Mbak Sarah

1030 Words
"Bi, gimana Mas Arif? Udah mau makan?" tanyaku sesampainya di rumah. "Belum, Bu. Masih belum sadar juga. Kalau pendarahan alhamdulillah sudah berhenti," jawab Bi Inem. Aku mengembuskan napas lega, kemudian mempersilakan Sarah masuk. Bi Inem menatapku, seolah-olah ia kebingungan dan ingin bertanya sesuatu. Ya, aku paham sekali. Siapa yang tidak heran melihat perempuan misterius ini? "Maaf, Bu, ini si Sarah itu?" tanya Bi Inem. Aku mengangguk pelan, kemudian menyuruhnya untuk mengambilkan minum dan camilan. Kami duduk di sofa, saling berhadapan. Ia terdiam, tak mengucapkan sepatah kata pun sejak tadi. Bergerak dari tempat semula pun tidak. Ingin rasanya aku melepas tudung itu, penasaran seperti apa rupanya. Di luar sana agak mendung, untung saja hari ini tidak jemuran. Angin mulai bertiup kencang, tapi tetap saja Sarah tidak merespon apa-apa. Bi Inem datang membawa nampan berisi makanan dan dua gelas sirup jeruk. Ia pamit ke dapur, sedangkan aku menyajikan sirup itu untuk Sarah. Berharap ia meminumnya, ternyata tidak. "Mbak, ayo diminum dulu. Mbak pasti kehausan," kataku. "Tidak, terima kasih. Saya sudah minum tadi." Aku tercekat, kapan ia minum? Aku tidak melihatnya. "Kalau begitu, untuk mempersingkat waktu, mari saya antar ke kamar. Suami saya ada di sana." Ia langsung berdiri dan aku berjalan menuntunnya. Mulailah ada perasaan tak enak, merinding dan panas dingin. Bi Inem yang datang dari dapur terlihat aneh. Yang tadinya berjalan tenang, tiba-tiba menatapku penuh ketakutan. "Bu! Sarah!" katanya sembari menunjuk belakangku. Dengan cepat aku menoleh, tapi tidak ada sesuatu yang aneh. "Kenapa, Bi?" "Eng–enggak papa, Bu. Mungkin tadi salah lihat." Ia terlihat gugup dan langsung pergi ke dapur lagi. Ya Tuhan, mengapa orang-orang jadi semakin membuatku geleng-geleng keheranan? *** Sarah duduk di samping suamiku. Ia mengelus tangan dan seperti membaca sesuatu. Hampir saja kuanggap ia seorang dukun. Namun, mengapa Mas Arif hanya ingin Sarah yang datang? Aku yakin pasti ada hubungan spesial. Setelah beberapa menit, Mas Arif siuman. Ia langsung memeluk Sarah, bukan aku. Hati teriris, teramat sakit. Namun, itu tidaklah penting untuk saat ini. Mas Arif sadar, itu sudah cukup bagiku. Sarah izin pulang, aku pun berniat mengantarkannya. Akan tetapi, wanita itu menolak. Sebelum pergi, ia bertanya sesuatu yang membuatku kembali berpikir. "Apakah kamu sudah hamil?" "Be–belum, Mbak. Kenapa?" Ia langsung mengelus-elus perutnya sendiri, kemudian pergi begitu saja. Entah apa maksudnya, apakah ingin menghinaku karena belum memiliki anak? Tepat setelah Sarah hilang dari pandangan, Bi Inem datang sembari membawa segelas s**u. Katanya ini untukku, tapi sekarang tidak berselera meminum apa-apa. "Perempuan yang aneh," ucapnya datar. "Gimana Mas Arif?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. "Alhamdulillah, udah mau makan minum. Ibu ke sana aja temenin bentar, saya mau ganti seprai sama sarung bantalnya." Aku mengelus d**a, lumayan hilang kekhawatiran. Tinggal mencari tahu apa hubungan Sarah dengan Mas Arif. Juga, obat apa yang ia berikan sehingga Mas Arif bisa sembuh dari sakitnya. Semua masih menjadi tanda tanya. "Mas, gimana perasaanmu sekarang? Mau apa-apa bilang aja, ya," ucapku. "Agak pusing, tapi insya Allah baikan bentar lagi," jawabnya, "oh, iya, bisa minta tolong ambilkan HP Mas?" Aku mengangguk pelan, kemudian berdiri mengambilkan ponselnya. Ketika hendak mencabut charger, mataku teralihkan pada notifikasi di layar terkunci. Tiga puluh panggilan tak terjawab, dari siapa? *** "Mana?" Ucapan Mas Arif membuyarkan lamunanku. Segera mencabut benda pipih itu dari kabel charger, kemudian menyerahkannya pada Mas Arif. Tatapannya mulai sinis, jangan-jangan ia tahu aku sempat mengecek sesuatu. "A–aku ke dapur dulu," ucapku gugup. Ia tak membalas apa pun. Di depan kamar, aku berpapasan dengan Bi Inem. Ia terlihat ketakutan, sesekali pandangannya fokus ke Mas Arif. "Kenapa, Bi?" tanyaku. "Nggak papa, Bu. Kalau butuh apa-apa bilang, ya. Saya ada di dapur mau masak." "Yang di tangan Bibi itu apa?" Sejak tadi kuperhatikan, tangan kanannya selalu di belakang. Entah menyembunyikan apa. "Bu–bukan apa-apa, Bu. Saya permisi dulu." *** Sekitar pukul dua siang, Ibu menelepon bertanya kabarku dan suami. Karena tidak ingin membuatnya khawatir, aku menjawab semua baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Namun, tidak kusangka, kebohongan itulah yang akan menjadi boomerang. Ibu berniat ke rumah bersama kedua saudaraku. "Ngapain ke rumah, Bu? Nggak ada yang sakit kok!" "Lha, emang main ke rumah kalau pas sakit aja? Gimana, sih kamu ini! Sudah, lusa Ibu ke sana. Ibu kangen soalnya," balas Ibu tetap bersikukuh. Aku menjauhkan ponsel lalu mengembuskan napas kasar. Mau beralasan apa lagi agar Ibu tidak jadi ke sini? "Risti? Denger Ibu gak? Kok diem?" "Ah ... i–iya, Bu. Lusa, ya? Oke, nanti siap-siap sebelum Ibu datang." Sambungan ditutup, aku merebahkan diri di atas sofa. Mas Arif belum sembuh, ia masih terbaring lemah. Belum lagi tubuhnya yang kurus kering, pasti menimbulkan banyak pertanyaan. Pria yang dulunya bertubuh kekar dan kuat, tiba-tiba terkena penyakit aneh. Aku hanya pasrah, semoga lusa Tuhan memberi jalan. *** "Bu! Pak Arif kejang-kejang!" Aku yang sedang berbaring di ruang tamu pun langsung bangkit dan menghampiri Mas Arif. Tak tahu harus berbuat apa, akhirnya aku berteriak meminta tolong pada tetangga. Bi Inem menjaganya selagi aku mendatangi rumah Pak RT. Entahlah, tidak ada yang kupikirkan selain Mas Arif. "Suami saya, Pak! Tolongin! Saya gak tau mau minta bantuan ke siapa!" ucapku dengan napas tersengal-sengal. Pak RT dan istrinya menenangkanku. Mereka menyuruhku untuk duduk dan menjelaskan pelan-pelan. "Suami saya, udah hampir sebulan terbaring sakit, Pak. Badannya makin kurus, sering keluar darah dari hidung dan mulutnya. Saya udah periksa ke dokter, tapi gak terdeteksi penyakit apa-apa. Saya bingung, Pak, suami saya sakit apa," jelasku. Pak Burhan mengangguk paham, ia pun bersedia datang ke rumah untuk menengok Mas Arif. Sesampainya di rumah, Bi Inem berdiri di depan pintu dengan wajah cemas. Ia menggeleng pelan, tapi aku tidak memedulikannya. Aku mempersilakan Pak Burhan dan istrinya masuk untuk melihat kondisi Mas Arif. Dengan langkah pelan, kami bertiga mendekati ranjang. Mas Arif tertidur sangat pulas, hingga tak tega membangunkannya. Aku duduk di sampingnya, kemudian menggenggam tangan kanan itu erat-erat. Aneh, terasa kaku dan dingin. Dadanya pun tidak naik turun, seperti berhenti bernapas. Apa yang terjadi? "Pak, suami saya kenapa?!" Aku mulai panik, tidak ada embusan napas yang keluar dari hidungnya. "Sabar, Bu Risti. Biar saya cek." "Pak, tolong suami saya ...." Aku pasrah, hanya bisa menangis saat ini. Jika Pak Burhan tak bisa menyembuhkan Mas Arif, siapa lagi yang bisa diharap? "Bu, ada yang menyantet Pak Arif."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD