RADIAN sangat tampan hari ini.
Batik bermotif biru langit terlihat sangat bersinar ditubuhnya. Celana jeans hitam juga membuat kakinya semakin jenjang dan membuatku iri sebagai kaum perempuan. Dia Raja di hatiku.
Hari ini, Kami akan datang ke rumah Ayah dan Ibu untuk syukuran kelulusan Malwa, juga karena Malwa berhasil diterima di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, di UGM. Adikku memang luar biasa. Dia gadis masa kini, tetapi tetap menyeimbanginya dengan otak yang cerdas. Aku sering mewantinya untuk nggak mencontoh pergaulan beberapa artis youtube yang nggak bersikap sesuai lingkungan itu.
"Aku pakai ini bagus nggak?" Aku memutar tubuhku yang terbalut gamis panjang bewarna senada dengan batik Radian.
Dia memandangku sejenak, kemudian bergumam "cantik" jika aku nggak salah mendengarnya. Meskipun begitu, aku tetap tersenyum bahagia dan memastikan diriku sendiri di pantulan cermin. Aku sudah sangat cantik, make up-ku juga nggak berlebihan.
Aku siap.
Saat selesai mencepol rambut dengan menyisakan anak-anak rambut begitu saja, aku segera keluar kamar dan mendapati Radian duduk di sofa, menonton acara berita pagi. Aku selalu suka wajah seriusnya. Aku suka saat dia mengerutkan kedua alis dan berpikir keras. Aku suka saat sudut bibirnya terangkat sedikit. Dan aku sangat suka saat dia menatap datar sesuatu di depannya.
"Aku udah siap."
Wajahnya mendongak, kemudian mengangguk pelan dan berdiri dari sofa. Aku melihat dia memasukkan ponsel ke saku celananya. Melihat itu, aku memiliki ide untuk tetap bisa mengajaknya berbicara, "Mau dimasukin ke tas aku hape sama dompetnya?"
Dia menggeleng, "Di saku aja. Ayok...."
Aku mengangguk, lalu berjalan menyusulnya. Suasana lift sangat sepi, hanya ada aku dan Radian, membuatku merasa canggung dan nggak nyaman. Aku ingin dia melakukan sesuatu untukku. Menggenggam tanganku misalnya, atau melirikku untuk sekadar memastikan aku baik-baik saja.
Sudahlah.
Hari ini, aku nggak ingin berharap banyak lalu terluka dengan sangat sakit. Aku hanya akan menjalani apa yang sudah seharusnya tertulis untuk takdirku. Tuhan hanya perlu melihatku kuat, maka Dia akan tersenyum. Aku yakin Tuhan masih sebaik dulu.
"Malwa ngambil FISIPOL, ya?" Dia bertanya tanpa menoleh, tetap berjalan santai menuju parkir mobil.
Aku mengangguk dan tersenyum, lalu masuk ke dalam mobil dan duduk di sampingnya. "Hari ini, banyak Tante, Om sama sepupu yang bakalan hadir dari Bandung. Nggak apa-apa?" Aku menunggu reaksinya, Radian nggak seramah saat dia SMA. Dia menjadi pemilih saat berbicara dengan orang lain kalau nggak ada keperluan penting.
"Nggak apa-apa."
Tiga kata sudah membuat hatiku senang. Apa yang lebih menyenangkan dari membawa suami tampanmu dan memamerkan ke keluarga besar? Nggak ada, kupikir. Radian adalah satu-satunya alasan aku bahagia, saat ini.
Sebelum langsung datang ke rumah Ibu, aku mampir ke tukang soto langganan. Malwa sangat menyukai soto itu, dan tadi memintaku untuk membelinya. Radian menunggu di dalam mobil selama aku membeli soto ini.
"Jangan pakai toge, ya, Mas?" Malwa nggak suka toge, sama sekali. Dia bisa mengamuk kalau makanannya diberi sayuran itu.
"Pakai nasi?"
"Nggak usah, Mas. Sotonya aja."
Aku maju selangkah, saat segerombolan orang datang dan mendesakku. Mereka mengambil kursi, lalu duduk dan berbincang ramai. Mereka terlalu berisik. Mengingatkanku pada Mika dan Amel. "Aw!" Aku memekik cukup keras, saat seorang perempuan bertubuh besar masuk dan tubuhku terdorong ke depan menyentuh panci kuah itu. Panas sekali. Salahku yang memang suka melihat proses pembuatannya.
"Waduh, tangannya luka nggak, Mbak?" tanya Mas penjual soto.
Aku menggeleng, sembari mengumpat dalam hati. Perempuan itu sama sekali nggak peduli. Menoleh saja nggak. Aku meniup jariku yang terasa semakin panas. Ya Tuhan, aku pikir rasanya nggak akan sedahsyat ini. Kenapa menjadi sangat pedih dan panas?
Setelah membayar, aku segera berjalan menuju mobil, berharap AC bisa sedikit mendinginkan tanganku. Karena semakin lama, panasnya semakin terasa nyata. Aku ingin menangis. Baiklah. Aku memang cengeng. Jari teriris pisau saja, aku menangis sendirian.
Meletakkan plastik hitam itu di atas dashboard, aku kembali meniup tanganku. Berdoa di dalam hati semoga dia cepat sembuh. Kalau begini, aku nggak akan bisa menikmati momen di rumah Ibu.
Tubuhku berjengit kaget, saat tiba-tiba Radian menarik tanganku dengan tangan bebasnya. Meniupinya pelan, lalu mengecup lama. Tepat di bagian yang memerah. Aku ingin menangis. Dia nggak pernah semanis ini. Oke, dia memang kadang nggak tertebak. Bisa bersikap layaknya seseorang yang peduli, namun sedetik berubah menjadi sangat dingin.
Dia hanya melakukan tugasnya sebagai seorang lelaki. Seperti dulu. Lekaki yang selalu menganggap perempuan lebih lemah darinya.
"Tunggu sini...."
Aku mengangguk, dia keluar dari mobil dan masuk ke dalam apotik. Itu tulisan yang k****a. Apa yang akan ia beli? Apa ia sakit? Harusnya kami nggak perlu pergi dan aku akan mengurusnya di apartemen.
Dia kembali membawa plastik putih kecil dan menghadapku. Jantungku langsung berdegup sangat kencang. Efek Radian memang nggak pernah berubah. "Coba mana tangannya."
"Aku nggak apa-apa." Meski begitu, aku tetap menyodorkan tanganku yang luka.
Dia diam, mengolesi krim yang terasa dingin dan cukup menghilangkan rasa panas. "Jangan terlalu seneng nyiksa diri, Sya."
Aku mengabaikan ucapannya, lebih memilih memandangi wajah tampan dalam jarak sedekat ini. Sialan. Nafasku jadi memburu karena gugup. Aku suka hidung, mata, dan pipi itu. Perlahan, tanganku terulur menyentuh pipi kanannya. Mengelus pelan dan aku memjeamkan mata. Entah bagaimana, aku merasa sangat merindukannya. Padahal kami tinggal dalam satu kamar.
Radian menarik diri, menutup krim itu dan meletakan di atas dashboard juga. Dia mengambil tisu, mengelap tangannya, kemudian kembali menjalankan mobil.
Aku harus sadar, hanya aku yang mencintainya.
Sampai kapan pun, segala bentuk perhatiannya yang membuatku baper, itu hanya karena dia adalah seorang lelaki. Bukan suami yang mencintaiku.