Khawatir Sama Saya, Pak?

1633 Words
"Baru pulang?" sapa Doma dari arah dapur. "Hmm." Analis mengangguk kecil. Tidak ada percakapan lagi setelahnya. Analis menenteng tas kerjanya hendak pergi ke kamar. Melihat wajah Doma hanya akan mengingatkan dirinya tentang kejadian hari ini. Sepulang dari kantor, Analis berjanjian pergi makan malam bersama. Sebelum makan malam, Analis dan teman-temannya menyempatkan belanja dulu. Analis mengangguk, mengiakan keinginan temannya itu. Kapan lagi mereka bisa menghabiskan waktu lebih banyak. Saat makan malam tiba, Metya tahu-tahu memekik heboh sambil menyodorkan ponselnya kepada teman-temannya termasuk Analis. "Eh, eh! Lihat, nih! Gila, si Berin nekat ngejar laki orang!" Analis melihat foto seorang laki-laki yang sangat dikenalinya. Walaupun foto itu blur, tetapi Analis sangat yakin jika laki-laki yang ada di story IG Berin adalah suaminya. Mandala Domani. "Bener ini yang namanya Doma?" tanya Metya antusias. Ilana meraihnya cepat. Kedua alisnya saling beradu dengan mata menyipit. "Iya, nih. Bener Doma-Doma itu!" Devina bahkan sampai menutup bibirnya seakan tidak percaya. Berin yang dikenalnya sebagai perempuan pendiam dan pemalu saat sekolah dulu, ternyata memiliki bibit-bibit perebut suami orang ya? Tak disangkanya juga kalau Doma mau-maunya makan malam bersama Berin. "Menurut lo, gimana? Setelah lihat foto ini, lo mau ngaduin Berin ke istrinya Doma?" tanya Metya kepada Analis. Analis membeku. Suasana hatinya yang semula baik-baik saja kini berubah muram. Analis bukan hanya kesal, tetapi juga benci. Sangat benci. "An?" Ilana memegangi bahu Analis. "Hah?" Analis mengatupkan bibirnya kemudian menggeleng. Sambil menyendok makanannya, perempuan itu menyahut, "Buat apa? Aku nggak suka ikut campur urusan orang. Yang penting, Berin udah aku kasih tahu kalau Doma statusnya bukan lajang." Metya mengangguk-angguk. "Gue penasaran sama istrinya Doma," celetuk Devina. "Penasaran kenapa?" sambar Ilana. Devina mendorong ponsel Metya. "Pertama kali gue lihat Doma waktu itu, kelihatan banget kalau dia tipe yang kaku banget. Bukan sekadar dingin. Tapi yang emang kaku. Kok ya bisa ada perempuan yang mau dinikahin." "Tapi Doma ganteng," sahut Metya. Devina melipat kedua tangannya ke meja. Mencondongkan dadanya mendekat kepada Metya. "Denger, Met. Wajah ganteng aja nggak cukup. Lo bayangin aja nikah sama laki-laki kanebo kayak begini! Yakin, pasti boring! Kalau gue jadi istrinya, mungkin gue udah kabur cari cowok lain!" "Sesat lo, Dev!" Ilana menoyor kepala Devina. "Istrinya Doma kayak gimana sih, An? Lo beneran kenal baik sama istrinya?" tanya Metya penasaran. Analis menelan makanannya dengan kasar. Pandangan matanya berubah sendu. "Istrinya ya?" Metya dan kedua temannya mengangguk kompak. "Bodoh, sih. Saking bodohnya masih mau bertahan sampai sekarang." "Nah! Gue bilang apa?" Devina mengusap hidungnya lalu menunjuk Metya serta Ilana. "Doma sama istrinya nggak akur? Atau nikah karena dijodohin?" Metya masih saja memancing Analis. Analis meletakkan sendok dan garpunya ke piring. "Bahkan nikah kontrak kayak di drama jauh lebih mendingan." "Pak Doma," panggil Analis lirih. Doma memunggunginya. Sementara Analis berada di dekat tangga. Analis menyibak rambutnya ke belakang, mendesah panjang sekaligus berat. Analis menyentak tangannya hingga tas yang dipegangnya jatuh ke lantai. Tubuh Doma mematung. Seseorang menubruk tubuhnya dari belakang, dan melingkarkan kedua tangannya ke perut Doma. Analis terlalu kuat memeluk Doma sampai setengah isi cangkirnya jatuh ke lantai. Analis mengeratkan pelukannya, menenggelamkan wajahnya ke punggung Doma dan nyaris terisak karena lelah. "Terakhir kali," bisik Analis parau. "Ini terakhir kalinya saya berjuang. Kasih saya waktu satu tahun. Kalau selama setahun saya nggak bisa luluhin Pak Doma, saya bersedia mundur. Bapak setuju atau nggak nantinya, saya bersikeras meminta cerai kalau usaha terakhir saya meluluhkan Pak Doma gagal." Doma tidak memberikan tanggapan selain menarik napas panjang. Laki-laki itu bahkan tidak bergerak sekali pun. "Bapak nggak perlu berubah untuk saya. Biar saya yang bergerak. Bapak cukup kasih tahu saya kalau perasaan saya terbalas. Gimana, Pak Doma?" *** Satu tahun. Cuma dalam setahun Analis harus meluluhkan hati seorang Mandala Domani. Biarpun laki-laki itu tidak mengatakan iya mau pun menolak tawaran Analis, dia tidak peduli. Seperti katanya semalam, Doma tidak perlu mengubah sifat dan kepribadiannya. Tugas Doma hanyalah menerima, tidak boleh menolak usaha Analis yang ingin meluluhkan hatinya. Analis kembali ceria setelah beberapa hari terakhir terlihat murung. Pagi-pagi sekali Analis sudah bangun dan membantu Mbok memasak di dapur. Tidak apa-apa. Analis bergumam kepada dirinya sendiri sembari memandangi panci di atas kompor. Dia hanya ingin memunjukkan bahwa perasaannya tulus kepada laki-laki itu. Bukan sekadar karena berhutang budi semata. Doma sempat bersikeras kalau perasaan Analis hanya efek dari rasa hutang budinya selama ini. Doma juga mengatakan kalau Analis tidak perlu melakukan tugas-tugasnya sebagai istri. Doma meminta agar Analis menikmati kehidupannya sebaik mungkin. Jangan sampai dibawa stress karena masalah hutang budi. Karena, Doma tidak membutuhkan balasan apa pun. Analis berkacak pinggang, berdecak sebal sesekali menggeleng. Doma ingin dirinya menikmati kehidupan sebaik mungkin? Haha, bagaimana bisa menikmati, kalau Doma saja membuatnya kebingungan karena membangun benteng terlalu tinggi! Bisa tidak, Doma bersikap selayaknya manusia? Senang, sedih, semuanya terasa sama. Akh, Analis kesal. "Mbok, saya ke atas bangunin Pak Doma dulu, ya. Ikannya udah saya goreng," beritahu Analis sembari melepaskan apron di tubuhnya. Perempuan itu masuk ke dalam kamar, yang kini juga menjadi kamarnya. Sebagian baju-baju dan barang Analis dipindahkan ke kamar Doma. Kamar Doma sangat besar, tetapi tidak banyak meletakkan barang mau pun perabotan hingga terlihat sangat-sangat luas. "Pak Doma," Analis membungkukkan punggung, menepuk bahu Doma hati-hati. "Bangun, Pak." Rasanya sangat canggung membangunkan laki-laki itu. Mungkin karena belum terbiasa saja. Selama ini dia dan Doma tidur di kamar berbeda, jarang bertemu karena sejak dulu, Doma sudah mengungsikannya ke sebuah sekolah asrama putri hingga lulus. Bahkan setelah dirinya lulus, Doma mengirimnya kembali untuk melanjutkan kuliah. Tidak tanggung-tanggung, Doma mengirimnya ke Inggris. Sebenarnya, maksud dan tujuan Mandala Domani mengirimnya sekolah asrama sampai kuliah ke luar negeri, itu apa? Sengaja untuk menghindari kecurigaan orang-orang atau dirinya sendiri? Analis menurunkan kedua bahunya lesu. Diliriknya jam di atas meja nakas. Perempuan itu merangkak naik ke ranjang, menepuk bahu Doma sekali lagi sesekali berbisik jahil ke telinga laki-laki itu. "Pak—" Analis terkejut. Tiba-tiba saja Doma membuka matanya, menatap Analis dengan kedua alis saling bertaut, kemudian mengarahkan pandangannya ke jendela. Analis mengatupkan bibirnya rapat. Sialan. Doma bukan hanya mengejutkannya, tetapi juga merepotkan jantungnya. "Pak Doma langsung mandi aja. Biar saya siapin baju kerja Bapak." "Hmm, makasih." Doma bergumam pelan, menyibak selimutnya kemudian turun dari ranjang. Analis menarik napas, lantas diembuskannya perlahan. Doma berjalan menuju ke kamar mandi. Analis mengintip punggung lebar laki-laki itu, mengusap dadanya lalu mengembuskan napas lega. "Hmm, An." Panggilan Doma barusan membuat Analis berdiri tegak di dekat ranjang. Gilanya, dia malah menahan napas hanya karena mendengar suara laki-laki itu. "I..ya, Pak?" Doma menatapnya sesaat. "Lain kali cukup ketuk pintunya aja kalau mau bangunin saya. Jangan kayak tadi," ujarnya. Analis mengangguk. "Iya, Pak. Maaf." Harus sabar Analis. Segala sesuatu yang dikatakan laki-laki itu seringkali membuatnya bingung. Analis dengan baik hati berinistif membangunkan Doma. Tetapi reaksinya malah sebaliknya. Tidak tahu apa, Analis nyaris jantungan karena Doma tiba-tiba membuka matanya! *** Doma melirik jam di dinding lalu menarik napas. Pandangan matanya berpindah-pindah dari buku di pangkuannya, kemudian ke jam di dinding. Jam hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Analis bahkan belum pulang. Ke mana perempuan itu pergi? Analis tidak memberitahunya apa pun lewat pesan seperti biasanya. Doma menutup bukunya dan meletakkan benda tersebut ke atas meja di samping sofa. Disambarnya ponsel di samping tempat duduknya. Laki-laki itu diam sesaat, harusnya Doma menelpon Analis? Analis sering pergi bersama teman-temannya sepulang kantor, tetapi tidak pernah selarut ini. Sekitar jam delapan atau paling lambat jam sembilan, Analis sudah berada di rumah, merecokinya, atau bahkan nekat menggodanya dengan segala macam kalimat ambigu kemudian tertawa geli. Baiklah. Doma memejamkan matanya sebentar, lantas dibukanya kembali seolah berhenti berargumen kepada dirinya sendiri. Ini sudah cukup larut. Mana mungkin Doma hanya duduk diam di rumah, sementara Analis tidak kunjung pulang juga. "Nomor yang Anda tuju tidak aktif." Doma menarik ponselnya menjauh. Nomor Analis tidak aktif. Maka sekali lagi Doma mencoba menelpon ke nomor Analis. Dan hasilnya tetap sama. Doma beranjak dari sofa, berjalan ke depan dan membuka pintu. Tidak ada tanda-tanda suara mobil Analis masuk halaman rumah. Doma berdecak pelan, masuk ke dalam hendak mengambil kunci mobil. Langkah laki-laki itu berhenti tidak jauh dari pintu rumah. Belum sepenuhnya melangkah masuk ke dalam, terdengar suara mobil di depan pagar. Itu Analis. Doma mengantongi ponselnya ke dalam saku piyama biru tuanya. Sampai pagar dibuka oleh satpam, Doma bisa melihat Analis dipapah seorang laki-laki. Dahi laki-laki itu berkerut. Cahaya di luar agak temaram, tidak terlalu jelas siapa yang sedang bersama Analis. Analis tampak berbicara kepada si laki-laki. Entah apa, tapi setelahnya laki-laki itu pamit pergi, dan Analis dipapah oleh satpam. "Analis." Perempuan itu menggerakkan kepalanya ke kanan ke kiri mencari sumber suara. Analis menatap Doma sesaat, seakan tidak percaya bahwa laki-laki itu sedang di depan rumah sambil menatapnya tanpa ekspresi. "Biar saya aja," kata Doma kepada satpam. Doma membawa sebelah tangan Analis ke bahunya. Berpamitan kepada satpam sebelum masuk ke dalam rumah sambil memapah Analis. Doma tidak mengatakan sepatah kata pun selain membawa perempuan itu masuk dan mendudukkannya di sofa. "Pak Doma nggak mau nanya kaki saya kenapa?" Analis meletakkan kelima jarinya ke bantal sofa. Doma menaikan kaki Analis ke sofa hati-hati. "Kaki kamu kenapa?" tanyanya. Namun dibalas dengusan oleh Analis. "Ditabrak motor," jawab Analis. "Mobil kamu ke mana?" "Tadi saya lagi ke taman, ketemuan sama temen saya di sana. Nggak tahunya saya lihat anjing, saya lari ketakutan. Nggak sadar aja di sekitaran banyak kendaraan. Ya diserempet juga akhirnya." Doma menghela napas. "Kenapa kamu nggak ngabarin saya?" "Hmm?" Analis bergumam pendek. "Hubungin Pak Doma? Nggak, deh! Pak Doma pasti sibuk banget." "Saya pulang dari sore," kata Doma. Doma mengeluarkan ponsel dari saku piyamanya, lalu menyodorkannya kepada Analis. "Maksudnya, Pak?" tanya Analis bingung. "Simpan nomor teman-teman kamu di HP saya," katanya, kemudian menambahkan, "Biar kalau ada kejadian seperti ini lagi, saya nggak bingung mau tanya soal kamu ke siapa." Analis menerima ponsel milik Doma. Sambil mengetik nomor ponsel temannya, Analis bertanya, "Pak Doma lagi khawatirin saya?" "Ya." "Bapak sengaja nunggu saya di depan pintu?" pancing Analis. Dan jawaban Doma cuma, "Ya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD