Flashback Manis

1644 Words
"Sudah, mungkin ini takdir Allah. Relakan dan berdoa agar segera diberi momongan lagi. Yang sabar, ya," ucap Bu Atun yang menemaniku mengambil beberapa vitamin. "Pasti Mas Arif sedih kalau tau saya keguguran, Bu." "Namanya juga musibah, Nduk. Ibu yakin dia bisa menerima." Sepulang dari rumah sakit, aku menghampiri Mas Arif yang ternyata sudah siuman. Ia bersandar sembari memakan bubur. Di sampingnya ada nampan berisi segelas s**u dan obat-obatan. Keluarga Bu Atun sangat menghargai kami sebagai tamu. Suatu saat aku pasti akan membalas kebaikan mereka. "Mas," panggilku sambil menahan air mata. "Kamu dari mana?" tanyanya. "Dari rumah sakit, Mas." Suaraku mulai parau, d**a rasanya sesak sekali. "Ngapain? Kamu sakit?" tanyanya lagi. Aku menggeleng pelan dan menarik napas panjang. Embusannya kasar, aku sedang berusaha menahan luapan tangis saat ini. Aku duduk di sampingnya, menatap luka-luka yang terlihat menyakitkan. "Maaf, Mas. Aku gagal menjaga calon anak kita," kataku, "semua salahku. Mbah Parto meninggal karenaku. Mas celaka juga karena aku dan sekarang? Janinku juga meninggal karena kesalahanku." Ia tampak syok dan tak mengucapkan sepatah kata pun. Ditatapnya perutku yang kini tak ada tanda-tanda kehidupan lagi. Ia sudah pergi sebelum lahir ke dunia ini. Sesaknya bukan main. Namun, kami tak bisa berbuat apa-apa lagi. Biarlah menjadi pelajaran agar tak ceroboh di kemudian hari. Salahku tak bisa mengendalikan diri. Hari demi hari berlalu. Seminggu kemudian, keadaan Mas Arif membaik dan kami sudah bisa pulang. Berkali-kali mengucapkan terima kasih karena telah menyabut kami dengan sangat baik. Bu Atun yang sudah menganggap kami keluarga, seperti tak rela jika kami pulang. "Gak papa, Bu. Nanti kita ketemu lagi atas izin Allah," ucapku menenangkannya. "Kalau sempat, kami boleh berkunjung ke rumah Mbak Risti?" tanya Farhan. "Boleh banget. Mau nginep juga silakan. Rumah kami besar dan ada banyak kamar," jawabku lalu terkekeh. "Wah, pasti seru banget tinggal di rumah besar!" Seketika, ekspresi wajahku berubah. Awalnya aku bahagia karena sebentar lagi malaikat kecil itu hadir dan membuat rumah menjadi ramai. Sekarang? Impian itu dilenyapkan dalam satu hari. "Ya, sudah. Kami pergi, ya? Assalamualaikum." "Waalaikumsalam," jawab mereka serempak. Lambaian tangan perpisahan membuat kepergian ini terasa semakin berat. Aku nyaman bersama mereka. Sesampainya di rumah, tangisku pecah ketika bertemu Bibi. Aku pun menceritakan semua kejadian di rumah Mbah Parto itu. Ia terkejut dan tak berkomentar apapun. Bibi lumayan kenal dengan Mbah Parto karena dulu pernah tinggal berdekatan. Sampai akhirnya Bibi pindah ke rumahku sebagai ART. Tubuhku mendadak lemas dan wajah memucat. Meriang dan dingin sekali rasanya. Bi Inem pun berkata itu adalah hal normal ketika baru keguguran. Terlebih masih berumur satu bulan lebih. "Gimana kata dokter? Harus dikuret?" tanya Bibi. "Nggak perlu. Bi, janinnya masih kecil. Cuma dikasih obat biar luruh sendiri," jawabku dengan suara parau. "Yang penting jaga kesehatan, Bu. Karena habis keguguran itu lemes banget," ucapnya yang kubalas anggukan pelan. "Anter saya ke kamar, Bi, mau tidur." Mas Arif yang lukanya perlahan sembuh pun ikut ke kamar karena ingin men-charger ponsel. Bibi yang masih penasaran pun turut heran dengan kematian Tania. Ia juga merasa janggal. "Harusnya ditinjau lagi perihal kematian Tania itu. Jangan lewat begitu aja. Kasihan," ucap Bibi. "Keluarga udah pasrah karena polisi pun udah mencari di mana-mana. Tetep aja gak ketemu. Entah di mana disembunyikan pelaku," jawabku. "Pelakunya belum ditangkap juga, `kan?" "Belum." *** Ketika memejamkan mata, tiba-tiba perutku terasa nyeri, seperti ada yang mengaduk-aduk rahimku. Mungkin ini efek keguguran kemarin. Tak lama kemudian, terasa seperti ada yang hendak keluar dari jalan lahir. Perlahan aku berjalan menuju toilet tanpa bantuan siapapun. Bi Inem izin melanjutkan pekerjannya di dapur tadi. Sesampainya di toilet, aku terkejut melihat gumpalan darah yang terjatuh di atas lantai. Rasanya lega tapi lumayan sakit juga. Calon buah hatiku yang pergi tanpa kuminta. Kuambil gumpalan itu dan memasukannya ke dalam kain putih. Menguburnya di belakang rumah, berharap segera diganti oleh Sang Khalik. Kutatapi kuburan kecil itu, meratap penyesalan yang mungkin menghantui seumur hidup. Aku telah merenggut kebahagian keluarga itu. Keluarga yang baik hati. Rasanya tak sanggup berjalan masuk rumah. Dengan terseok-seok aku melangkah menuju dapur dan sampai ke kamar. Langsung menghela napas panjang begitu merebahkan diri. Mas Arif pun sedang berbaring.Wajahnya masih pucat. "Bu, mau dimasakin apa hari ini?" tanya Bibi yang berdiri di ambang pintu. "Kayaknya saya pengen makan bubur aja, Bi. Sama jus buah seperti biasa," jawabku, "kalau Mas Arif buatkan nasi pecel aja. Sayurnya dibanyakin, ya." "Baik, Bu, saya ke pasar beli lauknya dulu." Aku membalas dengan senyuman dan ia pun berlalu. Benar, rumah sebesar ini terasa sepi apalagi jika tinggal kami berdua. Mengapa baru kusadari? "Sarah ... Sarah!" Terkejut, aku menoleh ke arah Mas Arif yang masih terpejam. Ia mengigaukan nama wanita itu lagi. Sambil menahan sakit hati, kucoba membangunkannya agar cepat sadar. Sialan, ia terus menyebut nama itu bahkan mengajak Sarah bertemu. "Mas, bangun!" teriakku. "Sarah, mana Sarah?! Mana istriku?!" Istri? "Aku di sini, Mas!" Ia membuka mata dengan napas tersengal-sengal. Tatapannya berubah sangat tajam. Wajahnya pun memerah menahan amarah. Aku menangis menghadapinya yang kini kembali dirasuki lagi. "Minggir!" bentaknya sambil menyibak kasar selimut dan beranjak pergi. Pintu dibanting sangat keras hingga membuatku tersentak. Sakit hingga ke relung hati. Kukira bayang-bayang Sarah telah lepas selamanya. Ia masih belum menyerah merebut Mas Arif dariku. Sekarang harus bagaimana? Tidak ada yang bisa menolong. Aku berusaha sendiri lagi saat ini. "Ya Allah, haruskah pasrah dan merelakan suamiku direbut wanita itu?" Menangis dalam diam mengadu kepada Sang Khalik. Setelah salat, aku terbaring di atas sajadah dan memejamkan mata. Tiba-tiba, benakku menayangkan sesuatu, masa lalu .... Bertahun-tahun yang lalu ketika kami pertama kali bertemu. Aku menunggunya di halte bus karena ada janji dengan seseorang. Laki-laki yang katanya mengagumiku, tapi baru sekarang diberi tahu. Ia datang dengan penampilan yang sederhana. Rambut hitam lurus dengan baju kaos putih dan celana kain. Kasual dan santai, tidak neko-neko. Kuakui pria ini memang tampan. Manis jika tersenyum. Namun, hubungan itu tak bertahan lama ketika ia dengan sengaja membuatku kecewa. Hari itu ia berkata izin ke rumah teman-temannya di indekos seberang jalan. Awalnya aku percaya. Namun, entah mengapa hati ini ingin memastikan yang sebenarnya. Meski sedang tak enak badan, aku nekat menyusulnya. Tak disangka, kami bertemu di kafe yang jaraknya tak jauh dari rumahku. Ia sedang berduaan dengan seorang gadis, bahkan merangkul pundaknya. Gadis itu hanya terdiam ketika melihatku datang. "Maaf, Yang. Bisa aku jelasin, kamu denger dulu," katanya saat itu. Aku yang sudah telanjur sakit hati pun mendorong tubuhnya hingga hampir terjatuh. "Udah, ya, semuanya udah jelas. Kamu selingkuh dan itu fakta. Kenapa, sih tega banget?! Kamu tau aku lahir di keluarga broken home. Mentalku hancur karena perpisahan orang tua, sekarang makin hancur karena dikhianati. Kamu gak tau rasanya ketika bahagia menemukan tempat sandaran, tapi orang itu malah mencari kebahagiaan lain. Kamu gak tau rasanya gimana!" ujarku panjang lebar dengan suara yang lumayan lantang. Pengunjung kafe pun menatap ke arah kami. Kini, kami menjadi pusat perhatian seluruh pasang mata. "Huuuu dasar pecundang! Lo gak pantes disebut cowok!" teriak salah satu pengunjung membelaku. Laki-laki di hadapanku ini hanya diam menunduk, sesekali meraih tanganku, tapi terhempas kasar. Tak sudi. "Aku jelasin dulu `kan bisa biar kamu gak salah paham, Ris!" katanya masih membela diri. Aku berdecak kesal dan membuang muka. Rasanya jijik sekali menatap wajahnya saat ini. Terlebih si gadis perebut kebahagiaan orang. "Emang apa lagi yang mau dijelasin? Kan udah jelas kamu berduaan sama cewek ini!" tegasku. "Halah, jangan mau percaya, Mbak! Pacar selingkuh tuh gak bakalan bisa sembuh. Udah tinggalin aja!" teriak seorang gadis yang berdiri di antara kerumunan. "Iya, bener!" sorak yang lain. "Lihat? Kamu masih nyuruh aku buat percaya? Jangan harap!" "Ini gak seperti yang kamu liat, Ris. Dia itu sedih karena diputusin pacarnya. Jadi aku mencoba menenangkan." "Iya, tapi masa tiap malam izin ke rumah temen, tau-tau belok ke sini, hah? Udah, deh gak usah bela diri. Mulai detik ini kita putus!" Aku langsung berbalik badan, tapi dicegat olehnya. Ia memohon minta diberi kesempatan dan mengaku khilaf. Muak, aku langsung menghempas kasar tangannya dan melangkah pergi dengan napas sesak. Tampaknya penyakitku kambuh lagi. Baru beberapa meter dari keributan, pertahananku terasa luntur. Napas semakin pendek, tubuhku lemas dan kepala pusing. Perlahan aku jatuh tersungkur dan .... "Wow!" sorak pengunjung kafe yang membuatku membuka mata lagi. Samar-samar kulihat wajah seorang pria, asing sekali. Setelah itu tak sadarkan diri. Begitu membuka mata, aku menyadari tak sedang berada di rumah. Ini kamar siapa? Bernuansa elegan, dengan cat biru langit yang tenang. Rapi sekali, tak seperti kamarku yang cukup berantakan. Kumenoleh ke sebelah kiri, seorang lelaki duduk sambil bermain ponsel. Kutatap ia cukup lama hingga menyadari bahwa aku sudah sadar. Seketika ia tersenyum dan bertanya sesuatu. "Apa ada yang sakit? Lo mau apa biar gue beliin," tanyanya. "Nggak mau apa-apa, makasih. Nanti malah ngerepotin," jawabku malu-malu. Mungkinkah ia lelaki yang tadi? "Santai aja. Gue kebetulan mau keluar juga. Lo sama mama gue dulu, ya? Cepet, mau makan apa." "Em, bubur ayam aja, Kak. Jangan pedes, ya." Karena dipaksa, aku pun menurut juga. "Oke. udah itu aja?" Aku mengangguk pelan. Tak lama kemudian, seorang wanita yang kutaksir usianya 40-an itu datang sambil membawa nampan. Ia meletakkan nampan berisi salad buah itu di atas nakas, lalu duduk di sampingku. "Namamu siapa, Nak Cantik?" tanyanya dengan senyum manis. "Nama saya Risti, Tan. Salam kenal," jawabku membalas senyumannya. "Oh, Risti. Nama yang bagus. Ini saladnya jangan lupa dimakan, ya. Kalau sudah baikan, Tante tunggu di ruang tamu. Mau membicarakan sesuatu," ucapnya yang langsung membuatku mengernyitkan dahi. "Hm, oke deh." "Tante tinggal dulu, ya. Kalau mau sesuatu panggil ART saja." Ketika itu aku masih kelas 3 SMA. Belum mempunyai rumah sebesar ini. Tak lama menunggu, lelaki itu datang dan membawa bubur pesananku. Ia menyuapi dengan hati-hati dan aku tersipu malu dibuatnya. Romantis. "Maaf jadi merepotkan, Kak," kataku setelah buburnya habis. "Ah, santai aja. Itung-itung belajar suap anak kita nanti." Uhuk! Aku langsung terbatuk dan diberi minum olehnya. Ia tertawa nyengir, membuatku salah tingkah. "Baru kenal loh, Kak." "Oh, ya, namaku Arif. Kamu siapa?" "Risti." "Ah, iya, namanya gak susah buat ijab qobul nanti." Hah?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD