tiga (2)

858 Words
MOBIL terparkir di halaman bersama mobil dan motor lainnya. Rumah Ibu sudah ramai kedatangan keluarga dan kerabat dekat. Aku paling suka momen-momen seperti ini. Bertemu banyak orang dan mendengarkan banyak cerita dari mereka. Biasanya, beberapa keponakan yang baru remaja akan ramai dengan cerita gebetab bersama Malwa dan aku. Mataku melirik Radian, dia diam, nggak langsung turun dari mobil. Pandangannya lurus ke depan, memerhatikan beberapa anak kecil sedang berlarian. Apa yang sedang ia pikirkan? Apa ia terganggu dengan suasana seramai ini? "Yan, kalau kamu nggak nyaman, kita bisa pulang." Kepalanya menoleh, "Nanti aku bilang Ibu, kalau aku nggak enak badan. Nggak apa-apa." "Tapi kamu suka kumpul bareng mereka." Setelah mengatakan itu, dia turun lebih dulu dan menutup pintu mobil. Aku melihatnya beridiri beberapa langkah dari mobil, dan sedang merapikan batik serta rambutnya. Kenapa setiap gestur yang ia lakukan selalu terlihat seksi di mataku? Karena kamu adalah perempuan kesepian, Sya.. Aku segera menggeleng cepat, dan menyusul Radian. Kami berjalan, sesekali Radian menyapa Om dan keponakanku yang berada di luar rumah. "Tante Acha, kok, baru dateng?" Aku menunduk, menyeimbangi tinggi Farhan. Anak dari sepupuku. "Tante tadi kesiangan. Farhan udah dari tadi?" Aku mengelus kepalanya. "Udah. Di dalem udah ruameee.... Tante Malwa juga lagi nungguin Tante Acha di kamarnya." "Ohya?" Dia mengangguk. "Yaudah. Tahte Acha masuk dulu, ya...." Ketika masuk ke ruang keluarga, kami disambut oleh kerabat dari Bandung. Ada adik Ibu, sepupu Ibu, keponakan Ayah, dan masih banyak jika aku harus menyebutkannya. "Eh, si ganteng. Ya allah, kumaha, Sya. Makin hari, kok, suamimu main ganteng aja." Tante Dinafi, adik kandung Ibu. Aku tertawa kecil, begitu pun dengan Radian. Dia menyalami semua yang ada di ruangan itu. Semuanya.kemudian ikut duduk dan berbincang. Kalau begini, aku merasa benar-benar telah menikah dengannya. Membiarkan Radian bergabung bersama mereka, aku berbalik dan berjalan menuju kamar Malwa, setelah Radian menganggukkan kepala. "Radian sibuk, Tante. Nanti, kalau udah ada waktu senggang, Radian main sama Marsya. Di Bandung, udaranya dingin, kan?" Aku mendengar Radian berbicara. Dia terlihat normal jika begitu. "Iyalah dingin. Pokoknya cocok buat pengantin baru." Suara kekehan Tante Dinafi, disusul tawa dari yang lain mampu membuatku merona. Pernikahan kami nggak senormal itu, Tante... Aku mendorong pintu kamar Malwa yang sedikit terbuka, di sana ada Ibu, dan Bintang. Anak dari keponakan Ayah. "Eh, Teh Acha udah dateng?" Malwa langsung berdiri dan memelukku. "Kangen tahu, Teh." "Apa, sih. Baru juga berapa bulan nggak ketemu." "Tiga bulan sejak Teteh nikah, ya ..." Dia mendengus kesal. "Mana soto aku?" Aku menyerahkan plastik ke tangannya. "Bi, ikut gue makan soto di dapur, yuk?" "Males, ah. Banyak orang-orang lagi masak." "Di meja makan aja, Bi." Ibu menimpali. Aku mengangguk. "Kalau nggak makannya di sini." "Nggak ah!" sela Malwa cepat. "Gadis nggak boleh makan di kamar, pamali." Aku tertawa, setelah melihat mereka berdua keluar kamar. Ibu tersnyum tipis, senyum bahagianya yang sederhana. Dia tentu bahagia karena Malwa bisa diterima di kampus yang menurutnya baik. Bukan seperti Kakaknya, rela melepaskan semua demi seorang lelaki yang ia cintai. "Gimana kabarmu, Teh?" "Baik, Bu. Ibu baik, kan?" Ibu mengangguk. Beberapa saat, kami hanya saling tatap. Aku ingin bercerita kalau tanganku melepuh terkena panci kuah soto yang dijual di pinggir jalan. Aku ingin bercerita kalau tadi, aku sempat menyentuh wajah Radian untuk pertama kalinya setelah menikah. Tetapi mulutku hanya diam. "Kamu bahagia?" Aku mendongak, menatap Ibu. Kemudian mengangguk sembari tersenyum. Aku bahagia. "Lusa Malwa berangkat. Malam ini kamu nginep sini, bisa? Nanti izin Radian dulu." "Kenapa harus izin? Ini, kan, rumah orang tua, Teteh, Bu." Ibu tersenyum dan menggenggam tanganku. "Kamu sudah menikah, Teh. Prioritasmu sekarang adalah berbakti pada suami. Ayah juga berharap kalau kamu bisa menjadi istri yang baik." "Ayah kemana?" "Lagi di belakang sama Mang Ikbal." Setelah keluar dari kamar, aku ikut membantu para ibu-ibu di dapur. Aku suka memasak. Dan aku suka hal yang berhubungan dengan tugas seorang istri. Karena aku sangat mencintai peranku saat ini. "Udah mulai isi belum, Cha?" Mbak Firah menatapku jail. Kenapa aku memerah? Padahal itu adalah pertanyaan normal untuk setiap perempuan yang sudah menikah. Aku pun dulu sering bertanya hal demikian pada sepupu atau temanku yang sudah menikah. "Belum." Karena kami belum melakukannya. Obrolan kami berlanjut pada tugas sjati seorang istri. Bagaimana cara memperlakukan suami dengan baik dan benar. Jangan melawan suami, cukup didengarkan, dan nanti dibicarakan dengan kepala dingin. Hari sudah semakin sore, masakan pun sudah siap dihidangkan. Hanya perlu memanggil beberapa tetanga dekat dan acara syukuran bisa digelar. Aku mencari Radian di ruang tamu, tempat pertamanya duduk, tetapi nggak ada. Langkah kaki membawaku ke belakang rumah, dan mataku mendapatinya sedang tertawa di kerumunan bapak-bapak. Tanpa sadar, aku juga ikut tersenyum melihat itu. Matanya menemukanku, kemudian ia berdiri dan berjalan mendekat. "Aku nginep sini, boleh?" Dia diam beberapa saat. "Kenapa harus nginep? Kita bisa pulang setelah acara selesai." "Tapi lusa Malwa udah berangkat. Aku pengin tidur bareng dia." "Nggak pengin tidur bareng aku?" Kepalaku mendongak, memandang tepat di manik matanya. Apa dia bilang? "Ehm, aku kangen suasana ramai gini." "Kalau aku nggak ngizinin kamu nginep, kamu bakal nurut?" Aku mengigit bibir, kemudian mengangguk dan tersenyum. "Iya. Kita pulang." Setelah itu, Radian terssenyum dan kembali bergabung bersama mereka. Tugasku hanya perlu menurutinya. Karena aku adalah miliknya. to be continued ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD