Mimpi Aneh

1622 Words
"Ris, lo lihat Siska gak? Seharian gak ada kabar, asli gue khawatir banget!" ucap Aris di telepon. "Maksud kamu, dia hilang?" "Gak tau, Ris. Coba lo telepon deh, jangan-jangan gue diblokir." Aku langsung mematikan sambungan telepon dan mengecek w******p Siska. Profilnya masih ada, story-nya sebelas jam yang lalu pun masih terpasang. Aku membuka, heran dengan kata-kata yang tidak biasa. [Tears, i wan't to sleep forever.] Setelahnya ia tak terlihat aktif lagi. Awalnya aku tak begitu memikirkan Siska, mungkin ia butuh waktu sendiri karena kematian Tania. Namun, mendengar pengakuan Aris bahwa Siska menghilang, pikiranku menjadi tak tenang. "Lo diblokir WA?" tanyaku setelah panggilan tersambung. "Iya, foto sama infonya kosong. Lo ada?" "Ada di gue, bahkan story terakhir dia belum dihapus. Gue kirim di WA." Aku men-screenshot story WA Siska itu dan mengirimnya ke Aris. "Astaga, gue takut sumpah!" katanya, "gue cari dia dulu, ya." *** Malam yang sepi, Mas Arif pergi bertemu kawan-kawannya yang baru saja datang dari luar kota. Tadinya aku diajak, tapi kutolak karena sangat lelah. Dengan berat hati ia pergi sendiri, karena sudah berjanji akan membawaku. "Lain kali ajalah, Bi. Sumpah capek banget saya ini," ucapku ketika Bibi bertanya. "Iya, ndak papa, Bu. Rehat aja dulu, saya pijitin mau?" tawarnya lembut. "Astaga gak usah, Bi. Gak enak loh saya." "Santai aja, Bu, dulu pas hamil pun saya sering dipijitin ibu sendiri. Rasanya enak dan capek pun hilang, hehe," ucapnya cengengesan. "Duh, gak enak saya, Bu." "Udah, nggak papa. Saya ambil minyak urut dulu, ya." Wanita itu pun berlalu mencari minyak urut yang letaknya di kotak obat. Namun, anehnya perasaanku tidak nyaman. Seakan-akan sebentar lagi sesuatu yang buruk akan terjadi. Lumayan menunggu lama, mengapa Bibi belum juga tiba? Penasaran, aku pun mendekatinya perlahan. Remang-remang cahaya membuatku sedikit merinding. Tibalah di dapur, hawanya langsung berubah tak enak. Bibi berdiri membelakangiku seperti menyembunyikan sesuatu. "Bi?" Aku memanggilnya pelan, tapi ia tak menjawab. Hal yang aneh terjadi, tetes demi tetes cairan merah jatuh ke lantai. Serupa darah. "Bi, itu apa? Kenapa?" Dengan cepat ia menoleh dan berniat menusukku dengan sebilah pisau. Untung saja jarakku dengannya lumayan jauh, sehingga bisa lari sekuat tenaga agar tak bisa ia capai. Panik bukan main, aku masih sempat menyambar ponsel yang tergeletak di atas meja ruang tamu, kemudian langsung keluar rumah dan mengunci pintu. Aku berlari ke kos Aris yang tak jauh dari rumah. Rupanya ia sedang di luar dan aku baru ingat, ia masih mencari Siska. Dengan napas yang tersengal-sengal, aku mencoba menghubungi Mas Arif. Sepertinya ia sibuk sehingga tak mengangkat panggilanku. Entah bagaimana Bibi sekarang. Aku khawatir ia menyakiti diri sendiri. "Halo, Dek? Kenapa?" Akhirnya ia menjawab. "Mas, cepat pulang, Mas! Bibi!" "Bibi kenapa? Tenang dulu, jangan bikin Mas khawatir!" "Bibi kerasukan terus mencoba bunuh aku, Mas!" "Astagfirullah, sekarang kamu di mana ini? Aman?" "Aku di luar, Mas, di kos Aris. Jemput aku di sini aja." Segera ia menutup telepon dan aku bernapas lega. Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini? Mengapa jin itu merasuki Bibi? Begitu tiba, aku langsung memeluk pria itu dan menangis sesenggukan. Takut bayiku celaka. "Udah, ada Mas di sini. Ayo kita coba pulang," bujuknya. "Nggak, Mas! Nanti Bibi---" "Sssst, udah." *** Aku membuka pintu rumah dengan hati-hati. Seisi rumah gelap, hanya lampu teras yang menyala. Mas Arif pun menekan sakelar lampu dan berjalan mendahuluiku. "Eh?" Aku tersentak karena merasa menginjak sesuatu yang keras dan dingin. Ketika dilihat, ternyata sebilah pisau yang tergeletak di lantai. Aku mengambil pisau itu dan menunjukkannya pada suamiku. "Ini pisau yang tadi dibawa Bibi, Mas," ucapku. "Kamu yakin?" tanyanya penuh selidik. "Iya, yakin. Di rumah cuma ini pisau bergagang hitam, ya lain `kan warna pink," jawabku mantap. Kami bergegas mencari Bibi, takut terjadi apa-apa padanya. Kami menyelusuri seluruh rumah, tai tak kunjung tampak batang hidungnya. Istirahat sejenak untuk menormalkan napas, akhirnya Bibi muncul sendiri dengan wajah pucat dan jalan terseok-seok. Aku langsung bangkit dan membantunya duduk. "Ya Allah, Bi. Kenapa bisa begini?" "Saya juga gak tau, Bu. Begitu sadar saya udah pegang pisau dan langsung buang. Saya gak nyakitin siapa-siapa, `kan?" tanyanya khawatir. Aku dan Mas Arif beradu tatap, sama-sama bingung mau menjawab apa. Terlihat jelas kegugupan di wajah Mas Arif, ia pun menaikkan sebelah alis sebagai tanda menyerahkan semuanya kepadaku. "Saya langsung keluar rumah, Bi. Udah, Bibi istirahat aja dulu.Tidur," ucapku yang dibalas anggukan singkat oleh wanita itu. *** Aku terbangun dengan napas tersengal-sengal. Mimpi yang sangat mengerikan. Aku melihat seorang wanita yang memakan daging manusia. Seumur hidup barusan bermimpi aneh seperti itu. Masih pukul tiga pagi, aku memutuskan untuk salat Tahajud saja. Setelah berwudhu dan memakai mukena, aku menggelar sajadah dan mulai membaca niat. Di tengah kekhusyuan itulah aku merasa ada yang aneh. Seperti ada yang berdiri di belakangku dan mengucapkan, "Aamiin." Setelah salat, aku mencoba tidur, tapi tak bisa. Mas Arif terlihat sangat lelah. Iseng memeriksa ponselnya yang terus berbunyi karena notif grup WA. [Tadi ada masalah katanya jadi Arip pulang cepet. Biarin ajalah, daripada bininya kenapa-napa.] [Hooh, bisa lain kali kita ketemuan.] Rupanya teman Mas Arif menyayangkan hal tadi. Mereka sedang asyik berkumpul, tapi aku malah mengacaukan segalanya. Ah, sebenarnya apa yang terjadi pada Bibi? Apakah ia dirasuki anak kecil yang pernah merasuki suamiku juga? Aku pun menuliskan permintaan maaf karena telah mengganggu acara kecil mereka. Mereka tidak mempermasalahkan itu, terlebih mengetahui jika aku sedang mengandung. Syukurlah, sedikit lebih lega. Sampai azan Subuh aku tak juga tertidur. Pikiran bercabang, pusing karena banyaknya masalah yang datang. Tentang Sarah, Tania, Pak Burhan, dan Bibi. Hantu anak kecil dan sosok yang selalu mengusik Mas Arif. Aku ingin segera lepas dari itu semua. *** Pagi harinya, entah mengapa aku ingin pergi ke suatu tempat yang sepi. Mas Arif cuti bekerja selama tiga hari, jadi ia ingin menemaniku jalan-jalan. Setelah jogging, kami rehat sejenak dan berangkat lagi. Bibi belum bangun sejak subuh, mungkin ia masih sangat lelah. Sedikit berbeda memang, karena biasanya ada yang menyajikan teh hangat dan sepiring roti untuk kami. Karena aku sendiri masih kelelahan, akhirnya kami memesan makanan lewat online. "Mas, jalan-jalan aja, yuk! Maksud aku ke mana aja gitu, bebas, tanpa tujuah hehe. Nanti juga ketemu tempat bagusnya," kataku dan ia menurut saja. Kali ini kami tidak memakai mobil, karena dugaanku kami akan pergi ke suatu tempat terpencil. Mobil tidak akan bisa masuk, cukup merepotkan juga membawa kendaraan roda empat. Satu jam lebih mutar-mutar tak jelas, akhirnya kami berhenti di sebuah rumah kosong tak berpenghuni. Rumah ini tersisihkan, jauh dari pemukiman warga yang ramai. Di sampingnya banyak sekali pohon bambu. Terkesan menyeramkan memang, tapi menurutku hawanya sejuk dan enak untuk bersantai. Mas Arif pun menggelar tikar kecil yang ia bawa dari rumah, kemudian mempersilakanku duduk. Ya, kita seperti camping kecil-kecilan di halaman rumah orang. Ah .... Nyaman sekali rasanya. "Sini, baring di paha Mas. Tidur aja nggak papa," ucapnya. Aku pun menurut dengan senang hati. Maklum kelelahan duduk di motor selama satu jam. Karena perasaan nyaman ini, tak terasa kupejamkan mata. Namun, ketika hendak masuk ke alam mimpi, sesuatu membuatku tersadar kembali. Aku langsung bangun dan menatap Mas Arif yang sedang makan buah. "Kenapa bangun? Kirain udah tidur kamu," katanya. Aku linglung sendiri. Jadi tadi sempat tertidur? "Tadi denger sesuatu gak, Mas? Jelas banget," tanyaku. "Denger apa? Suara apa?" "Suara kayak ... nah itu! Denger gak?" Ia memasang telinga dan hening sejenak, kemudian menggeleng pelan. "Gak ada suara apa-apa, lho." "Coba denger baik-baik, Mas!" seruku. Ia mendengar lagi dan kami pun saling menatap. "Iya, bener. Asalnya dari rumah itu. Bukannya kosong, ya?" Mungkin kami satu pemikiran, ya ingin memeriksa langsung rumah itu. Entah suara apa, tapi yang jelas sangat mengganggu. Suara becek, cairan kental yang dipukul berkali-kali. Awalnya Mas Arif menolak, tapi jujur saja rasa penasaran ini melebihi apapun. Ia pun setuju dan kami masuk bersama-sama. Pintunya setengah terbuka dan sangat gelap. Hawanya sangat berbeda. Di luar begitu sejuk, di dalam pengap dan panas. "Cepet, ya, Mas. Gak tahan nih sama baunya," kataku sambil menutup hidung. "Ya, udah kamu di luar jagan masuk." "Eh, nggak! Aku penasaran juga." Ia mendengkus kasar dan menggenggam tanganku. Kami menyelusuri semua ruangan, bahkan kamar belakang. Tidak ada apa-apa. "Mungkin kita salah denger aja tadi," ucap Mas Arif yang tampaknya sudah pasrah. "Nggak mungkin. Suaranya jelas banget di telinga aku." Aku masih ngeyel dan terus mencari, hingga mentok ke pintu gudang. Ya, hanya ruangan ini yang belum kami periksa. Dengan segera kubuka pintunya dan memanggil Mas Arif. Ternyata ini bukan gudang, lebih mirip disebut ruang rahasia karena banyak lorongnya. Sampailah kami di ujung ruangan yang cahayanya dibantu tiga buah lilin. Begitu kami menengok ke samping, ternyata ada ruangan rahasia lagi. Pintunya kecil, hanya bisa dilalui satu orang. Aku masuk terlebih dahulu, kemudian ia. Kami berjalan cukup pelan, ya karena tak ingin mengusik makhluk penghuni di sini. Mas Arif heran melihat banyak lilin merah di peti mati. Ia mengambil salah satu lilin itu, kemudian berteriak dan membuangnya. "Kenapa, Mas?" "Kaget aku, Dek. Lilinnya kayak nyetrum." "Ah, kamu aneh-aneh aja, Mas." Setelah kami menertawakan hal random, kami kembali senyap ketika mencium bau aneh. Mas Arif bergerak mencari sumber bau itu. Baunya datang bersamaan dengan suara yang tadi kami dengar. Betapa terkejutnya kami ketika melihat seseorang duduk membelakangi dengan baju serba hitam. Ia seperti memakan sesuatu dengan sangat lahap. Ternyata suaranya berasal dari sini. Pelan-pelan aku mendekat, penasaran dengan apa yang ia makan karena terlihat tetesan darah.Sekitar satu meter jaraknya, ia menoleh dan menatap kami tajam. "Mas, ayo lari!" teriakku. "Bentar dulu, Dek, kaki Mas tiba-tiba lemes!" "Astaga, Mas!" Meskipun sosok itu tak mengejar, tapi apa yang ia makan sudah cukup membuat kami ketakutan. Tangan manusia. Ia memakan tangan itu seperti menyantap paha ayam. Sangat lahap. Begitu berhasil keluar, aku langsung muntah-muntah. Saking jijiknya, tak begitu jelas melihat wajah sosok itu. "Mas, mirip banget sama mimpiku semalam. Aku ngeliat orang makan daging manusia." "Kok mimpimu aneh banget, Dek?" tanyanya dengan napas yang masih tersengal-sengal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD