Bi Inem pun bercerita bahwa ketika tadi sedang bermimpi, aku berjalan menuju jendela dan hendak menjatuhkan diri. Untunglah ia datang dan langsung mencegahku terjun bebas dari lantai empat. Bibi menutup rapat jendela, kemudian menelepon Mbah Parto.
Hitungan menit beliau sampai dan langsung masuk dalam mimpiku.
"Masih ingat wajah sosok di mimpimu itu?" tanya Mbah Parto setelah Bibi bercerita.
Hm, ingat tidak, ya? Wajahnya hancur, hanya bagian bibir yang masih utuh. Bola mata pun keluar dari tempatnya.
"Saya duga itu adalah iblis yang disembah Sarah," ucapnya lagi.
"Bisa jadi, Mbah, karena belakangan memang sering bermimpi dikejar sosok hitam," ungkapku.
"Ya sudah, kamu istirahat dulu. Besok Mbah ke sini lagi."
Ia beranjak pergi dan ya, tubuhku terasa lemas. Badan sakit semua, ditambah bagian kaki dan tangan kedinginan. Bibi pun mengolesi minyak kayu putih agar hangat.
Fany datang membawa nampan berisi sesuatu. Ketika ditengok, rupanya semangkuk bubur dan jus apel hangat.
"Gak usah repot-repot lain kali, Dek," kataku sungkan.
"Tadi dia sendiri yang mau masak buat Ibu," timpal Bibi.
"Oh, ya? Ternyata kamu bisa masak juga."
"Bisa dong, Mbak. Masa anak kuliahan nggak bisa masak. Nanti boros dong tiap makan ke warteg mulu."
Tawa kami pecah, seiring melupakan duka. Fany pun menyuapiku dengan sepenuh hati. Terlihat dari sorot matanya yang teduh dan pelan-pelan menyuapi.
***
Minggu pagi, kami menjalani rutinitas seperti biasanya. Gantian aku yang memasak karena Bibi cucian dan menyapu lantai. Fany? Ia kusuruh duduk saja menemani Mas Arif. Takut pikiran suamiku itu kosong dan kembali dirasuki jin.
Setelah pekerjaan selesai, Mas Arif mendatangiku karena ingin mendiskusikan sesuatu. Dengan perasaan gelisah, aku pun mengikutinya.
"Dek, kan kamu kemarin pengen pindah, ya. Mas udah nemu rumah yang nggak jauh dari sini. Nanti Mas anterin buat lihat-lihat dulu. Mau?" jelas Mas Arif.
Aku menggumam, cepat juga ketemu rumahnya.
"Nanti siang aja, sekarang masih mager," ucapku.
"Terserah kamulah, Dek. Rumahnya bagus, banyak tetangga kanan kiri jadi nggak sepi."
"Oh, ya? Gede gak?"
"Hm, lumayan. Itu udah berkali-kali pindah tangan. Ya, mungkin ada beberapa orang yang nggak suka suasana rumah itu."
Mas Arif menunjukkan sebuah foto. Sebuah rumah bercat putih yang memiliki dua lantai. Halamannya luas, rumput-rumput hijau yang lumayan terawat. Samping kiri kanannya ada beberapa rumah kecil.
"Bagus, suka. Cuma nanti beberapa potnya disingkirkan aja, ngehalangi pandangan."
"Iya, Bos."
Tiba-tiba Fany datang dan ikut menyimak percakapan kami di ruang tamu itu.
"Bahas apa, nih?" tanyanya semringah. Tampaknya ia sudah mulai bangkit dan merelakan kepergian sang ayah.
"Ini, Mas Arif ngusulin rumah baru karena kita mau pindah," jawabku lalu tersenyum, "kamu nanti ikut kita, `kan?"
Dahinya mengerut, wajahnya pun berubah datar.
"Kok pindah, Mbak? Jadi rumah ini dijual?"
"Iya, dijual. Saya yang minta pindah karena rumah ini banyak gangguan gaibnya. Saya ingin hidup tenang."
"Sayang banget, Mbak! Aku nyaman di rumah ini, masa harus pindah lagi." Ia menggerutu.
"Gak papa, nanti juga terbiasa."
Setelah dipikirkan matang-matang, akhirnya kami jadi mengambil rumah itu. Siang ini sekitar pukul dua, kami serumah akan pergi melihat langsung. Sekaligus bertemu dengan pemilik rumahnya, Pak Sudrajat.
***
"Wah!" Aku terkagum-kagum, rumah semewah ini kok bisa ada yang tak betah? Rapi, catnya pun masih baru. Halaman sejuk dan luas, lengkap dengan garasi mobilnya.
Mas Arif sangat pandai mencari sesuai seleraku!
Pak Sudrajat datang, aku pun ramah menyapanya. Namun, ia hanya mengangguk pelan. Orang ini sangat dingin, pikirku.
"DP-nya tiga ratus juta dulu, minggu depan langsung kami lunasi begitu rumah lama terjual," ucap Mas Arif.
"Ah, masa cuma tiga ratus juta, Pak? Setengah harganya aja sekalian."
Aku dan Mas Arif saling beradu tatap.
"Baru megang uang segini, Pak. Minggu depan, pasti saya lunasi karena ada teman saya yang mau beli rumah lama." Mas Arif berusaha meyakinkan.
Pak Sudrajat pun manggut-manggut setuju, kemudian mengantar kami masuk untuk melihat-lihat.Seluruh perabotannya ditutupi plastik dan kain putih. Jendela kaca itu pun berdebu dan tirainya kumal. Gatal sekali tanganku ingin membersihkannya.
"Beginilah, sudah tiga bulan tidak ditempati," ucap Pak Sudrajat.
"Tiap hari Bapak mantau ke sini, ya?" tanyaku.
"Iya, sekadar membersihkan halaman rumah dan langit-langit. Takut dihuni setan."
Aku dan Mas Arif saling beradu tatap, kemudian mengalihkan pandangan ke arah lain. Perhatianku tertuju pada sebuah foto yang terpajang di dinding dekat televisi. Bingkainya lumayan besar.
Ketika mendekat, Pak Sudrajat memanggilku karena mereka ingin melihat semua kamar di rumah ini. Namun, karena masih penasaran, aku pun menyentuh foto itu.
Foto satu keluarga yang tersenyum bahagia. Terdiri atas tujuh orang yang memakai baju seragam. Mengapa masih terpajang di sini?
Apakah ini foto keluarga yang terakhir kali tinggal?
"Risti, cepatlah, ditunggu!" teriak Mas Arif. Aku langsung berlari menghampirinya yang sudah berada di atas tangga.
Begitu sampai, tercium aroma parfum yang lumayan menyengat. Awalnya kami menduga ini wangi parfum dari Pak Sudrajat, tapi ia menyangkal. Ia jarang memakai parfum, hanya ketika pergi salat Jumat. Kalau diduga-duga, baunya khas parfum wanita.
Anehnya, kamar ini adalah kamar anak laki-laki. Dicari ke seluruh ruangan pun tidak ditemukan parfum satu pun.
Mulai curiga, aku meminta Mas Arif untuk segera pulang dan tak jadi mengambil rumah ini. Entah mengapa perasaanku tak enak, hawanya berbeda. Lebih baik di rumah lama saja.
"Apaan? Bukannya suka?" bisiknya.
"Udah, pulang aja. Nanti di rumah aku jelasin."
Dengan berat hati kami meminta izin pulang, beralasan kepalaku sakit. Pak Sudrajat pun manggut-manggut dan mengantar kami sampai halaman depan.
Ketika menoleh lagi, entah mengapa terasa berbeda. Terlihat bayang-bayang aneh, bahwa rumah tersebut tak seindah yang kami kira. Namun, aku hanya menganggap itu hal biasa dan tak perlu dipusingkan.
***
"Ah ...." Aku menjatuhkan diri di atas sofa dan memejamkan mata. Lelah sekali hari ini, padahal hanya keluar sebentar.
"Dek, kenapa gak jadi ambil rumahnya? Kan Mas udah bayar DP," tanyanya yang membuatku malas.
"Mas, feeling perempuan itu kuat. Kalau tiba-tiba aku berubah pikiran, tandanya memang ada yang nggak beres. Kan bisa minta balikin uangnya," jawabku enteng.
"Enak banget ngomongnya, Dek. Mas malu banget loh kalau begitu. Kamu ini labil banget," katanya mulai emosi.
"Ya, udah, Mas ambil aja rumahnya, tapi rumah ini nggak kujual. Aku tetep tinggal di sini bareng Bibi dan Fany," celetukku tak mau kalah," pilih mana?"
"Kamu ini, ya! Gak semua perasaan itu harus diikuti! Kadang itu cuma kekhawtairan kamu aja. Pakai logika sedikit coba." Nada bicaranya yang mulai meninggi membuatku agak sedih.
Namun, karena tak ingin memperpanjang masalah, aku pun pergi ke kamar dan mengunci pintu. Ia menggedor-gedor dari luar dan meminta segera diselesaikan. Suasana hati yang sedang hancur ini membuatku malas berbicara dengan siapapun.
Waktu kuhabiskan dengan menonton drama di sebuah aplikasi legal. Tak terasa menjelang magrib, waktunya berbersih diri dan ambil wudu.
Ketika membuka pintu, tiba-tiba Fany sudah berdiri di depan yang membuatku tersentak kaget. Astaga, dia seperti hantu, hampir membuat jantungku copot.
"Maaf, Mbak, aku buru-buru soalnya," ucap gadis itu sambil menunduk.
"Kenapa? Ada masalah?"
Tak menjawab, ia langsung menyodorkan ponselnya ke telingaku. Begitu speaker dinyalakan, terdengar jelas suara teriakan perempuan. Ia menangis tanpa henti, berlutut memeluk kakiku meminta bantuan.
"Ini suara siapa?" tanyaku ikutan panik.
"Itu suara Ibu, Mbak! Tolong selamatkan Ibu!" pintanya dengan suara parau.
"Oke, udah jangan nangis, Mbak ngomong sama Mas Arif sekarang. Kamu siap-siap."
Mas Arif yang sedang memasak pun terpaksa kami ganggu. Ia mengantar kami ke rumah Pak Burhan yang kini hanya ditinggali ibu Fany dan pembantunya.
Sedikit khawatir karena mereka hanya tinggal berdua sehingga sesuatu yang buruk pun terjadii.
Begitu sampai, Fany langssung turun dan mendobrak pintu rumahnya hingga jebol. Mas Arif menyusul dan aku sedikit takut menegok keadaan di dalam.
"Ibuuu! Stop! Woi, sialan stop!" teriak Fany yang terdengar hingga ke tetangga sebelah. Beberapa dari mereka penasaran dan mengintip di balik jendela.
Aku pun turun dari mobil, melihat dari luar. Sontak membekap mulut karena terlihat banyak darah di dinding dan lantainya. Sial, pasti sesuatu yang mengerikan telah terjadi.
"Ibu lihat apa?" tanyaku.
"Tadi lihat ada yang nyeret orang gitu, masuk ke kamar, habis itu tutup pintu. Fany berusaha jebol pintunya."
Tanpa basa-basi aku langsung masuk dan mencari Fany. Sambil menangis histeris, ia berusaha mendobrak pintu kamar tersebut. Dengan bantuan Mas Arif, akhirnya pintu berhasil dihancurkan dengan kapak.
Aku yang tak sengaja menginjak sesuatu pun sontak merunduk.
"Ini apa?" Kenyal dan berwarna merah, berceceran di mana-mana.
"Ibu!" teriak Fany. Aku pun datang menghampiri dan hampir pingsan dibuatnya.
Pembunuh itu tertawa jahat sambil memegang sebilah pisau dapur. Ia terduduk, mengolesi darah ibu Fany di wajahnya. Fany yang melihat itu tak mampu berbuat apa-apa.
"Kamu yang bunuh dia?!" tanyaku marah, "dasar pembantu gak tau diri!"
Aku menamparnya sekali, tapi ia malah tertawa lebih kencang. Luka tusuk yang sangat banyak di tubuh wanita malang itu membuatku ngeri. Ia telah tiada, dibunuh pembantu sendiri.
"Tega banget sumpah! Salah Ibu apa selama ini hah?! Dasar setan!" Fany tak henti-hentinya mengumpat. Tanpa merasa jijik, ia memeluk mayat sang ibu yang bentuknya tak jelas lagi.
Aku pun diam mematung, lalu mencoba menelepon polisi. Bersamaan dengan itu, ambulan datang untuk mengambil mayat ibu Fany.
Pembantu itu langsung menjadi tersangka. Ia diseret paksa masuk ke mobil polisi. Namun, ketika hendak dimasukkan, perempuan itu menangis meminta ampun.
"Bukan saya, Pak, bukan saya! Saya tidak mungkin membunuh majikan sendiri!" katanya yang tentu saja tidak ada yang percaya. Semua bukti tertuju padanya, bahkan Mas Arif pun diam-diam mengambil gambar.
"Tanggung jawab atas apa yang telah kamu lakukan pada keluarga ini. Dasar gak tau diri!" sergahku menahan amarah.
"Mbak, tolong saya! Saya tidak membunuh siapapun, Mbak!"
"Pak, bawa dia ke kantor polisi. Saya muak lihat mukanya."
Mobil itu berlalu, lenyap dari pandangan. Aku teringat oleh Fany yang masih berada di kamar. Hening, gadis itu diam meringkuk. Rambutnya berantakan, aku tahu bagaimana perasaannya saat ini.
Kusentuh pundaknya perlahan, ia tersentak lalu menatapku sendu.
"Mbak, ibu mana?"
"Sabar, Dek, sabar ... Mbak gak tau mau gimana lagi supaya kamu bisa ikhlas."
"Kenapa Allah jahat sama aku, Mbak? Belum cukupkah mengambil ayah, sekarang ibuku lagi? Kalau tau begini, aku gak mau ninggalin ibu sama pembantu setan itu." Aku hanya mendengar ocehannya, bingung harus apa.