kepadanya, dia akan tetap memilihku. Lebih baik kamu merelakan dia, Dik," ujar Sarah. Mayang tak mengindahkan kata-kata itu. Kini ia membenci Sarah, tak menganggapnya kakak kandung lagi. Setelah resepsi pernikahan selesai dilaksanakan dan mereka berdua resmi menjadi pasangan suami istri, Mayang angkat kaki dari rumah dan tidak ada yang bisa mencegahnya. Beberapa bulan kemudian, Sarah hamil muda. Kebahagiaan keluarga kecil itu semakin lengkap. Sarah dan Raka tak sabar menimang anak. Mayang pun hilang tanpa kabar selama itu. Dihubungi pun tidak aktif. Kedua orang tua yang khawatir setengah mati, tapi tidak bisa berbuat banyak karena usia senja. Berkali-kali melapor orang hilang, hasilnya nihil. Bahkan teman-teman Mayang pun tak tahu gadis itu pergi ke mana. "Terakhir kali kami ketemuan, dia kayak tertekan dan sedih banget. Kami gak tau dia kenapa. Udah nanya, eh diem aja. Ya, kami kira ada masalah di kerjaannya," ucap salah satu sahabat Mayang. Sarah semakin cemas, terlebih Mayang adalah adik satu-satunya. Meskipun sifat Mayang jauh berbeda darinya, tetap saja ia menyayangi gadis itu sepenuh hati. Sekarang ia menyesal, sedih karena dirinya Mayang pergi. Namun, Raka menenangkan. Mungkin Mayang pergi untuk menyembuhkan patah hatinya. Tidak ada manusia yang ingin patah hati memang. "Aku takut dia nekat, Mas," ucap Sarah. Di tengah penglihatanku, bagian d**a terasa sesak dan Pak Aji pun menyuruhku berhenti dulu. Kisahnya lumayan dramatis, terlebih cinta segitiga yang melibatkan saudara kandung sendiri. Ribet dan memang harus ada yang mengalah. Mayang memang mengalah, tapi siapa sangka kepergiannya selama ini demi melancarkan suatu aksi? Rupanya, Mayang pergi ke luar kota yang jaraknya cukup jauh dari kota tempat Sarah tinggal. Ia tinggal bersama nenek tua bernama Nek Asih. Nek Asih adalah wanita paruh baya yang tinggal sebatang kara karena suaminya telah meninggal dunia. Anak-anaknya pun pergi merantau, tak pernah menjenguk sang ibu lagi. Kedatangan Mayang tentu membuatnya tak kesepian. Selama Mayang tinggal di sana, ia diam-diam mempelajari ilmu hitam. Ilmu yang dianut oleh Nek Asih, santet dan pelet. Kadang kala, Nek Asih juga menjelaskan tentang ilmu pengasihan. Alhasil, ketika itu banyak pria yang datang melamar Mayang. Namun, tentu saja ia menolak karena hatinya masih terisi Raka. Kini, Mayang sudah siap dengan ilmunya. Penampilan yang berbeda, lebih misterius dari biasanya. Ia pulang ke rumah sang kakak yang tengah hamil enam bulan. Sarah berteriak gembira begitu membuka pintu dan mendapati Mayang berdiri di hadapannya. Mayang tersenyum manis, ia pun menyalimi sang kakak takzim. Begitu juga ke Raka, orang yang pernah dia sukai. "Mas, aneh banget. Aku kan lagi hamil, kok keluar darah, ya?" "Hah? Kok bisa?" Raka ikut bingung. "Besok ke dokter deh tanya, Mas. Sumpah, aku takut banget." "Masa lagi hamil bisa keluar darah haid?" tanya Raka yang diikuti gelengan singkat dari sang istri. Percakapan singkat itu didengar jelas oleh Mayang. Ia tersenyum iblis, kemudian buru-buru pergi dari sana sebelum ketahuan. Beberapa hari kemudian, Raka mengeluhkan sesuatu. Ia merasakan sakit yang luar biasa di area perut ketika menjelang magrib. Sakitnya seperti dililit. Esoknya, ia dan Sarah memutuskan untuk periksa ke dokter. Namun, dokter berkata semuanya normal, tidak ditemukan penyakit serius. Mereka pulang dengan kebingungan. Penyakit jenis apa yang tidak terdeteksi ilmu pengetahuan? Akhirnya, selama dua minggu Raka tersiksa dengan sakit itu. Dari magrib hingga subuh, ia hanya bisa merintih menahan sakit. Sarah terus menangis karena tak tega dan tak bisa berbuat apa-apa. Sudah dipanggilkan orang pintar, malah dibuat geram karena dukun itu meminta syarat aneh-aneh. Tentu Sarah menolaknya. Sakit yang dialami Raka semakin parah. Sebulan kemudian, wajahnya dipenuhi luka terbuka dan dipenuhi belatung. Sarah dengan sabar memunguti belatung-belatung itu dan membuangnya. Tidak ada rasa jijik ataupun geli. Ia berharap penuh sang suami bisa sembuh. Sudah bermacam obat dipakai, tapi hasilnya nihil. Tidak ada yang manjur mengobati luka itu. Sarah yang putus asa, hanya bisa menangis di samping raga suaminya. Mayang hanya menginap satu hari, ia langsung pulang ketika itu. Sempat curiga, tapi Sarah menepisnya. Ia tak mau berprasangka buruk pada adik sendiri. Mayang kembali pulang ke rumah Nek Asih. Ia bangga telah berhasil menyakiti seseorang. Sarah yang hamil tua, semakin stres karena suaminya tak kunjung membaik. Malah semakin parah, lukanya menyebar ke seluruh tubuh. Ia berhenti bekerja sejak dua bulan lalu. Badan Raka pun semakin habis. Seharian hanya berbaring di ranjang, makan dan minum disuapi oleh Sarah. Bahkan buang air pun, tidak bisa pergi ke toilet. Raka sering mengompol dan tentu saja itu merepotkan Sarah. Namun, ia bersabar sambil terus mencari obat. Hingga di tengah keputusasaannya, ia dipertemukan oleh seorang ustaz. Ustaz Zain itu bersedia mencari jalan keluar. Ia iba melihat Sarah yang tengah hamil tua, tapi suaminya malah sakit-sakitan. Sarah terkejut begitu tahu penyebab sakit Raka adalah ilmu hitam, yaitu santet. Hal ini diperkuat karena pengobatan medis tidak memberi efek apapun pada tubuh Raka. Ustaz Zain pun melihat sosok hitam yang duduk di pojokan, samping ranjang Raka. Namun, Ustaz Zain belum tahu siapa yang mengirim santet itu. Pada akhirnya, pencarian pun dilakukan oleh beberapa anak pesantren. Mencari benda santet yang disebut buhul itu ke sekitar rumah. Firasat Ustaz Zain mengarah ke sebelah pohon pisang. Ia pun menggali tanah di sekitar pohon itu dan menemukan sebuah kain putih yang diikat karet gelang. Ketika dibuka, kain putih itu berisi kertas bertuliskan mantra sihir, juga sebuah tisu yang bernoda merah. Seperti darah. "Ini perantara ilmu sihirnya," ucap Ustaz Zain. Sarah yang mengenali tisu itu pun langsung membekap mulut. Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Sarah yang memang menunggu kedatangan Mayang pun, dibuat kaget setengah mati. Mayang sengaja ingin pergi ke rumah kakaknya karena ingin memastikan santet itu bekerja. Begitu Sarah membukakan pintu, Mayang ternganga tak percaya. "Loh, Kak? Kok kamu sehat bugar begini?" "Maksudnya?" Sarah kebingungan. Mayang pun celingak-celinguk, lalu menerobos masuk rumah. Ia mendekati Raka yang sekarat. "Mas, kamu kenapa? Ini kenapa?" Sarah menjelaskan semuanya yang terjadi dan Mayang syok berat. Ternyata santet itu salah sasaran. Ia berniat mencelakai dan membunuh kakaknya perlahan, tapi malah mengenai Raka. Usut punya usut, tisu bernoda merah itu adalah darah Raka ketika ia terluka karena teriris pisau. Mayang mengambil tisu itu dari tong sampah, mengira darah tersebut berasal dari darah haid Sarah. Sayang sekali, ia keliru kali ini. Sarah membawakan buhul yang ditemukan di samping pohon pisang kemarin, kemudian menunjukkannya pada Mayang. "Ini dari kamu, Dik?" tanya Sarah berusaha tenang. Mayang bergeming, ia takut menjawab dan hanya duduk pasrah. "Kamu berniat membunuh Kakak?" tanya Sarah lagi kecewa. "Kalau tau secinta ini kamu sama Mas Raka, Kakak bakal relakan dia. Kakak bakal meminta cerai meski dia gak mau! Lebih baik Kakak yang sakit hati ditikung adik sendiri, daripada lihat Mas Raka begini! Lebih baik melihat kalian bahagia bersama!" lanjutnya. "Ma–maafkan aku, Kak! Aku khilaf! Kakak boleh lampiaskan amarah ke aku sekarang," ucap Mayang menyesal. "Gak ada gunanya. Kamu menyesal begini apa bisa mengobati Mas Raka?" Sarah menelepon Ustaz Zain dan berkata bahwa ia sudah menemukan siapa pelakunya. Ustaz dan beberapa anak pesantren pun datang ke rumah Sarah. Mereka terkejut begitu melihat gadis cantik ini, ternyata penganut ilmu hitam dan berniat mencelakai kakak sendiri. Mayang menyaksikan detik-detik sakaratul maut Raka. Sarah hanya bisa mencium tangan sang suami, berdoa agar sakaratul mautnya diringankan. Sekitar setengah jam dibantu ustaz, akhirnya Raka mengembuskan napas terakhir. Sarah menangis histeris, tapi di sisi lain ia bahagia. Raka tak merasakan sakit itu lagi. Ia mencium kening sang suami untuk yang terakhir kali. Berderai air mata, ia mengarahkan tangan Raka mengelus perutnya. "Ini anak kita, Mas. Kamu sayang banget sama dia. Dulu aku juga begitu, tapi gak tau sekarang. Bisa apa aku tanpa kamu?" ucapnya sendu. Mayang pun dibawa ke suatu tempat, dikurung dalam rumah yang dulunya kosong. Sendirian, makanan hanya dua kali sehari, ditambah kondisi rumah yang kotor. Ia tak nyaman dan berusaha kabur, tapi tidak akan bisa. Semua pintu dan jendelanya dikunci rapat. Keesokan harinya, proses pemakaman Raka pun dilaksanakan. Sarah yang tak berhenti menangis, berkali-kali pingsan. Terlebih sedang hamil tua, tentu beban pikirannya bertambah. *** "Akh!" Setelah melihat gambaran itu, aku merebahkan diri karena seluruh tubuh terasa nyeri. Ditambah pusing dan perut mual. Kata Bibi, wajahku sangat pucat. Ia sempat khawatir, tapi Pak Aji bilang tidak masalah. "Kasihan Sarah," ucapku mengiba, tak terasa air mata mengalir deras. Telah kuceritakan semua yang kulihat kepada mereka. "Iya. Gak nyangka masa lalunya begitu menyedihkan. Apa karena itu dia jadi begini? Balas dendam ke orang lain?" tanya Fany. "Soal itu belum bisa dipastikan. Kita harus cari tahu penyebab ia memilih Arif sebagai targetnya. Mungkin bisa kita tanyai pelan-pelan supaya dia gak merasa tertekan," jawab Pak Aji memberi saran. "Santet ini dahsyat sekali. Bisa membunuh orang perlahan. Dosanya juga gak main-main," timpal Bibi. "Nah, iya. Nasib Mayang, Sarah, dan bayi di kandungan Sarah gimana ya habis itu?" "Sudah, besok kita lanjut lagi. Kamu kelelahan, istirahat." Mas Arif membantuku berdiri dan membawaku ke kamar. Ia bilang tak ingin tidur bersama dulu, takut menggangguku. Biasa, tidurnya seperti orang pencak silat. Tanpa sadar menendang istri sendiri. Karena takut gelap, tak kumatikan lampu. Meminta Mas Arif mematikannya ketika aku sudah terlelap. Setelah tahu hal ini, apakah masih ingin membenci Sarah? Ya, bisa jadi, jika ia tak mengakui semuanya. Aku lelah dan tak tega, Mas Arif menjadi korbannya. Takut nasib Mas Arif seperti Raka kelak. Ah, jangan sampai, sebelum itu terjadi, wanita itu akan kubereskan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD