Membangun Dinding Tinggi

2285 Words
Doma menutup pintu kamar, berjalan mundur lalu pindah ke kamar lainnya. Ketika membukanya untuk yang kedua kali, laki-laki itu bergumam bingung. Pasalnya dia meyakini jika kamar tadi memang kamar miliknya. Akan tetapi, kenapa Analis tidur di ranjangnya?  Bak orang linglung, Doma kembali ke kamar sebelumnya. Bergumam sendiri apakah dia sedang melamun karena terlalu kelelahan bekerja sampai tidak bisa membedakan mana kamarnya dan bukan. Doma mendorong pintu kamar yang diyakininya memang kamar miliknya. Bisa saja Analis yang salah masuk, kan? Cuma, rasanya akan aneh jika Analis sampai tidak bisa mengenali kamar miliknya. Dari ukuran, warna dinding, hingga pernak-pernik di kamar Analis sangat lah mencolok bila dibandingkan kamarnya Doma. Di sana hanya tempat tidur, lemari, meja nakas, dan lemari buku. "Pak Doma, berisik!" teriak Analis parau. Kedua mata perempuan itu memejam sambil memeluk guling. "Saya jadi kebangun, kan! Kenapa keluar masuk kamar mulu, sih?" Analis terbangun dan duduk bersandar ke kepala ranjang. Tanpa takut, tidak merasa terintimidasi sama sekali dengan tatapan laki-laki itu, Analis malah balas menatap suaminya berani. Doma benar-benar mirip orang linglung. Benar. Kamar yang dia injakkan kakinya memang kamarnya. Ranjang yang ditiduri Analis juga ranjangnya. Selimut, bantal, bahkan guling yang sejak tadi dipeluk-peluk perempuan itu adalah miliknya. "Kamu mabuk?" tanya Doma setelah lama diam. Ditanya begitu, Analis terkekeh geli. "Sumpah, Pak, semenjak pulang ke Indonesia, saya nggak ada minum alkohol sama sekali!" Perempuan itu mengacungkan kedua jarinya. "Sadar nggak, ini kamar siapa?" Analis menoleh ke sekitaran, kemudian menjawab, "Kamar Pak Doma." "Jadi, kenapa kamu bisa tidur di kamar saya?" tanya Doma menahan geram. Dia sudah lelah berada di kantor, dia ingin beristirahat, tetapi di kamarnya malah ada Analis. "Saya mau tidur sama Pak Doma," jawab Analis, meraih bantal lalu meletakkannya ke atas pangkuannya. "Mulai malam ini, saya nggak mau tidur pisah lagi." Doma dibuat pusing oleh tingkah Analis. Bagaimana menyebutnya ya, Analis jadi lebih bar-bar setelah pulang dari Inggris. Jika biasanya Analis tidak pernah membantahnya, kini perempuan itu berubah keras kepala dan susah diberitahu. Analis akan kekeuh, terus mengeyel pada pendiriannya. "Balik ke kamar kamu sendiri. Sekarang." Doma menegaskan, menunjuk Analis dengan pandangan mata dingin. "Saya nggak mau berdebat, An. Saya capek, ingin istirahat karena besok harus berangkat pagi." Analis mengarahkan seluruh rambutnya ke bahu kanan, menepuk sisi kosong sembari mengulum senyum di bibir. Dalam hati, Analis merasa menang karena akhirnya, dia bisa melihat sisi lain Doma. Selama ini, laki-laki itu selalu terlihat sama. Senang, sedih, semua dalam ekspresi yang itu-itu saja. "Nggak mau!" Analis merapatkan selimut di tubuhnya. "Pindah, An." Doma menekan panggilan nama Analis setengah geram. "Apa susahnya tidur bareng sih, Pak? Emang Bapak betah tidur sendirian terus?" ejek Analis. "Kan enak saya temenin tidurnya. Ada temen ngobrol sebelum tidur. Ada yang bangunin kalau Bapak tiba-tiba ketindihan mahluk halus!" Doma benar-benar pusing sekarang! Pulang dari luar negeri bukannya lebih dewasa, tingkahnya justru membuat Doma selalu was-was setiap hari! Ya Tuhan, harus Doma apakan perempuan ini?! "Bapak bersih-bersih aja dulu kalau gitu. Mau saya siapin baju tidur Pak Doma juga?" tawar Analis. Laki-laki itu berjalan menuju kamar mandi. Menghela napas panjang sesekali menggelengkan kepalanya heran. Bisa-bisanya Analis dengan berani mengatakan tidur bersamanya mulai malam ini. Di kamar yang sama, di ranjang yang sama pula. *** "Pak Doma..." "Hmm." "Bapak udah tidur apa belum?" "Belum." Analis mengembungkan kedua pipinya. Memandangi punggung lebar Mandala Domani tanpa berkedip. Pasangan suami istri macam apa mereka? Tidur sudah di ranjang yang sama, tapi tidurnya dipunggungi begini. Sepertinya, Analis harus ekstra sabar menghadapi suaminya yang aneh. Bukannya Doma akan senang memiliki istri cantik seperti dirinya? Analis memiliki tinggi yang semampai. Berkulit putih pucat, berhidung mancung, rambut lurus hitam mengkilap sepanjang punggung. Kenapa Doma sangat betah mengabaikannya? Atau laki-laki itu hanya canggung karena sebelumnya mereka tidak pernah dekat meskipun berstatus suami istri? "Ada alasan lain kenapa Pak Doma nggak mau ngomong banyak-banyak sama saya?" tanya Analis sendu. Perempuan itu menumpuk kedua tangannya ke atas bantal, lalu menambahkan, "Kalau Pak Doma gini terus, saya kepikiran buat cari pacar aja." Maksud dari kalimatnya barusan hanya untuk menarik perhatian Doma. Analis ingin melihat bagaimana reaksi laki-laki itu jika mendengar istrinya hendak mencari pacar karena tidak tahan diperlakukan dingin. "Di luar negeri, ada banyak cowok yang ngejar saya, Pak." Analis bercerita jujur. Untuk yang satu ini, Analis tidak sekadar membual. "Tapi saya ingat, di Indonesia saya punya seseorang yang harus saya jaga hati dan nama baiknya." Analis menguap di sela-sela mengucapkan kata-katanya. "Walaupun orang-orang nggak tahu saya siapanya Bapak, saya sadar, saya bukan perempuan lajang yang bisa kencan sama cowok di sana-sini." Entah bagaimana raut wajah Doma sekarang. Mendengar istrinya mengeluarkan keluh kesahnya, apakah Doma tidak ingin membuka hatinya sedikit saja?  "Keputusan saya udah benar, kan, Pak?" gumam Analis. "Tapi, kalau Pak Doma masih gini terus sampai beberapa tahun ke depan, saya beneran mau cari pacar aja. Yang nggak aneh kayak Bapak. Yang bisa bikin saya merasa lebih dihargai kehadirannya."   ***  Berhubung minggu depan akan mulai bekerja di kantor firma hukum milik Doma, Analis ingin menghabiskan waktu senggangnya dengan pergi bertemu teman-teman sekolahnya dulu. Enam tahun lamanya Analis dan lainnya berpisah, dan hanya saling kontak lewat email atau sosial media saja.  Di jam makan siang, Analis janjian bertemu empat orang temannya di sebuah kafe yang tidak jauh dari gedung perkantoran Metya, salah satu temannya yang akan bertemu dengannya hari ini. Analis sampai lebih dahulu ketimbang yang lain. Perempuan itu meletakkan tas putihnya ke atas meja lalu mengeluarkan ponsel untuk mengabari teman-temannya bahwa dirinya telah sampai. Sekitar lima menit menunggu, sosok Metya datang setelahnya. Seperti seorang teman yang sudah lama tidak bertemu satu sama lain, Metya dan Analis memekik girang hingga menjadi tontonan pengunjung lain lalu terkekeh geli. Metya mengurai pelukannya. Sebelah tangannya masih berada di bahu Analis. Kedua matanya menyipit, memandangi temannya dari ujung rambut hingga ujung kaki lantas berdecak kagum. "Nggak mampu gue sama kecantikan lo," decak Metya, langsung dibalas dengkusan oleh Analis. "Kalau aja lo nggak nyapa duluan, gue nggak bakal ngenalin lo." Analis mengajak Metya duduk sembari menunggu ketiga temannya yang lain datang menyusul. Metya mencerocos ini-itu, menceritakan berbagai kejadian yang telah dilewatkannya enam tahun ini. "Gue seneng denger lo balik dari Inggris." Metya menyeruput minumannya. "Kenapa nggak ngabarin gue dari awal lo pulang, sih? Kalau gini kan, waktu kita cuma sampai pas jam makan siang habis!" Analis tersenyum maklum mendengar ocehan Metya. "Maaf, deh. Aku baru ada waktu senggang sekarang." Metya mendengus pelan lalu tertawa. "Gue maafin." Perempuan itu menunjuk Analis. "Tapi lain kali kita harus pergi seharian!" Kepala Analis terangguk-angguk. "Lo mulai kerja kapan, An?" "Minggu depan." Metya mengulum senyum. "Tercapai mimpi lo jadi pengacara ya?" "Ya... gitulah." Analis menyesap kopinya. Kedua perempuan itu berbincang, sampai dua temannya lagi menyusul. Dan tidak kalah hebohnya seperti pertemuannya dengan Metya tadi. "Berin kok belum sampai ya? Apa jangan-jangan dia lupa?" gumam Analis. Mendengar itu, Devina menyahut, "Lagi sibuk cari ide buat gaet gebetan!" Metya menyambar cepat. "Gebetan yang mana? Pacar aja nggak punya!" "Berin anaknya pendiem, kan. Sekali suka sama cowok, susah banget buat digapai!" tambah Ilana. Analis memandangi temannya satu per satu. "Berin punya pacar?" "Bukan, An! Jadi, Berin tuh suka sama cowok. Akh, nyebutnya laki-laki kali ya." Metya mengusap keningnya. "Berin naksir banget sama laki-laki ini. Dulu mereka ketemunya di kampus, waktu si laki-laki jadi dosen tamu gitu, deh." "Oh..." Analis manggut-manggut. "Terus, laki-lakinya notice Berin, nggak?" Metya mengerucutkan bibir. "Notice apaan! Dilihat aja nggak, kok! Tapi ya gitu, Berin gencar banget kayaknya. Kebetulan juga, papanya Berin kenal sama laki-laki ini." "Wah! Bagus, dong!" seru Analis. "Kenapa nggak minta dikenalin sama papanya? Sekalian minta dijodohin gitu. Siapa tahu jodoh beneran." "Laki-lakinya tipe kaku gitu, An. Gue pernah lihat sekali, itu pun karena nggak sengaja pas pergi sama Berin. Disapa cuma angguk-angguk doang, setelah itu ya udah." "Namanya siapa sih? Gue penasaran orangnya kayak gimana. Punya sosmed nggak, ya?" Metya menyambar ponselnya di meja. "Bentar," ujar Ilana mengarahkan tangannya ke Metya. "Dom? Doma?" gumamnya, kemudian menjentikkan kedua jarinya. "Mandala Doma kalau nggak salah." Mandala Doma katanya? Sepasang mata Analis melebar. Dahinya berkerut-kerut, sebelah alisnya terangkat naik. Mandala Doma yang sama? Jangan bilang suaminya yang dimaksud Metya dan lainnya! "Mandala Doma yang pengacara itu?" tunjuk Analis kepada teman-temannya. Tak disangka, Metya dan kedua temannya yang lain mengangguk tanpa ragu. Analis melongo, terbengong-bengong hebat kala mengetahui kalau salah satu temannya ada yang menyukai Doma, suaminya. Brak. Analis menggebrak meja hingga yang lain tersentak. Bahkan Metya sampai tersedak minumannya. Analis mengusap rambutnya ke belakang. Ditariknya napas lebih dahulu sebelum mengatakan yang sebenarnya. "Ini nggak bener," gumam Analis sembari menggeleng. "Apanya yang ngga bener, An?" tanya Metya dan Ilana bersamaan. "Coba kasih tahu Berin. Kalau Doma, tuh, udah nikah. Punya istri!" pekik Analis sebal. "Hah?" Devina melongo. Metya menyahut bingung, "Gimana?" "Laki-laki yang namanya Mandala Doma udah nikah, Met! Tolong bilangin ke Berin, jangan jadi pelakor!" tambah Analis dengan berapi-api. Tiba-tiba seseorang menyeletuk dari belakang. "Lo tahu dari mana Mas Doma udah nikah?" Seseorang itu Berin. Perempuan berambut cokelat tersebut sedang memandanginya dingin. "Itu karena...,"   ***  Analis menunjukkan gelagat aneh beberapa hari terakhir. Seminggu sebelum perempuan itu mulai bekerja di kantornya, Analis menunjukkan sisi yang berbeda lagi dari sebelumnya. Jika sepulangnya dari Inggris waktu lalu Analis terlihat lebih agresif sampai Doma was-was, sekarang tidak lagi. Analis terkesan cuek. Bahkan perempuan itu kembali tidur di kamarnya sendiri.  Doma baru saja pulang ke rumah. Seperti biasa, dirinya disambut oleh si Mbok di lantai bawah. Doma menyapa wanita tua tersebut, lantas pergi menuju ke lantai atas menuju kamarnya berada. "Mbok," panggil Doma dari tengah-tengah anak tangga. Dia teringat sesuatu. Sedari Doma menginjakkan kakinya ke lantai rumah, dia tidak menemukan sosok Analis. Ke mana perempuan itu? Di kantor, Doma tidak mendapati Analis di ruangannya. Kata salah seorang rekan kerjanya, Analis sedang keluar menemui klien sejak pukul tiga sore. "Ya, Pak?" balas Mbok, mendongakkan kepalanya. Doma menarik napas tanpa kentara. "Hmm, nggak apa-apa Mbok. Saya tiba-tiba lupa," gumamnya linglung. Mbok mengangguk kecil, memutar badannya memunggungi Doma lalu berpamitan pergi ke dapur. Doma mengambil langkah besar menaiki anak tangga. Dalam hatinya, dia sedang bertanya-tanya. Ke mana perempuan itu? Doma mengangkat tangan kirinya, melirik jarum jam yang berhenti pukul setengah tujuh. Sambil mendorong pintu kamar, Doma mengeluarkan ponsel. Laki-laki itu menimbang sebentar, apakah dia harus menghubungi Analis? Hmm, tidak. Sama saja Doma membuat dirinya kembali was-was. Dirinya sudah cukup pusing dengan segala macam tingkah Analis yang aneh-aneh setelah pulang dari Inggris. Doma betulan mengurungkan niatnya. Analis bukan lagi anak berusia belasan tahun lagi. Perempuan itu telah dewasa. Bahkan menunjukkan perbedaan karakternya yang sangat kentara. Jika Analis yang dulu adalah seorang gadis remaja yang cengeng, kini Analis menjelma sebagai perempuan dewasa pemberani dan tegas. Malah kelewat berani, pikir Doma. *** Hah... meluluhkan seorang Mandala Domani sangat sulit sekali. Berwajah cantik dan pintar saja tidak cukup menarik perhatian Doma. Analis nyaris frustrasi! Segala macam telah dilakukannya hanya untuk laki-laki itu! Hari ini Analis sengaja pulang telat. Berharap Doma menelponnya atau berbaik hati menungguinya di depan rumah lalu marah-marah karena khawatir. Akan tetapi, semua itu cuma menjadi khayalan panjang Analis. Ketika mobilnya masuk ke halaman rumah, perempuan itu tidak menemukan siapa pun. Analis menyambar tas di kursi samping kemudian membanting pintu mobilnya kesal. Protes pun rasanya percuma. Doma tidak akan menanggapi selain memintanya pergi beristirahat di kamar seolah Analis adalah anak kecil! Akh, sial sekali Analis menikah dengan seorang Mandala Domani. Sepertinya, Analis akan memikirkan ulang soal mencari pacar. Mungkin... dengan kencan buta seperti kata Metya? Analis membawa tas hitamnya. Berjalan menaiki anak tangga dengan lesu. Saat Analis mencapai tangga paling atas, dia bisa melihat pintu kamar Doma ditutup. Percuma. Memaksa tidur di kamar yang sama pun sama sekali tidak membuahkan hasil. Lebih baik dirinya tidur di kamarnya lagi seperti biasa. Ya, Analis akan menikmati kehidupan rumah tangga yang hambar untuk beberapa tahun ke depan. Ah, tidak, mungkin sampai dia menyerah pada sikap dingin Doma. Langkah Analis tiba-tiba berhenti di depan pintu kamarnya sendiri. Dia menatap pintu kamar Doma sesaat. Sebentar saja. Analis memejamkan mata beberapa detik. Perempuan itu sedang bernegosiasi kepada dirinya sendiri. Analis sengaja menghindari Doma hanya karena ingin mengetahui bagaimana reaksi laki-laki itu. Tetapi dari dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Analis sulit berjauhan dari laki-laki itu. Analis menggapai gagang pintu kamar Doma. Menarik napas sebentar, kemudian menariknya hati-hati. Pintunya tidak dikunci ternyata. Doma sedang tertidur lelap menghadap ke arah jendela kamar. Analis menenteng tas di tangan, mengambil langkah paling lamban agar tidak mengusik tidur suaminya. Analis duduk berjongkok di samping ranjang laki-laki itu, mengelus pipi Doma lembut sambil bergumam, "Saya sendiri yang berusaha jauh, tapi saya sendiri yang capek, Pak." Analis berbisik sendu. "Tadinya saya kira Pak Doma bakal nyari saya, khawatirin saya karena belum pulang. Tapi ternyata nggak, ya?" Perempuan itu tertawa sumbang dan menunduk dalam. Wajah Doma kelihatan lebih tampan dilihat dari dekat. Analis bersyukur memiliki suami seperti Doma. Karena selain tampan dan pintar, Doma juga sulit diluluhkan oleh perempuan mana pun termasuk dirinya dan Berin. Sampai hari ini Berin dan teman-teman lainnya tidak tahu siapa dirinya, statusnya bersama Doma. Analis memang bodoh. Kenapa dia tidak mengaku saja kalau istrinya Doma adalah dirinya! Akh, Analis tidak sampai hati mengatakannya kepada Berin. Dia hanya mengatakan bahwa dia mengenal baik istrinya Doma. Dan menegaskan kalau Mandala Domani telah menikah. Analis mendengus sebal. Mencondongkan kepalanya lalu mencium pipi Doma sebentar. "Selamat malam, Pak Doma..." Perempuan itu berdiri, berjalan menuju ke pintu lalu membukanya. Ditatapnya sekali Doma, lantas menutup pintu kamar laki-laki itu, dan pergi ke kamarnya sendiri. Tanpa disadari Analis, Doma tidak benar-benar tidur. Laki-laki itu mendengar semua keluhannya. Kedua mata Doma terbuka, memandangi pintu yang ditutup, kemudian menarik napas panjang. Doma tidak bisa membiarkan Analis jatuh terlalu dalam pada perasaannya. Doma perlu membangun dinding lebih tinggi agar Analis tidak mudah menerobosnya. Karena, saat keduanya saling mengetahui perasaan satu sama lain, Doma harus mengatakan suatu kejujuran. Suatu rahasia yang telah disimpannya begitu lama. Tentu saja berhubungan dengan Analis.    To be continue---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD