Sebuah Harapan

1631 Words
Aku menghela napas panjang, kemudian terduduk lemas di samping Mas Arif. Pak Burhan masih membacakan ayat-ayat suci Al-Qur'an, diikuti oleh Bi Inem. "Pak, serius suami saya ada yang santet?" tanyaku memastikan, masih tak percaya. "Serius, Bu," jawab Pak Burhan menghentikan bacaannya, kemudian memperbaiki posisi duduk dan berkata, "Saya juga gak tau modusnya apa, tapi saya bisa pastikan suami Ibu ini disantet." Aku terhenyak, apakah ada yang tak suka dengan suamiku sehingga melakukan dosa besar ini? Apa untungnya mencelakai Mas Arif? Keluarga kami biasa saja, tak kaya raya atau mempunyai banyak uang. Heran bercampur murka. "Bi, ini gimana?" tanyaku panik, mulai menitihkan air mata. "Kita berdoa aja sama Gusti Allah, Bu. Hanya Dia-lah yang bisa membantu kita saat ini." "Coba inget-inget, Bu. Apakah Pak Arif pernah berselisih sama orang lain dan ada kemungkinan orang itu sakit hati?" tanya Pak Burhan. Kami pun terdiam, setahuku Mas Arif humble dan tidak mempunyai musuh. "Sepertinya gak ada, Pak. Bapak `kan tau sendiri suami saya gimana. Ya, biasa aja, gak suka nyari masalah sama orang. Kalaupun ada, dia bakal cepet-cepet ngajak damai," jelasku. Pak Burhan mengangguk cepat, lalu meminta izin keluar sebentar. Katanya ingin menenangkan diri karena aura jin di tubuh Mas Arif cukup kuat. Cemas dan berharap. Sudah pukul 12 malam dan Mas Arif belum juga siuman. Aku hanya mondar-mandir tak jelas karena khawatir. Ingin menelepon Ibu, tapi takut mengusiknya di jam seperti ini. Tiba-tiba, Bi Inem datang sembari membawa segelas s**u hangat. Ia duduk di sampingku, tersenyum tipis. Wanita tua itu sebenarnya sudah kuanggap sebagai ibu kedua. Ia baik dan penyayang. "Jangan dibawa pikiran, Bu. Alhamdulillah, Pak Arif mau makan tadi. Udah mau bicara juga," ucap Bi Inem membuatku terperanjat senang dan langsung menghampiri Mas Arif. Pelan-pelan kuhampiri ia yang sedang bermain ponsel, kemudian duduk di sampingnya. Ia menoleh, tapi tatapannya kosong. Aku jadi takut. "Ngapain kamu ke sini? Panggil Sarah, aku mau tidur sama dia!" titah Mas Arif yang membuat hatiku pedih. "Sarah siapa, Mas? Mas gak ingat kalau aku ini istrimu? Ratih!" ucapku berusaha menyadarkan Mas Arif. Dugaanku kuat bahwa wanita itulah yang menyantet suamiku seperti ini. "Aku cuma kenal Sarah, sana pergi!" Seseorang menepuk pundakku pelan, sudah pasti itu adalah Bi Inem. Segera aku berbalik badan dan menatapnya sendu. Bak paham apa yang baru saja terjadi, Bi Inem menyuruhku istirahat. Biar dia yang menjaga Mas Arif. "Terima kasih, Bi," ucapku lalu melangkah pergi, meninggalkan Mas Arif, Pak Burhan, dan Bi Inem di dalam sana. "Jangan lupa minum obat maag-nya, Bu. Biar gak kambuh!" teriak wanita paruh baya itu. Aku hanya diam tak menjawab karena masih kepikiran tentang Mas Arif. Sarah ... wanita misterius itu harus kubuat pergi jauh-jauh. Jika dia yang menyantet Mas Arif, maka saat itu juga ia akan mati. *** Siang hari setelah memasak, aku memutuskan untuk pergi ke rumah Sarah. Ya, sama seperti terakhir kali berkunjung. Sepi, pintu dalam keadaan tertutup rapat, tapi tidak dikunci. Pemiliknya ada di dalam, entah sedang apa. Aku iseng mengintip di balik jendela kaca dan melihat Sarah sedang duduk bersila. Tak bergerak sedikit pun, ia seperti berbicara dengan seseorang. Merasa cukup lama mengintip, aku pun mengetuk pintunya beberapa kali. Ia keluar dengan menggunakan pakaian hitam serba tertutup. Hanya terlihat hidung dan mulutnya. "Ya? Mencari siapa?" tanyanya dingin. Aku meneguk ludah, rasa-rasanya seperti berbicara dengan hantu. "Saya nyari kamu, Mbak. Saya mau tanya banyak hal," ucapku berlagak sombong. "Baik, silakan duduk," katanya sambil menunjuk kursi di teras, berdekatan dengan sebuah meja kecil. Aku mengernyitkan dahi heran, mengapa tak dibawa masuk ke rumah? "Hm, maaf?" Aku sedikit memancing, siapa tahu ia lupa. "Silakan duduk, saya akan ambilkan air." "Oh, gak perlu, saya udah minum sebelum ke sini. Langsung aja, saya malas basa-basi." Aku mulai kehabisan kata-kata. Setelah mengatur posisi duduk, aku berdeham beberapa kali karena Sarah fokus menatap sesuatu. Wanita ini memang aneh, pantas saja tidak ada yang mau bertetangga dengannya. "Jujur aja, Mbak. Apakah Mbak punya dendam sama suami saya? Kenapa Mbak nyantet Mas Arif? Mas Arif salah apa?" tanyaku bertubu-tubi. "Maaf? Santet?" Ia balik bertanya. "Iya, kurang jelas? Mas Arif sakit itu karena kamu yang santet, `kan?" Aku kembali memperjelas, sedikit lagi membentaknya. "Maaf, mungkin Anda salah orang. Saya memang Sarah, tapi saya tidak menyantet suami Anda," elaknya. "Saya gak sebodoh itu, ya, Mbak. Kalau bukan Mbak yang santet, kenapa Mas Arif cuma mau ada Mbak di sisinya?" "Karena ada satu hal yang membuat suami Anda seperti itu. Hal yang sangat mengejutkan." Aku mulai habis kesabaran menghadapi wanita ini. Setelah bangkit dan mengumpatinya beberapa kali, aku memutuskan untuk pergi. Ketika berbalik badan, ia masih berada di tempat itu sampai akhirnya masuk dan menutup pintu. Dasar, wanita aneh! *** Sesampainya di rumah, Mas Arif tengah makan dengan Bi Inem. Mereka berdua cukup terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba. Memang tadi aku tak mengucap salam karena masih kesal. "Ada apa lagi toh?" tanya Bi Inem lembut. "Nanti aja aku cerita, Bi. Sekarang pengen rebahan," jawabku lalu memejamkan mata. Tiba-tiba, sesuatu yang basah terasa lembut menyentuh pipiku. Sontak, aku membuka mata dan mendapati Mas Arif tertawa terbahak-bahak. "Mas! Kamu! Ih, jorok banget sih!" "Rasain, habis makan jengkol, nih!" Aku mendekati dan mengelap pipi menggunakan bajunya. Ia tak bisa menghindar karena tanganku mencengkeram kuat. Syukurlah, Mas Arif kembali sehat. "Haha, udah-udah. Maaf, ya?" katanya membujuk. Aku tak bisa menahan tawa. "Nggak papa. Yang penting Mas sehat, itu udah cukup kok buatku." Senyuman lebar kupersembahkan untuknya. "Lha, emang Ma sakit? Perasaan Mas baik-baik aja." ' Hening .... Bi Inem pun terdiam. Ia malah sibuk membersihkan meja dan meletakkan piring kotor ke dapur. Aku kembali merebahkan diri, Mas Arif seperti orang amnesia. "Semalam Pak Burhan datang ke rumah, lho. Mas gak inget?" Ia menggeleng pelan, wajahnya terlihat linglung. "Terus beliau bilang Mas itu kena santet. Inget?" Ia menggeleng lagi. "Ini aneh, Mas. Berkali-kali juga Mas sebut nama Sarah terus, ngusir aku. Seakan-akan Sarah itu istri Mas," ucapku dengan suara bergetar karena menahan tangis. Cemburu. "Mas gak inget itu semua. Maaf kalau udah bikin Adek sakit hati." Ia mengelus pucuk kepalaku lembut. "Besok kita panggil Sarah ke rumah aja, boleh? Kita tanya lebih lanjut, aku gak mau sendirian. Dia itu aneh." Mas Arif pun mengangguk. *** Pagi hari setelah memasak, aku bersiap-siap pergi ke rumah wanita aneh itu lagi. Kali ini tidak sendirian, ada Mas Arif yang menemani. Tadinya Bi Inem juga ingin ikut, tapi tidak ada yang menjaga rumah. "Sarah, Sarah siapa, sih? Temen kantor Mas emang ada yang namanya Sarah, tapi kami temen biasa aja," jelasnya tiba-tiba, tanpa kutanya. "Aku juga gak tau, intinya Mas sering manggil dia. Kan jengkel akunya." Sesampainya di halaman rumah Sarah, Mas Arif memarkirkan mobil dan kami pun turun. Pintunya tertutup, itu sudah jelas. Setelah tiga kali mengetuk pintu, tapi tak ada sahutan, kami pun memutuskan untuk pulang. "Cari siapa?" Kami menoleh bersamaan, Sarah muncul dengan penampilan yang misterius. Seperti biasa, ia tak ingin memperlihatkan wajahnya. "Mas?" Aku langsung memeluk erat lengan Mas Arif karena tatapannya berubah kosong. Sarah mempersilakan kami masuk, tapi aku menahan Mas Arif melangkah maju. Mulai ada yang tak beres. "Sarah ...," lirih Mas Arif parau. Ia menghempaskan tanganku dan berlari memeluk wanita itu. Air mata tak dapat kutahan lagi. Sakit sekali. "Kamu ke mana aja? Kenapa tinggal sendirian di sini?" tanya Mas Arif. "Aku memang tinggal di sini, Mas. Aku baik-baik saja, jangan risau." "Cukup!" teriakku dan langsung menarik lengan Mas Arif. Namun, ia menatapku tajam, lalu mengusirku dengan nada kasar. Setelahnya, aku tak berani berbuat apa-apa lagi. Aku pulang dengan berjalan kaki. Entah apa yang dilakukan mereka saat ini. Di tengah perjalanan, gerombolan ibu-ibu datang menghampiri. Mereka dengan tatapannya yang mengiba itu, membuatku bingung sendiri. "Ada apa ya, Bu?" "Kamu orang baru di sini, Dek? Apa gimana? Kok jalan kaki panas-panas begini?" tanya salah satu dari mereka. "Saya ada urusan jadi datang ke sini, Bu. Tadi saya ke sini dianter, jemputannya belum dateng." Aku berbohong. "Hati-hati, ya. Jangan keseringan ke sini kalau gak ada urusan mendadak. Apalagi bawa pasangan." Aku terdiam, lama menatap mereka karena bingung apa maksudnya. "Udah, cepet pulang. Jangan terlalu lama di sini," ucapnya lagi. Aku yang awalnya ingin bertanya pun mengurungkan niat. Mereka berlalu, sangat cepat. Tinggalah aku seorang yang dipusingkan dengan ucapan mereka barusan. Ada apa dengan tempat ini? *** Sesampainya di rumah, aku memanggil Bi Inem dan meminta dibawakan air es. Di luar sangat panas, rasa-rasanya tubuhku dehidrasi. "Kok pulang sendiri, Bu? Pak Arif ke mana?" tanya beliau lalu ikut duduk berhadapan denganku. "Mas Arif lupa lagi, dia di rumah Sarah, Bi. Udah saya ajak pulang, tetep mau sama Sarah." "Cepat obati Pak Arif, Bu. Saya loh khawatir banget masalahnya makin runyem." Kami sama-sama terdiam. Teringat ucapan Pak Burhan waktu itu. Haruskah kami memanggil beliau lagi untuk datang mengobati? Tubuh Mas Arif memang sembuh, tapi tidak dengan hatinya. Ia masih memikirkan Sarah. "Dugaan kuat Pak Arif itu memang dipelet, Bu. Di desa saya banyak kejadian begini. Rata-rata pelakunya janda dan mau merebut suami orang. Gejalanya pun mirip," jelas Bi Inem. "Saya soal beginian percaya gak percaya, Bi. Sulit diterima akal sehat," balasku sambil memijit kening karena pusing. Di sisi lain khawatir, Mas Arif belum juga pulang. *** Hampir tiga jam menunggu, akhirnya lelaki itu pulang. Aku hanya diam mematung melihatnya dari atas ke bawah. Apa ini? Apa yang telah Sarah perbuat terhadap suamiku? "Mas ... kamu?" Rasanya, lidahku kelu dan tak mampu berkata apa-apa lagi. Bi Inem dengan sigap membuka jaket hitam yang Mas Arif kenakan. Ia langsung berlari ke dapur, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mas Arif langsung merebahkan dirinya di atas sofa. Ia bahkan tak mau melihatku. "Mas, jawab! Kamu habis ngapain sama Sarah?! Ini ... ini bekas apa, Mas?" Aku menggoyangkan tubuhnya. Di baju Mas Arif, ada noda cair yang tak asing bagiku. "Argh, lepas! Jangan sentuh aku!" balasnya kasar. Bi Inem yang mungkin mendengar bentakan itu, langsung mendatangiku. "Bu, sepertinya dugaan saya benar. Sarah berani bermain sejauh ini."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD