Janin yang Tak Berdosa

1628 Words
Aku ternganga, berusaha mencerna maksud perkataannya. Di sisi lain tak mau ke-GR-an dulu, takutnya ia hanya bercanda atau ngawur. Namun, melihat dari tatapannya itu, tampaknya itu, ia serius. Jantungku berdegup sangat kencang, rasanya seperti ingin meloncat keluar. Lidah pun kelu, tangan juga bergetar ketika mengambil gelas berisi air darinya. "Haha, gugup atau lemes? Sini biar kubantu." Ia pun menyodorkan gelas itu ke mulutku. Ya, tidak buruk. "Kamu tinggal di mana?" tanyanya. "Gak jaub dari kafe tadi," jawabku yang semakin gugup. Ia tersenyum manis, astaga! "Terus yang tadi kamu marahin itu pacar?" "Kemarin, sekarang udah jadi mantan." Mendadak aku kesal karena ia membahas si mantan menyebalkan. Bunyi notifikasi pesan singkat membuatku teralihkan. Ia membantu meraih benda itu dari atas meja dan memberikannya kepadaku. Pria yang peka. [Ris, maafin aku. Ayo ketemu dan kita selesaikan ini semua! Aku bisa jelasin, dia itu bukan siapa-siapa!] Ternyata pesan dari Arlan, lengkap dengan emotikon menangis yang terkesan lebay. Haha, dikira aku akan bersimpati kali ini? "Dari siapa?" tanya Arif mulai penasaran. "Dari mantan, dia ngajak ketemu karena mau ngejelasin semuanya," jawabku dengan muka masam. "Haha." Ia tertawa renyah. "Mana sini HP-mu," ucapnya. "Eh, buat apa?" "Udah, siniin. Aku cuma buka WA, gak lebih." Akhirnya kuserahkan ponsel itu ke dia, yang entah mau diapakan. "Halo, cowok aneh! Ini gue pacar baru Risti, ya. Risti udah mutusin lo, jadi kalian udah nggak ada hubungan apa-apa lagi. Nah, sekarang lo berenti ganggu kehidupan Risti," ucapnya memakai fitur voice note. Aku langsung membekap mulut dibuatnya. "Kak, kok gitu sih balesannya! Orang cuek aja atau blokir sekalian," protesku. "Udah, ini urusan cowok. Kamu diem aja." Tepuk jidat! *** "Makasih, Tante, saya udah bisa pulang kok," ucapku setelah merasa lebih baik. "DIanter Arif, ya? Nanti terjadi sesuatu di jalan gimana?" tawar wanita itu. "Ehm, nggak usah, Tan. Bisa sendiri kok beneran!" Lumayan sulit juga meyakinkan anggota keluarga ini. "Baiklah, hati-hati, ya! Tawaran tadi jangan lupa dipertimbangkan bersama keluargamu. Tante tunggu kabar baiknya." Lambaian tanganku yang pelan menggambarkan resah hati yang sesungguhnya. Mereka ingin aku menjadi menantu di keluarga ini. Dengan kata lain, aku akan dinikahkan dengan Arif. Astaga, padahal baru kenal sehari. Mimpi apa aku dijodohkan dengan orang kaya dan terpandang? Apakah Arif itu buta? Sepertinya tidak, karena ketertarikannya padaku sangat besar. Ia bahkan berani menelepon ibuku dan bercanda ria, seakan sudah kenal lama. Menahan malu di depan ibu yang terus bertanya dia siapa. Tak butuh waktu lama, rencana pernikahan dilaksanakan juga. Aku telah resmi menjadi istri dari seorang pekerja keras dan penyayang. Tentu saja ini adalah sebuah keberuntungan meskipun belum bisa melupakan Arlan. Perlahan, pasti bisa. *** Lamunanku buyar karena mendengar suara benda jatuh di dapur. Segera menghapus air mata dan berjalan lamban untuk memeriksa. Ternyata kucing menjatuhkan piring kotor yang belum dicuci Bibi. Sejak kapan ada kucing hitam di sini? "Astaga, maaf, Bu! Saya gak tau ada kucing. Tadi tinggal sebentar," ucap Bibi yang baru saja datang. "Cepat usir kucingnya dan beresin ini, Bi, takutnya keinjek." Aku beranjak pergi dan memutuskan untuk menyusul Mas Arif. Tentu saja ia pergi ke rumah Sarah, wanita kegatalan itu. Sesampainya di sana, tidak ada tanda-tanda keberadaan mereka. Sarah yang biasanya langsung membuka pintu jika ada tamu, kini hening tak bersuara. Mungkinkah Mas Arif mengajaknya keluar? Ketika berbalik badan, tiba-tiba penciumanku diganggu oleh bau yang tak sedap. Segera aku mencari sumber bau itu yang sepertinya tak jauh dari sini. Menyusuri setiap sudut, bahkan sampai ke pot bunga yang tak terurus itu. "Aduh," keluhku ketika tak sengaja tertusuk duri mawar hingga berdarah. Kuabaikan rasa sakit yang tak seberapa itu dan kembali mencari asal baunya. Ah, ternyata di sini, apa yang disembunyikan? "Huek!" Begitu membuka plastik merah itu, aku spontan menutup mulut. Gumpalan daging lagi, kali ini mirip bakal janin. Sebentar, bukankah Sarah sedang hamil? Jangan-jangan ia menggugurkan kandungannya? Benar-benar tak punya hati! *** Dengan sabar aku menunggu di depan rumahnya, tak peduli nyamuk atau suara-suara aneh di sekitar. Kira-kira mereka ke mana? Sekumpulan ibu-ibu lewat, mereka berjalan terburu-buru seperti mengejar sesuatu. Penasaran, aku pun menghampirinya. "Misi, ini mau ke mana, Bu?" tanyaku. "Ini, mau liat orang mati suri, Mbak! Habis mati, dia hidup lagi. Di desa sebelah," jawab salah satu dari mereka. "Wah, mati suri. Boleh saya ikut?" "Apakah Mbak sedang haid? Wanita haid dilarang masuk ke desa itu karena akan mendapat sial." Aku tertegun dan membuang muka. Desa mana lagi yang dimaksud? Daerah ini memang aneh. Terlalu banyak pantangannya. "Saya nggak haid, tapi habis keguguran dan darahnya masih luruh sedikit. Boleh?" tanyaku berharap. Mereka pun saling beradu tatap dan langsung berlari tunggang langgang. "Ibu!" teriakku memanggil, tapi mereka tak ada yang menoleh. Rasanya semakin aneh. Aku menghela napas dan kembali duduk di teras rumah itu, menunggu kedatangan mereka. Namun, sudah lebih dari tiga jam tidak juga tampak batang hidungnya. Mulai lelah dan pusing, ditambah rumah ini pengap dan panas. Padahal ada banyak pohon di sekelilingnya. Ponselnya pun tak aktif, sudah beberapa kali meneleponnya. Karena muak menunggu, kuputuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan, bayang-bayang gumpalan itu selalu memenuhi pikiran. Sudah sering menemukan gumpalan di rumah, sekarang benda itu juga ada di rumah Sarah. Apakah ia yang mengirim benda aneh ini? *** Setelah muntah-muntah, aku langsung tersungkur lemas dan mengerang kesakitan. Mata berkunang-kunang, tubuh pun terasa panas di bagian perut. Susah payah menyeret langkah menuju kamar Bibi. Masih pukul sepuluh, biasanya ia belum tertidur. "Bibi ...." Suaraku pelan hampir tak terdengar karena menahan sakit yang luar biasa ini. Aku berteriak sekencang mungkin. Perut terasa ada yang meremas-remas dan panas. Dalam hati tak henti-hentinya menyebut nama Allah. "Ya Allah, Bu!" Akhirnya wanita itu datang di sisa-sisa tenagaku. Ia langsung meraih telepon rumah dan menelepon dokter. "Sabar, Bu, ambulan datang sebentar lagi!" Aku terus mengerang di pelukannya. Ke mana Mas Arif di saat-saat seperti ini? Bagaimana bisa ia tenang bercanda tawa dengan wanita lain, sedangkan aku menahan sakit? "Bi, coba telepon Mas Arif!" desakku. Terdengar nada sambungan, tapi tak diangkat olehnya. Aku sudah putus asa. Ketika diperiksa, dokter hanya menggeleng pelan sekaligus heran. Tidak ditemukannya penyakit apapun dalam tubuhnku. Karena keguguran hari itu? Semuanya kurasa baik dan tidak sakit lagi sejak minum obat dari dokter. Jika dokter saja tak mampu mendiagnosa, aku ini sakit apa? "Nyerinya gimana, Bu?" tanya dokter. "Saya gak tau juga gimana, Dok. Intinya kayak melilit gitu, sakit," jawabku. "Jujur saya nggak menemukan penyakit apapun, semuanya normal dan baik." "Ya, sudah, saya minta obat pereda nyeri aja bisa, Dok?" Ia menyetujui dan membantuku berdiri. Bibi yang siap siaga pun ikut memapahku untuk mengambil obat. Ya Tuhan, masalah apa lagi ini? *** Di perjalanan pulang, kulihat pemandangan yang tak menyenangkan di sebuah kafe. Awalnya ingin memastikan dulu, tapi sepertinya itu memang mereka. Aku meminta turun pada supir taksi, ditemani Bibi. "Sabar dulu, Bu! Jangan membuat keributan di tempat umum. Ibu tau `kan kalau Pak Arif itu lagi dikuasai iblis? Pelan-pelan saja," ujar Bibi memberi saran. Sekuat tenaga aku menahan emosi, tapi kali ini tak lagi. Semua sudah keterlaluan. Tanpa basa-basi, kutarik paksa tangan Mas Arif yang sedang menikmati makan siangnya dengan Sarah. Astaga, benci sekali aku menatap wanita itu. Ingin merobek wajahnya dan membuang jasadnya ke sungai. Biarlah dimakan ikan-ikan dan buaya! "Hei, apa-apaan kamu? Kok main tarik tangan saya?" tegur lelaki itu tak terima. Tanganku dihempas kasar dan matanya menatap tajam. "Pulang, Mas. Kamu gak tau apa yang kualami sejak kemarin. Kamu tega banget!" "Emang kamu siapa? Dia itu istriku, kamu siapa?" Seluruh pengunjung terfokus padaku. Sejenak, aku merasa Deja Vu. Pernah merasa di posisi ini, tapi beda situasi. "Dia bukan istrimu, Mas. Sadarlah!" Setengah menangis kucoba membujuknya. Sseorang datang melerai, tapi bukannya membelaku, ia malah mencaci maki dan membela Sarah. "Jangan ngaku-ngaku deh kamu, Mbak. Malu dong ama harga diri. Tebel amat mukanya berani ngaku-ngaku istri orang!" katanya lalu tertawa, diikuti pengunjung lain. Tampaknya ini yang disukai Mas Arif, mempermalukanku di hadapan banyak orang. Dengan air mata yang bercucuran, aku memutuskan untuk pergi. Berusaha mengabaikan sorakan orang-orang yang tak tahu apa-apa itu. Andai kubawa buku nikah, pasti mereka akan percaya. Sayangnya, semua bukti ada di rumah dan sudahlah ... mungkin hari ini sial bagiku. "Mari pulang, Bu, kita tunggu Pak Arif sadar dan pulang." Bibi merangkulku kembali masuk ke taksi. *** Pukul tiga sore, kuputuskan untuk mencari udara segar karena semalaman susah tidur. Bibi pun membawakan jus alpukat di botol minum agar mudah dibawa ke mana-mana. Dengan memakai sepeda Mas Arif, aku pergi tanpa tujuan, tanpa arah. Ke mana saja asal bisa membuatku lebih baik. Hingga sampailah aku di Desa Mulyo, desa yang menjadi tempat peristirahatan Tania. Ia dimakamkan di sini karena TPU di daerahku penuh. Ya, lumayan heran juga mengapa TPU bisa sepenuh itu. Seakan-akan tiap hari ada yang meninggal dunia. Aku melewati beberapa rumah, termasuk rumah kosong yang pernah kumasuki bersama Mas Arif waktu itu. Terasa ada yang berbeda, tapi apa? Semua itu kuabaikan dan lanjut mengayuh sepeda. Kemudian tanpa sengaja kulihat sosok yang tak asing. Dari postur tubuhnya kukenal siapa dia, tapi bukankah ia sudah .... Meninggal? "Mbah Parto?!" Ia menoleh dan tersenyum, aku buru-buru mendekatinya dan memastikan berkali-kali. Benarkah ini dia? Apakah kematiannya itu hanya mimpi? "Eh, ngapain ke sini?" tanyanya ramah, seakan-akan tidak ada masalah di antara kami berdua. "Mbah, inget saya?" tanyaku. Rasanya serba salah. Semoga ia hanya mengingat baiknya saja. "Inget, kamu yang dateng berziarah ke makam sahabatmu bersama suami, `kan?" Ia memastikan dan kubalas anggukan pelan sambil menunduk. "Mbah, kemarin Mbah itu sudah ...." "Dengan izin Allah, saya hidup lagi. Saya masih diberi kesempatan untuk membantu orang lain," potongnya. "Saya turut bahagia, Mbah, tapi sebelumnya saya minta maaf karena telah membuat kesalahan besar." Aku mulai terisak. "Lupakan. Bayimu bagaimana?" Aku mendongak dan tangis semakin kencang. Tentu saja malaikat kecil itu kembali ke pangkuan-Nya. Tidak sempat lahir ke dunia. "Saya keguguran, Mbah ...," lirihku pelan. "Innalillahi. Sudah, jangan menangis. Sekarang antar saya ke rumah selingkuhan suamimu itu." "Untuk apa, Mbah?" Aku kebingungan. "Lihat saja nanti."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD