My Boy

1053 Words
Aku dan Roland baru pacaran sebulan lalu. Alasan kami sepakat menjalin hubungan hanya untuk main-main saja. Terlalu memalukan rasanya kalau terus menyandang status jomblo. Ya, pada dasarnya, itu hanyalah simbiosis mutualisme. Kami sama-sama butuh teman nongkrong dan pasangan palsu. Skinskip? Kami tidak pernah melakukannya karena bukan tipe satu sama lain. "Udah makan belum?" tanya Roland sesaat setelah ia menukar sepatu futsalnya dengan sandal santai. Aku menggeleng, menoleh sekitar lapangan yang sudah mulai sepi. Teman Roland pasti sudah pergi dari tadi. Syukurlah, aku tidak perlu menyapa mereka satu-satu. "Kenapa? Kamu sakit?" Aku menggeleng cepat. Malas sebenarnya menjemput dia sore-sore begini. Kalau bukan karena janji traktir, aku memilih tidur sampai pagi. Sebentar lagi pendaftaran mahasiswa baru, jadi waktu mainku terbatas. "Traktir pizza donk. Kamu baru dapet uang, kan?" rengekku menarik kaosnya. Pria jangkung itu berdehem, tanda setuju. Beruntung sekali ada kedai pizza yang baru buka minggu lalu di sekitaran sana. Tak ada satu jam, kami sudah stay, menggigit bagian masing-masing. "Sal, kamu masih sering nggantiin Merlin nggak kerja di bar? Kalau bisa sih jangan." Roland berkata sambil mengunyah, tapi tatapannya fokus ke ponsel. "Kenapa? Aku butuh biaya kuliah. Tiap bulan kirimanku selalu telat. Jangan ngatur-ngatur deh. Kecuali kalau kamu ngasih aku uang." Roland langsung bungkam. Pacar palsuku memang sering bicara kosong. Kadang A, besok B. Untung bukan pacar beneran. "Aku kan dah pernah bilang sama kamu, kalau uang kirimanku udah banyak, kamu bakal aku kasih bagian sendiri," timpal Roland mengalihkan pandangannya padaku. Benar, dulu Roland bilang ia kaya. Tapi setahun terakhir perusahaan ortunya pailit. "Terus?" "Mulai bulan besok aku kasih jatah ke kamu. Kalau masalah uang kuliah, nanti aku usahakan kamu dapat bea siswa." Aku tersenyum lebar, hampir tidak percaya. "Serius? Kamu nggak lagi becanda, kan?" Kalau itu prank, aku akan mencabut rambutnya sampai habis. Roland pernah membuatku kesal karena mengerjaiku dengan kotak makan isi ular. Awalnya takut, tapi kemudian marah sampai berhari-hari. "Nggak lah. Tapi kamu jadi kan? Kuliah di kampusku?" tanya Roland seakan belum yakin. Wajar sih, kampusnya kan favorit. Nilai standartku pasti ajaib banget kalau bisa masuk sana. "Iya, rencananya sih gitu," gumamku tidak yakin. "Pokoknya kalau kamu bisa masuk ke sana, aku siap jamin semuanya. Tapi ya itu, ikut aturanku. Oke?" Aturan? Roland tidak pernah memberi kekangan dalam bentuk apapun. Kecuali yang berhubungan dengan Bar. Mungkin ia takut kalau tiba-tiba saja aku kupergok temannya. "Iya. Aku nurut." "Sal, pesan kentang goreng sama minuman lagi donk. Mau aku bawa pulang." Roland mengulurkan selembar uang merah. Selalu seperti itu, aku berakhir disuruh-suruh. Selang lima belas menit, aku kembali dan melihat seseorang tengah bicara dengan Roland. Siapa? Kelihatannya bukan orang sini. "Sal, kenalin. Ini Dosen di kampusku, Mr. Young Han." Hampir aku melempar kentang goreng itu dari tanganku. Young Han dia bilang? Ya Tuhan! Benar itu dia. Mata sipit juga tatapan tajamnya, mana mungkin aku lupa? Pasti ia diam-diam tengah mengejek tingkahku sekarang. Ah, sial kenapa dunia begitu sempit? "Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Ia memancing, berwajah sok polos. "Tidak! Maksud saya, tidak mungkin." Suaraku tanpa sadar memekik. Roland saja langsung heran dengan kegugupanku. "Santai saja. Bisa dibilang kami kenal akrab di luar kampus," bisik Roland menenangkanku. Itu tidak penting, sialan! Wajah juga caranya menatap sangat menganggu. "Senang bertemu denganmu. Roland sering cerita kalau pacarnya cantik," kata Young Han mengulurkan tangannya padaku. Roland memberi isyarat agar aku cepat-cepat menjabatnya. Pasti dosen m***m itu punya kuasa di kampus. Masih muda dan pintar bahasa Indonesia. Untuk ukuran warga asing, ia gampang berbaur. "Terima kasih." Jariku begitu canggung saat bersentuhan dengan kulitnya. Mengejutkan, dia hangat dan lembut. Berbeda sekali dengan tadi malam. Apa mungkin karena mabuk? "Kalian teruskan saja. Aku masih ada urusan," pamit Young Han, menunjuk mobilnya yang terparkir di kafe sebelah. Diam-diam aku langsung bernapas lega. Pergi! Cepat pergi sana! Kutatap mobil itu hingga lenyap di belokan lampu merah. Tingkahku tentu saja membuat Roland bertanya-tanya. Aku si cuek ini pasti kelihatan aneh karena mendadak gugup dengan orang asing. "Sal, kenapa sih!" Roland menggeleng bingung. Tapi kemudian berakhir tidak peduli. Kami berjalan ke arah parkiran tanpa bicara lagi. Hingga kemudian, di dekat halte bus, ia mendadak berhenti. "Sal, kamu turun aja, ya? Aku lupa kalau ada acara kampus." Astaga! Pacar palsu sekalipun, tidak boleh berlaku seenaknya. Aku turun dengan raut wajah kesal. Moodku tiba-tiba jatuh dan Roland hanya memberiku recehan. Yah, paling tidak, ia tidak pernah meminta hal-hal yang berbau seksualitas. Lima menit, sepuluh menit kemudian satu jam. Bus tidak juga datang. Padahal sudah hampir magrib. Biasanya aku bertugas mencari makan malam kalau sudah jam segini. Pasti Merlin akan mengomeliku nanti. Tin. Tin. Sebuah mobil sedan warna silver tua berhenti tepat di depan halte. Orang di sekitarku langsung menoleh, tapi aku tidak. Tin. Tin. Berisik. "Mbak, dijemput itu," seorang ibu berjilbab orange menepuk pundakku. Wajahku beralih dari layar ponsel ke arah telunjuk si ibu. Siapa? "Masuk." Suara bass terdengar lantang dari balik kaca mobil. Itu Young Han, si dosen m***m tadi malam. Hebat sekali dia, mobilnya sudah ganti. Jangan sampai aku berurusan dengannya lagi. Bukannya mendekat, aku malah berbalik pergi. Ah, sialan. Kenapa aku malah pergi seperti buronan? Wah, kalau benar aku masuk ke kampus Roland, urusanku tidak akan kelar-kelar. "Hei, stupid. Kabur kemana kamu?" Young Han dengan mengejutkan berhasil menemukanku yang tengah bersembunyi di dekat toilet umum. Peluh di wajahnya seakan bicara kalau ia mati-matian mencariku. Buat apa coba? Aku tidak berhutang apapun. "Lepas! Banyak orang yang melihat!" ucapku gagal menepis tangannya. Aish, kenapa juga dia tidak takut kalau-kalau ada mahasiswanya di sana? Young Han menghela napasnya kuat. Tatapan itu lagi, ia melihatku dengan pandangan yang membuatku risih. Tapi, masalahnya bukan itu saja. Kejadian semalam membuktikan kalau pengendalian nafsuku sangat buruk. Gawat kalau aku diserang lagi. "Masuk, aku ingin bicara denganmu." Ia menyeretku, setengah memaksa. Daripada terus-terusan jadi pusat perhatian, aku akhirnya menyerah. "Kita mau ke mana? Aku harus pulang sekarang," ucapku ketakutan. Pintu mobil dikunci, sekarang, aku seperti tikus yang terperangkap dalam cengkraman kucing. "Bersikaplah manis. Kalau ada yang rusak, aku pasti minta ganti rugi." Ancaman itu berhasil membuatku beku. Tak lama, mobil yang kami naiki bergerak, melebur dengan lalu lalang kendaraan lain. Pria asing, mobil asing dan suasana hati yang asing. Bagaimana kalau dia orang jahat? Banyak kejahatan seksual mutilasi. "Kau berhutang minum. Pergilah setelah menghabiskan isi gelasmu." Bagiku, itu hanya pancingan hidung belang yang tengah membidik mangsanya. Hanya merokok dan menyentuh? Merlin harus tahu kalau Young Han tak lebih dari psiko seksual.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD