Rahasia yang Tersimpan

1980 Words
Walaupun jam di atas nakas menunjukkan pukul setengah tiga pagi, Analis belum bisa tidur. Tubuhnya bergerak miring ke kanan lalu ke kiri, berubah terlentang kemudian menarik napas sebal. Dia tidak bisa tidur. Bekas lukanya sehabis diserempet motor tadi terasa nyut-nyutan. Mulai dari pinggang sampai ke ujung kaki. Doma membuka kedua matanya. Semula laki-laki itu memunggungi Analis, kini berhadap ke arah perempuan itu setelah merasakan ranjangnya terus bergerak hingga tidurnya terusik. Belum lagi dengusan sampai suara ringisannya benar-benar mengganggu. "Eh? Pak!" Analis dibuat terkejut bukan main. Kedua mata perempuan itu mengerjap-ngerjap. "Maaf, Pak Doma. Pasti Bapak kebangun karena saya, ya?" tanya Analis mengubah posisinya menjadi duduk di ranjang. "Hmm." Doma bergumam pendek. Analis tidak henti meringis. Memegangi pinggang kemudian turun memijat kakinya sendiri. Doma melirik kaki Analis yang diperban. Seberapa parah kakinya diserempet motor memangnya? Analis kelihatan menahan sakit. Bahkan sampai sekarang perempuan itu belum tidur sama sekali. "Maaf ya, Pak," gumam Analis sambil menunduk. "Saya nggak bisa tidur karena bekas diserempet tadi tahu-tahu nyut-nyutan banget." "Lain kali tolong lebih hati-hati." "Namanya juga takut anjing, Pak! Mana bisa saya mikir, kalau keburu dikejar kayak tadi." Doma menahan punggung Analis dan menyusun bantal dari belakang. Lalu setelahnya, Doma membantu perempuan itu bersandar agar lebih nyaman. Selama mereka menikah, Doma tidak mengetahui apa pun mengenai Analis. Termasuk rasa takutnya terhadap anjing berlebihan. Karena ketakutannya pula, Analis sampai diserempet motor. "Pak Doma tidur aja lagi. Janji, saya nggak berisik." Analis mengangkat dagu, menunjukkan dua jarinya di depan Doma. "Tidur aja, nggak apa-apa, Pak." Doma menarik punggungnya sesaat, memiringkan bantalnya kemudian bersandar di samping Analis. Sebelah alis perempuan itu terangkat, dalam hatinya dia bergumam, "Nggak salah?" "Pak Doma nggak tidur?" tanya Analis basa-basi. "Saya tidur setelah kamu tidur." Doma menoleh ke samping, tempat Analis menyandarkan punggungnya. "Nggak usah. Kalau nunggu saya sampai tidur, Pak Doma bisa tidur pagi." "Saya nunggu kamu tidur, supaya saya ngga mendengar hal berisik lagi," ujar Doma. "Oh, gitu." Analis tampak kecewa. Dia pikir, Doma akan menungguinya sampai tidur karena khawatir. Tapi ternyata bukan ya. Justru jawaban Doma sebaliknya. Perlahan Analis membaringkan tubuhnya ke ranjang sesekali melirik Doma. Ketika laki-laki itu balas menatapnya, Analis membuang pandangannya ke arah lain. Sungguh, bekas diserempet tadi sangat terasa nyeri. Analis ingin mengadu, tapi kepada siapa? Orang di sampingnya? Halah, itu hal paling mustahil. Mandala Domani tidak akan peduli. "Pak Doma..." Analis berusaha memejamkan mata. Tapi terasa sulit hingga akhirnya dibukanya lagi, kemudian memiringkan tubuhnya menghadap Doma. "Apa?" tanya Doma datar. "Saya boleh tidur sambil pegang tangan Pak Doma?" "Ya?" sontak saja Doma menundukkan kepala agar bisa menatap Analis. "Boleh pegang tangan Bapak?" ulang Analis. "Hmm." Doma mengangguk kecil. Analis senang Doma memenuhi permintannya. Tadinya dia pikir laki-laki itu akan menolaknya seperti kemarin-kemarin. Namun tidak lagi. Walaupun terkesan canggung saat Analis memeluk lengannya, Doma tetap tenang bersandar pada tumpukkan bantalnya di belakang punggung. "Saya boleh jujur nggak, Pak?" "Tentang?" Analis menjadikan punggung tangan Doma sebagai bantal pipinya. Perempuan itu menyunggingkan senyuman tipis. "Saya senang Pak Doma khawatir, Pak Doma nunggu saya di depan pintu kayak tadi." Seperti biasa, Doma tidak pernah memberikan reaksi selain diam tanpa menunjukkan ekspresinya. "Jangan karena saya bilang begini, Bapak berubah lagi besok." Analis memperingatkan Doma. "Saya cuma pengin jujur aja. Kalau saya sesenang itu Bapak khawatirin. Makasih Pak," gumam Analis menyunggingkan senyum lebar lalu memejamkan matanya. *** "Masuk." Tanpa dinyana, sosok yang mengetuk pintunya adalah Doma. Tubuh tinggi laki-laki itu berada di ambang pintu sembari memandanginya tanpa ekspresi. Analis menyingkirkan ponselnya sejenak lalu menyapa Doma. "Ya, Pak?" tanyanya. Laki-laki itu melangkah masuk ke kamar Analis, mendekati perempuan itu yang tengah duduk bersandar di atas ranjangnya. "Saya bantu kamu pindah," gumamnya pelan. Analis tersentak kaget. Doma tahu-tahu menggendongnya hendak keluar kamar. Analis menahan napas sejenak, mengembuskannya perlahan kala wajahnya nyaris menempel ke d**a laki-laki itu. "Tadinya saya mau tidur di kamar sendiri aja," ujar Analis, mengalungkan tangannya ke leher Doma. Sesampai di kamar Doma, Analis dibaringkan di atas ranjangnya yang besar. Laki-laki itu bahkan membantunya menata bantal serta mengenakan selimutnya. Analis melirik Doma diam-diam. Jantungnya berdebaran kencang hanya karena jarak mereka yang terlalu dekat. "Paling nggak, sampai kaki saya sembuh, baru saya tidur lagi di kamar ini." Doma duduk di pinggir ranjang. "Saya nggak akan tahu kalau kamu butuh sesuatu, sementara kamu tidur di kamar sendiri dalam keadaan kaki sakit begini." Analis menggigit bibirnya. "Saya bisa sendiri kok, Pak." "Kamu mau jatuh di kamar mandi lagi?" Segera Analis merapatkan bibirnya. Tadi pagi dia jatuh terpeleset di kamar mandi karena luka di kakinya. Selain ngilu, saat dibuat berjalan rasanya sangat sakit. Bahkan Analis sampai berjalan pincang akibat lukanya. Beruntung tadi pagi ada Doma. Walaupun sempat ragu akan menggendong Analis, laki-laki itu bergerak cepat membawanya keluar. "Tapi Pak, nanti Bapak keganggu karena saya berisik." "Saya bisa tidur setelah kamu tidur," jawab Doma. Doma berbaring di samping Analis dalam diam. Hal seperti ini telah terjadi begitu lama. Sepanjang mereka menikah, walaupun Analis lebih sering berada di asrama, namun sesekali dirinya pulang ketika libur sekolah tiba. Analis dan Doma jarang berbicara kecuali hal yang penting. Kecuali tentang kebutuhan sekolah dan segala aktivitasnya, Doma tidak pernah menanyainya lagi. Terpaksa Analis membungkam bibirnya, menelan kembali kata-kata yang dirangkainya sebelum bertemu laki-laki itu. "Pak Doma belum tidur?" tanya Analis menoleh ke sampingnya. "Hmm," gumam Doma, mengerjapkan mata memandangi langit-langit kamar. Analis ikut memandangi langit-langit kamar, merapatkan selimut di antara kedua lengannya dan menyunggingkan senyum tipis. Demi Tuhan, Doma lebih tertarik menatap langit kamarnya yang sama sekali tidak ada yang menarik. "Kenapa Pak Doma baik banget sama saya?" tanya Analis. "Sebelumnya saya sama Bapak nggak pernah ketemu. Tiba-tiba Bapak mau ngasih uang tebusan ke Om saya," gumam Analis. Kali ini perempuan itu mengalihkan pandangannya kepada Doma. Tidak lagi menatap langit kamar yang membosankan. "Saya yakin, Bapak bukan cuma sekadar mau bantu saya yang hampir dijual ke laki-laki hidung belang." Analis menarik napas sesaat. Lalu menambahkan, "Kalau di balik alasan Pak Doma nikahin saya karena mau membantu, mungkin istri Pak Doma lebih dari satu." Kalimat terakhir Analis seperti sebuah benda tajam yang menusuk dadanya sangat dalam. Perempuan ini cukup pintar jika menganggap kebaikannya cuma sebatas baik semata. Benar, jika alasan di balik pernikahannya hanya untuk membantu, mungkin semua orang yang Doma tolong bisa dijadikan istri laki-laki itu. "Mungkin ada hal yang nggak saya tahu, tapi Bapak tahu." Analis berbisik pelan. Entah didengar Doma atau tidak, tapi dia ingin mengatakan apa yang dipendamnya selama ini. "Dan mungkin juga belum saatnya saya harus tahu. Tapi Pak Doma," Analis berbaring miring menghadap tepat di depan Doma. "Hal yang nggak boleh saya ketahui bukan sesuatu yang serius kan, Pak? Bukan sesuatu yang bisa bikin saya benci ke Bapak?" Alih-alih menjawab pertanyaan Analis, Doma malah mematikan lampu tidur di atas meja. Laki-laki itu berbalik memunggungi Analis lalu bergumam, "Saya tidur duluan. Tolong jangan berisik." *** "Apa yang kamu makan?" tegur Doma. Analis berhenti mengunyah makanan dari mulutnya. Mengarahkan mangkuk kaca di pangkuannya ke arah Doma lalu menjawab, "Mi." "Tanpa dimasak?" tanya Doma. Kepalanya terangguk-angguk, mengiyakan tebakan Doma. Bukan sereal bukan camilan, Analis malah menyukai mengemil mi instan mentah. Diremukkannya mi-nya dari dalam bungkusnya. Memasukkan bumbu dan tambahan penyedap rasa kemudian memindahkannya ke dalam mangkuk. Tidak sehat? Memang. Tapi anehnya Analis suka. Doma tiba-tiba merebut mangkuk dari pangkuan Analis. Perempuan itu mendelik, berusaha menggapainya namun Doma malah memasukkannya ke dalam tempat sampah bersama mangkuknya sekalian. Analis memekik, camilannya dibuang begitu saja tanpa bertanya lebih dulu. "Pak! Kok, dibuang sih?!" teriak Analis kesal. Doma menarik kakinya dari kaki bak sampah di kamar. Membalikkan badan menghadap Analis dan menatap perempuan itu tajam. "Saya nggak melarang kamu makan mi instan. Tapi nggak mentah begini. Kamu tahu bahayanya, kan?" "Iya, tahu." Analis mengerucutkan bibirnya. "Tapi saya suka. Enak banget tahu, Pak!" "Di rumah ini nggak kekurangan camilan. Kenapa harus makan mi mentah?" "Karena saya doyan," jawab Analis enteng. "Jangan keras kepala." Doma bergumam dingin. "Saya nggak mau mengulangi apa yang saya katakan. Mengerti?" Woah! Orang ini memang sangat luar biasa. Hanya karena dirinya mengemil mi instan tanpa dimasak, marahnya bisa sampai sebegininya. Analis jadi bertanya-tanya, sebenarnya Mandala Domani orang seperti apa? Benar kaku seperti yang dilihatnya, atau memiliki sisi lain yang tidak pernah diketahuinya. "Mau ke mana?" tanya Doma sembari menolehkan kepalanya. "Ke kamar mandi," jawab Analis menyibak selimutnya. "Bisa?" "Nggak!" Analis sengaja meninggikan suaranya. Sangat jarang Analis berbicara menggunakan nada tinggi. Setiap kali dirinya kesal, dia lebih memilih diam untuk meredam emosinya. Tapi khusus kali ini, Analis benar-benar dibuat geram oleh Mandala Domani. Lihat. Camilannya dibuang ke tempat sampah! "Saya bantu," ujar Doma turun dari ranjang dan memapah Analis pergi ke kamar mandi. Analis membuang pandangannya ke arah lain. Ke mana pun, asal tidak melihat wajah Doma. Sampai di kamar mandi, Doma mendudukkan Analis ke atas closet lalu berbalik pergi kamar mandi meninggalkan perempuan itu sendiri. Ternyata mencairkan batu es yang sesungguhnya sangat-sangat sulit ya. "Saya tunggu di luar. Kamu tinggal panggil saya setelah selesai," beritahu Doma sebelum menutup pintu. "Bapak jangan ke mana-mana, ya. Di situ aja." Doma mengerutkan dahinya bingung. Analis gelagapan. Segera dikoreksi kata-katanya. "Maksud saya tunggu di depan pintu aja. Kalau saya butuh apa-apa Pak Doma bisa dengar." "Ya," sahutnya pendek. *** "Pak Doma di kantor, kan? Nggak ke mana-mana, kan?" "Ya. Ada apa?" Analis menjilat bibir bawahnya dengan kelima jari menekan keningnya. "Bapak jangan pulang dulu, ya! Ya, Pak?" "Hm?" Doma bergumam bingung. Dipindahkan ponselnya ke telinga kiri. "Teman saya lagi jenguk ke rumah!" "Masalahnya apa?" Analis menarik ponselnya lalu berteriak di depan layar. "Masalahnya teman saya kenal sama Bapak!" Bodoh sekali memang Analis ini. Dia memberikan alamat tempatnya tinggal kepada Metya dan ketiga temannya. Analis melupakan jika Metya dan lainnya mengenali Doma. Apa lagi Berin! Bagaimana kalau mereka semua tahu siapa Analis dan hubungannya dengan Mandala Domani. "Kamu bisa bilang kita sepupu," ujar Doma sangat tenang. "Memangnya teman kamu siapa? Kenapa mereka bisa kenal saya?" "Berin," gumam Analis. Perempuan itu memejamkan matanya kesal mengingat temannya yang satu itu sangat menyukai Doma. "Pokoknya Bapak jangan pulang dulu sampai teman saya pulang jenguk ya, Pak!" Sementara di tempat lain, Doma kebingungan sembari memandangi ponsel di tangan. Tahu-tahu Analis mengakhiri sambungan telepon setelah perempuan itu menegaskan kalau dirinya tidak boleh pulang sampai temannya pergi. Memangnya siapa teman Analis yang kenal dengannya? Doma meletakkan ponselnya ke atas meja dan kembali bergelung dengan berbagai berkas kasus yang harus dipelajarinya. Seseorang mengetuk pintu ruangannya. Doma mendongak, pandangannya tertuju kepada seorang laki-laki lima tahun lebih tua darinya sedang menyunggingkan senyum lebar. "Siang, Bapak Mandala!" sapanya riang seperti biasa. Doma menumpuk berkasnya menjadi satu kemudian diletakkannya ke pinggir meja. "Siang," balasnya singkat, membuat temannya itu mendengus sebal. "Kita jarang ketemu, Dom! Kenapa tanggapan kamu harus sedingin ini?" ejek laki-laki itu. Doma tersenyum tipis sesekali menggeleng. "Duduk, Yan." Riyan dipersilakan duduk oleh Doma. Keduanya adalah teman semasa kuliah dulu. Mereka memiliki profesi yang sama, dan sempat bekerja pada kantor firma hukum yang sama pula. Sampai sepuluh tahun lalu Riyan membuka kantornya sendiri dan disusul Doma lima tahun setelahnya juga membuka kantor firma hukumnya. Doma meletakkan dua cangkir kopi ke atas meja kemudian duduk di kursi seberang. Kedua laki-laki itu tampak tenang sesekali mengobrol ringan. Doma mengangguk-angguk, diam sesaat ketika Riyan membahas sebuah kasus yang sedang ditanganinya. "Aku jadi ingat sesuatu, Dom." Riyan memekik pelan sehabis menarik cangkir kopinya. Doma meluruskan pandangannya kepada Riyan. "Ingat apa?" tanyanya. "Kamu ingat kasus pembunuhan berantai beberapa tahun yang lalu?" tanya Riyan, kemudian mendesis panjang. "Ada pengacara perempuan muda yang berusaha mencari tahu kasus itu." Mandala Domani duduk termangu di tempatnya. Kasus pembunuhan berantai beberapa tahun lalu—adalah kenangan paling buruk yang Doma alami. "Aku nggak kenal pengacara itu," kata Riyan memiringkan kepalanya. "Tapi, Dom," Laki-laki itu menatap Doma dan memberi jeda beberapa detik. "Setelah aku cari tahu, pengacara muda itu berasal dari kantor kamu." Detik itu, tubuh Doma membeku. Dia kesulitan menelan ludahnya. Dipandanginya Riyan yang juga sedang memandanginya, lantas kedua saling diam. "Kamu tenang aja, Dom." Riyan berdeham sebentar. "Nggak akan ada yang tahu kalau kamu, salah satu pengacara yang berada dalam daftar pembela."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD