Kembali Hangat

1628 Words
Sudah satu bulan sejak kematian ibu Fany. Sang pelaku dijatuhi hukuman 20 tahun penjara. Setiap minggu, aku datang menengoknya, sekadar melihat keadaan Mbak Ningsih. Tak jarang, kuberi ia makanan dan mengajaknya bercerita. Meskipun Fany sempat marah karena hal itu, aku tidak begitu menghiraukannya. Toh, yang kulakukan ini karena manusiawi, tak tega sebenarnya. "Bukan saya, Mbak, saya nggak sadar waktu itu." Ia terus mengulangi kalimat yang sama. "Saya nggak bisa percaya kata-katamu saat ini, Mbak, karena semuanya terjadi di depan mata saya sendiri. Ada tiga orang saksi. Kamu nggak bisa mengelak memang," jelasku. "Tapi sumpah demi Allah, Mbak! Bukan saya. Saya sayang dengan majikan, nggak mungkin saya membunuh almarhumah. Bahkan berniat jahat saja tak pernah," ucapnya masih membela diri. Aku menghela napas panjang, kemudian pergi karena jam besuk sudah berakhir. Selalu begitu, memasang wajah sendu, seakan aku akan mengasihani lalu membebaskannya. Tidak, apa yang ia perbuat keterlaluan. Seharusnya dihukum mati, tapi hakim meringankan hukumannya dan mungkin ia lebih baik langsung mati saja. Sepulang dari kantor polisi, tiba-tiba perutku sakit melilit. Untung ada bangku yang tak jauh dari tempatku berdiri. Sedikit terseok-seok, aku pun duduk dan memejamkan mata, mengatur deru napas yang memburu. [Dek, Fany nitip makanan buat nanti siang karena Bibi tiba-tiba sakit. Kamu juga terserah mau beli apa. Mas udah makan duluan.] Isi pesan dari Mas Arif, tumben tak menelepon. [Mas makan apa? Kok duluan?] tanyaku. "Makan mi goreng sama telur aja. Mas keburu laper, nunggu kamu pasti lama,] balasnya semenit kemudian. Aku pun terkekeh kecil. [Oke, aku beli ikan bakar aja.] Ya, rencana begitu, tapi mengingat kondisi yang melemah, akhirnya memakai jasa ojek online saja. Makanan diantar sampai ke rumah, tak peduli harus membayar ongkos kirim. Aku pulang menaiki sebuah taksi dan begitu sampai, rumah sepi tidak ada siapapun. Bukankah Bibi sedang tak enak badan? Lantas, ke mana dia? Ketika belok ke arah dapur, aku terkejut melihatnya berdiri membelakangi, sambil memotong sesuatu. Ah, begini memang ibu-ibu. Mengaku sakit, tapi tetap memaksa mengerjakan pekerjaan rumah. Wanita memang kuat. "Bi, nggak usah masak dulu. Saya udah mesen makanan tadi, bentar lagi dateng," ucapku sambil melirik jam tangan, sebentar lagi azan Dzuhur. Tadi janjinya sekitar dua puluh menit datang, ya sekitar lima menit lagi. Karena tak ada sahutan, aku memutuskan untuk ganti pakaian dan bersih-bersih dulu. Jujur saja cuaca di luar, apalagi tengah hari begini, sangat gerah. Selesai, kembali membujuk Bibi agar mau istirahat. "Bi, udah atuh. Bibi rehat aja, ya?" ucapku yang masih tidak mendapat jawaban. Karena curiga, aku mendekati dan membalikkan tubuhnya. "Allahu Akbar! Bibi, ini apa?!" Sontak aku membekap mulut, menahan rasa ingin muntah. Ternyata yang sejak tadi dipotong Bibi bukanlah sayur, melainkan organ tubuh manusia. Hati, jantung, juga paru-paru yang sudah membusuk. Bibi menoleh, senyumnya terbit begitu aku menatapnya. Ia hendak melayangkan pisau itu ke arahku, tapi dengan sigap menghindar. Ia pasti dirasuki arwah jahat. "Bi, istighfar! Sebut nama Allah!" teriakku di tengah kepanikan. Bukannya menurut, ia malah semakin brutal dan mengejarku. Karena ponsel ada di kamar, dengan cepat keluar dan mengunci pintu dapur. Tak apalah dapur diacak-acak, yang penting nyawa selamat. Segera kuberlari dan menelepon Mas Arif, tapi tidak diangkat juga. Sam chat pun tak dibacanya meski online. Dengan napas terengah-engah, aku berlari keluar rumah agar merasa nyaman. Keringat dingin membasahi rambut dan wajahku. Sekitar dua jam kemudian, Mas Arif baru membalas. Ia akan segera pulang. Ah, leganya. "Mas!" teriakku berlari menghampirinya. Ia pun memarkir mobil dan satu per satu orang di dalam mobil keluar. Mas Arif. Fany. Bibi? Tunggu, bukankah ia sedang berada di dalam? Aku terpaku sejenak, menatapi dari bawah ke atas. Bibi memakai syal putih tulang dan berjaket biru. Wajahnya pucat, ia sampai harus dituntun oleh Fany. Perlahan kuraba tubuhnya, ini benar dia. "Kenapa, Dek? Maaf, tadi nggak sempet buka HP dan kusenyapkan karena lagi di rumah sakit," ucap Mas Arif. "Jadi Bibi berobat? Kenapa nggak bilang sama aku, sih?" tanyaku kesal. Ya, tadi kami buru-buru karena Bibi udah kesakitan. Lupa juga ngabarin di telepon." "Kamu, ya, Mas. Ada aja alasannya. Kamu gak tau aku di rumah ketakutannya gimana! Ada yang nyamar jadi Bibi dan hampir bunuh aku!" sergahku emosi. Ia dan Fany saling beradu tatap. ""Kamu ngigau lagi? Jelas-jelas Bibi sama kami." "Mas. udah. Aku capek kayak gini terus, kamu juga nggak ngerti perasaan aku gimana. Lihat, rambutku basah keringatan. Itu karena takut, nggak berani masuk rumah!" Aku berusaha meyakinkan, bagaimanapun juga mereka harus tahu hal ini. Aku tak mau dianggap gila sendiri. "Coba masuk, silakan!" tantangku. Ia pun masuk terlebih dahulu, disusul Bibi dan Fany. Tidak ada apa-apa memang, kecuali dapur yang berantakan. Siapa yang berulah kecuali sosok itu? "Besok ayo ke psikiater. Tampaknya kamu depresi berat sampai halusinasi parah begitu," ucapnya enteng, seolah-olah yang kulihat itu tidak nyata. "Kamu gila, Mas? Aku masih waras! Aku gak mau ke psikiater!" kataku menolak. "Kamu yang gila, Ris! Udah cukup khayalanmu tentang jin-jin itu. Jangan-jangan tentang Sarah pun kamu mengada-ngada, sebenernya gak ada, `kan?" Aku mengepal geram, mengapa jadi meragukan tentang Sarah? "Kamu keterlaluan kali ini, Mas. Kamu jangan meragukan tentang pelet itu. Aku saksinya, beberapa orang juga jadi saksi termasuk almarhum Pak Burhan!" Dia malah berdecak, seolah tak percaya kejadian yang kami alami berbulan-bulan belakangan. Ia pergi, masuk ke kamar dan menutup pintu. Hanya setengah, masih ada celah. Ia merebahkan diri dengan bantal sebagai penutup kepala. *** Tidak disapa, berubah 180 derajat. Ia kembali dingin, tapi entah, aku tak merasa bersalah kali ini. Hanya sedikit tak enak hati, diharuskan pergi ke psikiater bagiku terlalu berlebihan. Aku normal, tidak mengidap penyakit apapun. Setelah ia pergi bersama teman-temannya tadi, aku berjalan kaki menuju desa sebelah. Memang lumayan jauh, tapi di pagi-pagi seperti ini ya tidak masalah. Sekalian olahraga. Satu setengah jam kemudian, aku sampai di depan gapura desa. Berjalan sekitar dua puluh menit lagi, aku sampai di tempat tujuan. Tempat yang membuatku tenang. Tempat di mana sahabatku meninggal dengan cara yang mengenaskan. Tania, aku rindu bukan main. Setelah menaburi bunga dan berdoa, aku menangis di samping kuburannya. Sepi, tak ada kawan bicara yang bisa mengerti posisiku saat ini. Pun ingin menyerah, tapi keadaan memaksa bertahan. "Semoga kita bisa ketemu di mimpi, Tan. Sumpah, nggak ada kamu hidup aku sepi banget. Mas Arif mulai nggak percaya sama aku. Aku dianggap orang gila. Bukankah itu terlalu jahat?" ucapku sambil terisak. Tiba-tiba, aku merasa ada yang menyentuh pundakku pelan. Sempat berpikir itu adalah Tania, sehingga takut menoleh ke belakang. "Maksud aku di mimpi, Tan, jangan sekarang. Apalagi di kuburan. Kamu tau `kan aku orangnya penakut," ujarku. "Wah, sejak kapan Mbah jadi hantu?" "Hah?" Sontak, aku menoleh, termyata Mbah Parto. Buru-buru mengusap air mata, tak boleh terlihat lemah di hadapan orang lain. Meskipun nyatanya, aku tetap butuh seorang pendengar. "Gimana kabarmu, Nak? Lama gak ke sini, sibuk kah?" tanyanya. Masih dengan senyum khas yang ramah dan penyayang. "Alhamdulillah baik, Mbah. Nggak sibuk kok, cuma memang ada beberapa urusan," jawabku tersenyum paksa. "Oh, ke sini niatnya mau ziarah ke makam Tania aja? Gak mau jenguk Mbah?" "Eh, nggak gitu, Mbah! Habis dari sini mau ke rumah Mbah tadi," jawabku gugup. "Udah selesai doanya, `kan? Mari, ada yang ingin Mbah bicarakan." Aku bangkit dan berjalan mengikutinya. Sesampainya di rumah Mbah, aku duduk di teras rotannya seperti biasa. Ia pun masuk dan meminta Bude membuatkan sesuatu. Namun, aku menolak karena dari rumah sudah makan. Setelahnya, kami duduk berhadapan. Entah mengapa, jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Sepertinya kali ini pembicaraan serius. "Kemarin Mbah sudah ingat beberapa kejadian sebelum mati suri. Mbah sempet bantu suamimu yang dirasuki jin, bukan?" tanyanya memulai pembicaraan. "Iya, Mbah. Di situ Mbah nyuruh saya diem di rumah, tapi saya bandel dan malah memperburuk keadaan," jawabku dengan kepala tertunduk. "Sudah, jangan risaukan hal itu. Yang penting di sini, Mbah sudaha paham penyebab Sarah mengejar suamimu." Aku mendongak, menunggunya melanjutkan obrolan. "Sarah punya masa lalu yang menyedihkan. Dia janda dan kamu gak tau `kan kenapa dia bisa janda?" Aku menggeleng pelan. "Mungkin lebih bagus jika kamu tau sendiri, Nak." "Kenapa gitu, Mbah?" "Hari Jumat kliwon kembalilah lagi." Hanya itu suruhannya, lalu masuk ke rumah tanpa berkata apa-apa lagi. Aku dilanda kebingungan dan rasa penasaran yang luar biasa. *** "Dari mana?" Aku diam, tak menatap wajahnya dan langsung masuk rumah. Ia mencengkeram pergelangan tanganku lalu bertanya hal yang sama. "Gak dari mana-mana," jawabku datar. Masih malas menatap matanya. "Mas gak suka loh diajak ngomong tapi buang muka begitu. Mau durhaka?" Nadanya mengancam, tapi aku tak peduli hal itu lagi. "Ya, sudah gak usah nanya, gak usah ngobrol!" Perkataan itu main keluar saja dari mulut tanpa disaring. Aku masih berusaha melepaskan diri, tapi cengkeramannya malah semakin erat. "Lepasin, sakit!" titahku sambil mengibas-ngibaskan tangan. "Jawab dulu kamu habis dari mana? Kok jam segini baru pulang? Ditelpon gak diangkat. Gak bilang sama Bibi atau Fany juga. Kalau terjadi apa-apa di luar sana gimana?!" bentaknya. Air mataku menetes, tak tahukah ia sekarang aku sedang sakit hati? "Aku habis dari makam Tania. Puas?!" Tatapan kami beradu, ia terlihat sendu. Sedangkan aku? Mungkin sangat tajam saat itu. "Kenapa pergi sendiri? Kan bisa Mas anter sebelum pergi sama temen tadi." "Ngapain? Kan aku orang gila, halusinasi, gak normal. Jadi kamu malu mengakui aku sebagai istri, `kan?" Rasanya lega setelah mengungkapkan itu. "Oh, ternyata marah karena semalam," katanya lalu terkekeh. Jujur saja ia manis seperti itu. Ah, jadi wanita kok mudah sekali luluh. "Aku gak mau ke psikiater, makanya kabur gak bilang-bilang." "Hm, yaudah maaf. Mas gak bermaksud ngomong gitu semalam. Maaf, ya?" Aku masih jual mahal, ya sedikit mengulur waktu tak masalah. "Ayolah, jangan cuek gini." Ia masih berusaha membujuk meski aku membuang muka. "Ya, Mas kan cintanya sama Sarah itu, bukan aku. Sama dia aja!" "Eh, gak gitu lho astaga." Ia mengacak-acak rambut, mulai menyerah sepertinya. Aku tak tega dan langsung memeluknya. "Janji lain kali kontrol emosinya. Aku gak bisa tidur semalaman karena itu," ucapku lalu menangis, meluapkan semua kesedihan yang tertahan sejak tadi malam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD