Misteri Kematian

1621 Words
"Ibu manggil siapa?" Begitu mendengar suara Bibi, aku pun tersadar dari lamunan dan terkejut. Tadi ada Tania di sini, tepat berdiri di hadapanku dengan pakaian lusuh. Ke mana ia sekarang? "Cari siapa, Bu?" Tak kuhiraukan pertanyaan Bibi dan fokus mencari Tania. Hingga akhirnya Mas Arif menarik tanganku karena hampir saja terjatuh. "Kamu ngapain toh, Dek? Kalau jatuh terus kandungan kamu kenapa-napa gimana?" Ia tampak khawatir, tapi tak kupedulikan itu. "Tania, Mas. Tadi dia ada di sini, sekarang nggak ada!" ucapku dengan napas yang tersengal-sengal. "Tania? Kan dia lagi di rumah sakit, Dek! Masa iya ke sini? Ngadi-ngadi kamu," kata Mas Arif tak percaya. Tidak mungkin aku berhalusinasi. Ia berdiri dengan tatapan kosong, dengan pakaian yang terkoyak. Ia seperti meminta tolong. Ya Tuhan, semoga ia baik-baik saja. "Mas, ayo ke rumah sakit, aku mau lihat keadaan Tania sekarang," pintaku memohon. Mas Arif menghela napas berat, kemudian menjawab, "Kamu gak lihat ini jam berapa, Dek? Mas juga capek, besok kerja lagi. Yakinlah Tania gak kenapa-napa." Ia langsung kembali masuk ke kamar, meninggalkanku sendirian di ruang tamu. Bibi pun datang dan memberiku segelas air hangat. Katanya untuk menenangkan pikiran. Bibi mengantarku ke kamar, ia pun ikut menemani sebentar karena Mas Arif sudah tertidur lebih dulu. "Bi, semoga Tania baik-baik aja di sana. Saya takut sekali," lirihku. "Aamiin. Rumah sakit penjagaannya ketat kok, Bu. InsyaAllah dijaga banyak orang." Aku teringat sesuatu. Yang menjaga Tania saat ini adalah Aris dan Siska. Sepasang kekasih yang entah kapan akan menikah. Kuraih ponsel yang sedang diisi daya itu, kemudian menekan aplikasi hijau. Grup sepi, terakhir kali chat dikirim oleh Siska pada pukul setengah dua belas. Biasanya mereka aktif di malam hari, makhluk nokturnal. [Ar, masih jagain Tania?] Ceklis satu, tidak aktif berarti. Terakhir dilihat satu jam yang lalu. Mungkin ia sudah tertidur. [Sis, masih jagain Tania kah?] Sama, pacarnya juga tidak aktif. Ingin menelepon, tapi takut mengganggu. Pada akhirnya, semalaman aku sulit tertidur. Pikiran bercabang, beban pun semakin bertambah. Banyak pertanyaan yang terngiang-ngiang di benak. Ingin rasanya malam ini cepat berlalu agar bisa meredakan semua rasa penasaran. *** Setelah bersiap-siap dan menyediakan keperluan seadanya, aku bergegas ke rumah sakit menggunakan taksi karena mobil dibawa Mas Arif kerja. Tadi sempat ingin minta diantar, tapi ia sudah terlambat. Alhasil kuputuskan untuk pergi sendiri saja. Begitu sampai di kamar Tania, aku langsung memeluknya. Ia belum sadar, tapi melihatnya aman di sini, sudah cukup melegakan hati. "Kenapa, Ris? Kok panik gitu?" tanya Siska. "Nggak, semalam tiba-tiba khawatir aja sama Tania." "Oh, pantes kamu chat kita malem-malem. Udah tidur." "Nggak papa. yang penting Tania aman." Aku menghela napas lega dan keluar kamar karena takut mengganggu istirahatnya. Siska pun ikut, ia menatapku nanar. Seakan ingin mengatakan sesuatu. "Lo tau gak? Semalam gue ada perasaan aneh. Entah beberapa kali gue ngelihat ada orang misterius bolak-balik di depan pintu kamar. Pas gue liat, nggak ada siapa-siapa," ucapnya sedikit berbisik. "Serius? Orangnya gimana?" "Gue gak lihat mukanya karena dari samping dan bajunya serba hitam. Aneh banget," jawabnya. Aku pun teringat dengan sosok misterius tadi malam. "Sis, maaf, aku inget sesuatu. Aku pulang dulu!" *** Sesampainya di rumah, aku langsung mencari benda yang diseret seseorang tadi malam. Masih ingat betul bagaimana bentuk dan warnanya. Namun, benda itu sudah menghilang, padahal sudah kucari ke seluruh halaman rumah. Bertanya ke Bibi pun ia tak tahu karena sejak tadi sibuk bekerja di dapur. Sambil menghela napas berat, aku duduk di gazebo karena mulai lelah. Ya, sejak hamil, tubuhku tak sekuat dulu. Harusnya memang membatasi gerak karena ibu hamil tidak boleh kelelahan. Kuputuskan untuk masuk saja dan menelepon Siska. Bagai kebetulan yang tidak disengaja, Siska meneleponku duluan. Ia mengabariku sesuatu yang mengejutkan. "Hah? Gimana bisa hilang, sih? Kamu `kan yang jagain dia, Sis!" geramku. "Iya, tadi gue tinggal ke toilet dulu, Ris. Terus pas balik udah gak ada dianya! Udah dibantu cari ama petugas rumah sakit." Aku buru-buru memesan taksi dan pergi ke rumah sakit. Sesampainya di sana, keluarga dan teman-teman panik tidak keruan. Mereka khawatir Tania diculik orang dan ... ah, pikiranku jadi ke mana-mana. Ibunya menangis tanpa henti, ia baru saja tiba dari Bandung. Begitu mendengar sang anak kecelakaan, ia langsung meminta pulang. Ya, ibunya bekerja di luar kota. Rasa trauma karena dulu suaminya meninggal karena kecelakaan juga, membuat wanita paruh baya itu tak rela. Berkali-kali ia memaki, menyumpahi sopir yang membuat Tania kecelakaan. "Sabar, Bu." Hanya itu yang mampu kukatakan untuk menenangkannya. "Maaf, sumpah gue nggak ada niat apa-apa sama Tania. Gue cuma tinggal ke toilet sebentar. Aris pergi cari makanan," jelas Siska. "Iya, gue ngerti lo gak bakal macem-macem, Sis. Gue nggak nyalahin lo kok, penculiknya harus ditemukan segera." *** "Telah ditemukan jenazah wanita tanpa busana yang beberapa bagian tubuhnya terpisah. Diketahui, jenazah itu merupakan pasien Rumah Sakit Bhakti yang dikabarkan hilang sejak tiga hari lalu." Tubuhku lemas, pertahananku rubuh. Mas Arif yang juga mendengar berita itu langsung memelukku erat. Ia peka, ia paham. "Itu bukan Tania, Mas! Bukan!" Aku mengelak ketika foto Tania ditunjukkan oleh presenter berita. "Sudah, doakan saja yang terbaik untuk Tania." "Gak bisa gitu, Mas! Siapa yang tega bunuh Tania begini?" Di tengah tangisanku, Bibi tiba-tiba datang terburu-buru. Ia ingin menunjukkan sesuatu. "Bu, ini kuku palsu siaoa? Saya dapet di bawah tiang jemuran tadi. Ada dua," ucapnya lalu menunjukkan kuku palsu itu. Aku sontak menelan ludah dan histeris. Ini kuku palsu yang selalu dipakai Tania. Mengapa ada di halaman rumah? "Cuma kuku ini aja, Bi? Yang lain nggak ada? Barang mencurigakan?" tanyaku. "Nggak ada, Bu. Hanya ini." Mas Arif menatapku sekilas, kemudian bertanya, "Kamu yakin ini punya Tania, Dek?" "Iya, aku yakin, Mas." Merasa ada yang tidak beres, aku pun memeriksa sendiri tempat ditemukannya kuku palsu ini. Tidak ada hal yang aneh memang, sampai akhirnya kutemukan jejak sepatu yang ukurannya tidak biasa. Disandingkan dengan semua ukuran sepatu di rumah, tidak ada yang sama besarnya. "Jangan-jangan ada pembunuh di sekitar sini, Mas." *** Usai menghadiri acara pemakaman Tania, aku sedikit nimbrung obrolan ibu-ibu di sana. Katanya bagian tangan dan kaki Tania-lah yang hilang. Karena belum ditemukan dan keluarganya meminta segera dikubur, bagian tubuh yang putus itu dipasrahkan saja. Jikalau nanti ditemukan, tinggal dikubur di samping makam Tania. "Misterius banget gak, sih, Bund? Kenapa, ya rata-rata orang di sini meninggalnya nggak wajar," ucap seorang ibu-ibu "Iya, ih, jadi pengen pindah tapi belum ada persiapan," timpal yang lainnya. Aku memang belum lama tinggal di sini. Beda dengan mereka yang sepertinya sudah tahan bertahun-tahun tinggal di lokasi yang aneh. "Jangan-jangan ada yang pakai pesugihan, ya, terus tumbalnya manusia." Aku bergidik ngeri sendiri, terlebih masih berada di sekitar makam. "Ih, jangan gitu, Bu! Takut saya, mana cuma tinggal berdua ama anak." "Suaminya mana, Bu?" tanyaku antusias. "Suami saya selingkuh dulu, jadi kami pisah," jawabnya dengan nada sendu. "Astagfirullah, maaf ya, Bu saya nggak tahu. Maaf udah bikin down lagi." Aku merasa tak enak hati dan mereka pun baik-baik saja. Bu Wati, Mbak Devi, dan Bu Ani mengajakku berkunjung ke komplek mereka. Halaman yang lumayan luas dan ada gazebo membuatku merasa nyaman. Pemandangannya pun berbeda. Bu Ani menawariku kopi, tapi kutolak karena tidak suka. Akhirnya meminta air mineral saja. Kami mengobrol banyak hal, termasuk Tania. Mereka cukup terkejut ketika tahu aku adalah sahabat almarhumah. "Dek Tania itu meskipun tomboy, tapi aslinya baik banget. Saya sering dianterin makanan tiap dia pulang kerja," kata Mbak Devi yang kebetulan belum menikah, sehingga tinggal sendiri di rumah. "Kematiannya naas banget, nggak nyangka saya. Siapa orang yang tega membunuh coba?" "Mungkin pacarnya? Atau mantan?" Aku menggeleng cepat, seingatku Tania tak pernah cerita jika mempunyai kekasih. "Karena dia tomboy, jarang ada yang suka dan berani deketin. Orangnya beringas," ucapku. "Kasihan, ya, semoga cepat terkuak masalahnya. Saya kasihan sama ibunya malah. Pasti depresi banget." *** "Mas, udah ketemu keluarga Tania?" tanyaku begitu sampai di rumah. "Belum, mau ke sana sekarang?" Aku pun langsung mengiyakan dan pergi ke rumah Tania. Keluarganya masih tinggal di sana beberapa hari, mereka masih menunggu kejelasan kasus ini. Sempat dilakukan otopsi, tapi tidak ditemukan bekas pembunuhan. "Emang kemarin jenazahnya ditemukan di mana/" tanyaku pada salah satu suster. "Di halaman samping, deket pohon mangga, Bu. Tangan kanannya putus, kaki kirinya juga." "Apa gak ada yang liat pas kejadian? CCTV rumah sakit nggak nyampe sana?" "Udah cek CCTV juga, tetep nggak ada titik terang, Bu." "Ya, gak masuk akal, sih. Dia meninggal dengan tangan dan kaki putus. Harusnya ada yang bunuh." Aku pun pergi ke lokasi penemuan mayat Tania dan mencari-cari hal yang mungkin bisa menjadi petunjuk. Ketika menyisiri tempat itu, tak sengaja kutemukan kain merah yang diikat dengan karet gelang. Penasaran, aku pun membukanya. Di dalam kain itu ada foto Tania yang bagian tangan dan kaki dicoret menggunakan tinta merah. Ada selembar kertas juga yang bertuliskan huruf aneh. Aku langsung membawa kain itu dan menunjukkannya kepada Mas Arif. "Ini mah mantra, mantra sihir, Dek!" katanya. "Jadi, maksud Mas, Tania itu disantet? Sama siapa?" "Mas juga gak tau, tapi Mas yakin ini mantra santet." Aku meremas kuat kain itu, kemudian mengingat malam ketika Tania datang. Rupanya sudah diberi tanda, ia meminta tolong tapi aku tak peka. "Ini semua salah gue, salah gue! Coba hari itu gue nunggu sampai Aris pulang, mungkin kejadiannya nggak bakal begini!" ucap Siska di telepon. Aku hanya mendengar, karena tak bisa berkata apa-apa lagi. "Ris, bisa gak tukar nyawa sama Tania? Gue nggak bakal hidup tenang!" "Gak bisa, Sis. Lo harus terima kalau semuanya udah terjadi. Lo harus tetep menjalani kehidupan," jawabku. "Gue gak enak sama keluarganya. Sama teman-teman juga. Gue gak pantes hidup lagi, Ris!" Ia terdengar depresi, tapi memang jujur dalam hati, aku menyayangkan kejadian itu. Hanya beberapa menit yang berharga, tapi sudah melenyapkan satu nyawa. "CCTV di kamar Tania mati, gak ada yang bisa mengungkap siapa pelakunya." "Matikan teleponnya, kita ketemuan sekarang," titahku. "Nggak perlu, Ris. Gue udah pasrah, hidup gue hancur sekarang. Maaf, ini terakhir kalinya kita ngobrol."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD