Wanita Cantik

1617 Words
Usai berziarah, rasa penasaranku tentang rumah itu semakin menjadi-jadi. Sebuah rumah kosong yang dijadikan tempat penyembahan oleh Sarah. Meskipun takut terjadi sesuatu jika kami masuk, tapi Mbah Parto berjanji akan selalu menjaga kami. Ia tak ingin terlalu berlarut-larut. Hingga pada suatu hari, sakit yang diderita Pak Burhan semakin parah. Tidak ada yang bisa mengobati, Fani pun hanya bisa menangis tak tega. Sang ayah merintih kesakitan sepanjang waktu tanpa tahu apa penyebabnya. Gadis itu sudah berkeliling, mendatangi rumah-rumah orang yang sekiranya dapat menolong. Entah itu dukun, orang pintar, hingga kakek tua yang dipercaya bisa menyembuhkan penyakit apapun. Namun, tidak ada satu pun yang berhasil. Beberapa dari mereka malah ikut merasakan sakit. Fani semakin kebingungan tatkala wajah dan lengan ayahnya dikerumuni ulat-ulat kecil. Ya, entah luka dari mana, yang membuat kulitnya membusuk dan menjadi sarang belatung. Ditambah Pak Burhan yang selalu mengeluh kepanasan, padahal kipas angin sudah dinyalakan. Pun Fani setia mendampingi sang ayah yang tak berdaya lagi. Dengan sabar ia mengambil satu per satu belatung itu dan membuangnya. Mengabaikan rasa jijik dan geli. Ia hanya ingin kesembuhan untuk sang ayah. Ibunya bisa apa? Wanita itu pun bak lumpuh seluruh badan, tak mampu digerakkan. Bingung sendiri bagaimana mengobati karena secara medis tidak ditemukan penyakit apapun. "Sepertinya beliau kesulitan sakratatul maut," ucap Mbah sambil memegang kepala Pak Burhan. Sejak tadi tubuhnya bergetar, matanya memelotot ke atas, dengan kedua tangan mengepal kuat. Ia menahan sakit, yang entah karena penyakit itu atau karena ajal. "Ikuti ucapan saya bisa, Pak? Ucap syahadat." Pak Burhan mengangguk lemas, kemudian kata demi kata ia ucapkan mengikuti Mbah. Tepat di kata terakhir, ia memejamkan mata dan seluruh tubuhnya bergeming. Napas terakhirnya telah diembuskan. Ia sudah berada di tempat yang berbeda. Tangis kehilangan memenuhi ruangan, termasuk Fany yang masih tak menerima takdir ini. Ia terus mengumpat, menyalahkan Sarah atas kematian ayah tercinta. "Bersabarlah, Nak. Kendalikan dirimu. Ini semua telah ditakdirkan," ucap Mbah sambil memeluk gadis itu. Ia sedang patah hati, jatuh sejatuh-jatuhnya. Titik terendah dalam hidup. "Kenapa sih Sarah itu?! Kenapa dia merenggut nyawa ayahku?!" ucapnya dengan suara parau. Sudah habis tenaga karena lelah menangisi kepergian sang ayah. "Sudah, sudah. Gak baik menangis berlebihan di samping jenazah." Fany kubawa paksa masuk ke kamar karena ia tak mau sang ayah dimandikan. Tatapannya kosong, tubuhnya pun terasa hangat. Memang sangat sulit jika berada di posisinya. Sang ayah telah berpulang, lalu ibunya sendiri pun tak bisa berbuat apa-apa. "Jangan nangis terus, kasihan ayahmu," ucapku. "Mbak, terus saya harus gimana sekarang? Saya gak punya siapa-siapa lagi." Masih tersedu-sedu ia memelukku. "Ada Mbak di sini, jangan merasa sendiri. Kamu bisa tinggal di rumah Mbak kok. Bawa ibumu sekalian nggak papa," kataku. "Gak papa, Mbak? Gak ngerepotin?" "Nggak, Sayang. Rumah Mbak besar dan cuma ditinggali tiga orang, pasti sepi banget. `kan? Kalau ada kamu, setidaknya Mbak ada temen semisal Mas Arif pergi kerja," balasku sedikit tertawa, bermaksud menghiburnya. "Iya, nanti saya kemas baju dan tinggal di rumah Mbak." Ia tersenyum dan memejamkan mata. Mungkin sedang berusaha menerima takdir Allah. Takdir yang harus ditelannya pahit-pahit saat ini. *** Suasana pemakaman yang sangat menyedihkan. Cuaca mendung, akses jalan yang becek dan membuat pengantar jenazah lumayan kesulitan. Ditambah lagi angin deras yang hampir membuat mereka goyah. Syukurlah, jenazah berhasil dikebumikan meski melewati banyak rintangan. Taburan bunga dan lantunan doa turut mengantarkan arwah ke Sang Pencipta. Isak tangis Fany membuat hatiku perih. Hanya datang beberapa teman dan kenalan Pak Burhan untuk mendoakan. Namun, tetap saja ia sendiri, tak punya seseorang yang dekat dengannya lagi. "Bajumu udah siap? Kita berangkat sekarang," tanyaku sepulang dari makam. Sebelumnya, kami duduk-duduk dulu di rumah Mbah Parto. "Sudah, Mbak. Disiapin sama ART saya. Tinggal diambil," jawabnya dengan kepala tertunduk. Ia masih menatap makam sang ayah dari kejauhan, berada di ujung sana. Entah berapa lembar tisu yang ia gunakan untuk menyeka air mata. Merasa dunia tak adil lagi untuknya saat ini. Kami pun berangkat pulang, sebelumnya mengambil koper dan barang-barang Fany di rumahnya. Pun menjemput sang ibu yang terbaring di ranjang seorang diri. "Tadi kata Ibu, dia nggak mau ikut, Non. Dia mau di sini sama saya, katanya repot nanti kalau kangen sama almarhum," jelas Mbak Surti, ART Fany. "Loh, Ibu bisa ngomong tah?" "Bisa, Bu, kalau ngomong dikit-dikit masih nyambung." "Hm, gimana, ya? Saya gak tenang kalau Ibu di sini, sedangkan Fany di rumah saya," ungkapku. "Nggak papa, Mbak. Ada saya kok, saya bisa rawat beliau di sini. Nggak masalah," jawab Mbak Surti ramah. "Yang bener, ya? Ok, kalau untuk uang belanja nanti saya yang tanggung tiap bulan. Mbak tinggal masak dan rawat Ibu baik-baik. Seminggu sekali saya jenguk, ya sama Fany. Terima kasih." Setelah Fany masuk mobil, aku tak langsung masuk karena heran melihat sesuatu. Mbak Surti buru-buru masuk dan membanting pintu. Perilaku yang mencurigakan, tapi sudahlah, mungkin ia tergesa-gesa melakukan pekerjaan rumah. Sepanjang perjalanan, Fany tak mengucapkan sepatah kata pun. Ia menatap jendela, sesekali mengecek ponselnya itu. Ketika layarnya tak dimatikan, aku pun tak sengaja melihat percakapan WA-nya. Banyak chat yang belum dibalas, mungkin ucapan belasungkawa dari kerabat dan teman-temannya. "Kenapa belum dibalas, Dek?" tanyaku. "Belum mood, Mbak. Nanti aja kalau udah baikan. Lagipula mereka pasti paham kenapa aku lama balesnya," jawab gadis itu lalu kembali menatap jendela mobil, "boleh buka jendelanya, Mbak? Setengah aja." "Boleh, silakan." *** Entah berada di mana ini, tempat yang asing dan tak pernah kukunjungi sebelumnya. Seram dan sendirian, hanya suara-suara aneh yang terdengar di telinga. Tiada satu pun orang yang bisa dimintai bantuan. Aku tetap berjalan mengikuti jalan setapak ini, entah ke mana tujuan akhirnya. Jantung berdegup kencang, napas terengah-engah ketika kumerasa ada yang mengejar. Sosok hitam tinggi besar bermata merah. Seakan-akan aku adalah mangsa untuknya. Tibalah aku di sebuah gubuk reot yang terletak di pinggir danau. Gubuk itu ditumbuhi banyak bunga-bunga yang terawat. Di sampingnya pun ada kolam ikan. Ah, tak panta rasanya halaman terawat ini berada di tengah hutan. Hanya satu dan kesepian. Mungkin bagian dalam gubuk ini juga mewah. Pelan-pelan melangkah menuju teras, pintunya setengah terbuka. Pasti ada orangnya di dalam. Namun, aku salah. Berkali-kali mengetuk pintu, tidak ada yang menyahut. Hingga kuputuskan untuk langsung masuk saja dan ya ... gubuknya kosong, tidak ada seorang pun di sini. Gelap, tapi masih remang-remang bisa melihat benda-benda di sini. Aku menelusuri seluruh ruangan dan terkejut melihat banyaknya barang mewah. Perhiasan, uang, dan barang-barang antik. Siapalah yang meninggalkan gubuk mewah ini? Kuberanikan diri menyentuh salah satu cangkir mewah dengan ukiran khasnya. Ketika diangkat, lumayan berat. Pasti harganya mahal. Prang! Tak sengaja kumenyenggol vas bunga di atas meja hingga pecah. Panik, aku pun memunguti pecahan itu dan salah satu pecahannya melukai jariku. Darah menetes, jatuh di atas lantai. Perihnya bukan main, lukanya lumayan dalam dan lebar. Segera aku mencari kain untuk membalut luka ini. Dalam lemari ada kain merah panjang yang tipis. Kurobek dua bagian, satu untuk mengumpulkan pecahan kaca, satunya untuk membalut luka. Begitu darahnya berhenti mengalir, aku pergi mengubur pecahan kaca itu di belakang gubuk. Entah mengapa hari ini terasa lama. Siang mulu, kapan berganti malam? Aku lapar dan kehausan. Di gubuk itu tidak ada makanan. Akhirnya aku mengambil ikan di kolam untuk dimasak. Bermodal kayu bakar dan susunan batu, jadilah alat panggangan sederhana. Setelah dibersihkan seadanya, tiga ekor ikan berukuran sedang itu kutusuk kayu kecil dan mulai dimasak. Jangan tanya bagaimana aku mendapatkan api. Tentu saja menggesek bebatuan hingga terpercik api. Percikan ini harus segera dirambat ke kayu bakar. Tak sia-sia belajar IPA sejak SMP dulu. Namun, ketika asik menunggu ikan matang, tak sengaja kudengar suara rintihan dari dalam gubuk. Gegas aku memeriksa, dan seketika tubuhku membeku. Bibir terkunci, tak bisa berucap apa-apa padahal sangat ketakutan. Sosok mengerikan itu, wajahnya hancur dan darah menetes dari tangan dan kakinya. "Akhirnya kamu datang, Risti," ucap sosok itu lalu terdengar suara tertawaan. "Aku sudah terlalu lama menunggumu ke mari. Akhirnya kamu jatuh dalam perangkapku," lanjutnya lalu berubah menjadi wanita yang sangat cantik. Ia mengulurkan tangan sambil tersenyum manis. "Ayo, kuajak kamu ke suatu tempat yang sangat indah seperti surga. Ada banyak makanan dan tentunya, kamu bisa bertemu dengan sahabatmu itu." Ia merayuku. "Tania?" "Ya, Tania!" "Ja ... jadi dia udah bahagia di surga?" tanyaku terbata-bata. "Tentu saja! Dia kangen banget sama kamu, makanya kamu ada di sini. Ayo, kita ketemu dengannya di sana!" ajak wanita itu sambil menarik paksa tanganku. Lama-lama, tarikannya semakin kuat dan sakit. Anehnya, kakiku tak beranjak, seperti tertempel di lantai tempatku berpijak. Ia terus berusaha hingga wajahnya merah padam. "Jangan dipaksa, sakit!" keluhku. Namun ia tetap bersikeras. "Dia sudah menunggu di sana, Risti! Kamu harus datang, ikut aku!" ucapnya lagi. "Tapi sakit kamu tarik paksa begini!" Aku mulai emosi. Ia berhenti menarik dan diam, lalu menatap sesuatu di belakangku. Perasaan tidak ada siapa-siapa. "Kamu! Jangan ikut campur! Biarkan aku membawanya pergi! Haha!" bentaknya sambil menunjuk sesuatu di belakangku. Karena takut, aku hanya diam tak berani menoleh meski penasaran ada siapa di belakang. "Pergi! Jangan ikut campur!" Sosok itu muncul dan mulutku langsung dibekap. Samar--samar kulihat wajahnya. Itu Mbah Parto! Setelah itu, mataku terpejam dan tidak tahu apa-apa lagi. *** "Astagfirullah!" Ternyata hanya mimpi! Ya Tuhan, napasku sampai tak beraturan. Tunggu dulu, mengapa ada Mbah Parto dan Bibi di sini? "Mbah?" panggilku, takut salah lihat lagi. "Alhamdulillah kamu selamat." Aku semakin bingung dibuatnya. "Selamat apa? Saya dalam bahaya?" "Lihat jarimu." Aku terkejut bukan main. Jari telunjukku terluka dan dibalut kain merah. Kain yang sama di dalam mimpiku tadi. Perihnya pun masih terasa. Bagaimna bisa? "Lihat pergelangan tanganmu." Ini meraah-merah dan lecet. "Ditarik paksa jadi begitu." Aku mendengkus kasar dan menyandarkan diri. Jadi Mbah Parto benar-benar masuk ke mimpi dan menyelamatkanku? Luar biasa. "Wanita itu hendak membawamu ke dunianya. Untung Bi Inem menelepon karena ada hal aneh. Saya langsung datang dan mencoba menahanmu supaya tidak ikut bersamanya," jelas lelaki itu. "Lain kali, jangan mudah tergoda bujukan setan. Mereka itu musuh kita yang paling nyata."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD