empat

1834 Words
AKU turun dari taksi, setelah membayar dengan dua lembar uang. Udara ini. Aku selalu suka dengan suasana rumah Galang. Terlihat dan terasa seperti rumah sesungguhnya. Begitu hangat. Aku membunyikan gembok gerbang beberapa kali, kemudian wajah Mbak Ilam sedang tersenyum di depanku. "Eh, Mbak Marsya. Akhirnya mau main lagi." Aku tersenyum, mengikuti langkah kakinya ke dalam rumah. "Mikanya ada, kan, Mbak?" Dia mengangguk. "Gamia masih rewel?" "Ya gitu. Non Gamia itu kalau sakit manja dan rewel. Apa-apa salah. Digendong Omanya nggak mau. Saya kasihan sama Mbak Mika. Kelihatan makin kurus." Aku tertawa kecil. Bukannya merasa kasihan pada Mika, aku justru merasa cemburu. Dia sudah menjadi perempuan sejati. Seorang istri dan ibu yang baik. Meski masih muda, aku tahu Mika selalu berusaha melakukan yang terbaik untuk keluarga kecilnya. "Sya, sama Radian?" Tante Widya. Masih tetap cantik di usianya yang tak lagi muda. Aku menggeleng. "Dia kerja, Tante. Udah nggak jaman main dianter suami." Aku tertawa kecil. "Bener. Sama kayak Mika. Mentang-mentang udah jadi ibu, sekarang nggak mau dianter Galang. Katanya udah mandiri."   Kalau dulu, saat Tante Widya mengatakan kalimat itu, aku akan mengumpat dalam hati. Beraninya dia mengatai sahabatku. Tetapi sekarang, binar bahagia nggak bisa kuabaikan saat ia membicarakan Mika, Galang, dan cucunya. Mika bilang Tante Widya banyak berubah sejak Mika hamil. Jadi makin cerewet, tetapi cerewet dalam arti yang baik. Memperhatikan Mika dengan sangat baik. Apalagi sekarang, setelah Gamia tumbuh menjadi gadis mungil yang menggemaskan. Balita tiga tahun itu selalu berhasil menarik perhatian orang sekitarnya. Dengan wajah campuran Galang dan Mika, membuat Gamia nyaris sempurna. Dia sangat cantik dan mudah mengenal orang lain. "Hai...." Hal pertama yang menarik perhatianku di kamar ini adalah banyaknya foto Mika dan Gamia. Mika menolehkan kepalanya, tangannya masih menepuk-nepuk b****g Gamia yang sedang merengek. "Hai, Sya. Lo beneran dateng? Thanks God." Mika berdiri, memmbuat Gamia mengeraskan suara tangisnya. "Nggak usah berdiri. Situ aja." Aku berjalan mendekat, duduk di pinggir ranjang, memandangi wajah Gamia yang masih pucat. "Duh, princess Ante Acha, kok, ngerengek terus?" "Ca... kit. Hikss. Mama, ca... kit." Tangan mungilnya menunjuk-nunjuk hidung. Aku tersenyum, dia pilek. "Nggak bisa ditinggal sama sekali ini, Sya. Gue sampe kewalahan. Diajak Papanya juga nggak mau. Padahal biasanya nggak mau lepas." "Anak kecil suka gitu. Kalau sakit, ya, cuma butuh Mamanya." Aku mengecek kening Gamia, masih terasa hangat tetapi nggak terlalu panas. "Lo kasih obat apa, Mik?" "Ada dari dokter. Udah mendingan, kan, panasnya?" Aku mengangguk. "Ini juga bentar lagi paling tidur." Mika membenarkan posisi kepala Gamia di atas bantal. Lalu menyelimuti badan kecil itu. "Amel sibuk banget kayaknya. Nggak ngabarin lo?" "Kafenya, kan, udah mulai melejit. Jadi dia sibuk pasti. Padahal yang banyak kerja juga orang suruhannya." Aku berdecak. Amel memang kadang seberengsek itu. Jomblo menyebalkan. Dia nggak pernah bisa move on dari Romi. Padahal mereka sudah cukup lama pisah. Entahlah. Apa yang ia pikirkan dengan bertahan dalam rasa sakit itu? Dia cantik, kaya, lelaki mana yang nggak berlomba untuk menikmati semua itu? Lupakan Amel. "Kemaren gue baru beli DVD tahu...." Mika nyengir dan berjalan ke arah lemari kecil. Membuka laci, lalu mengambil sesuatu dari sana. "Tara.... DVD Turki favorit sahabatku." Mau nggak mau, aku tertawa kecil. Galang sangat berhasil mengubah hidup Mika. Dia menjadi perempuan kuat dan nggak pernah mengeluh lagi. Papahnya juga sudah memutuskan menikahi Tante Citra sekitar enam bulan yang lalu. Dan Mamahnya tengah mengandung lima bulan di Papua sana. Tetapi sudah nggak pernah mendengar Mika mengeluh dan menyalahkan keadaan. Dia sangat baik saat ini. "Gue terharu...." Dia mendengus, lalu melemparkan bungkus DVD itu. "Nggak mempan." Mika berjalan kembali dan duduk di sampingku. Setelah melahirkan, dia memiliki tubuh yang semakin indah dan terlihat bersinar. "Anjiiirrrr. Ini nggak ada subtitle-nya?" "Baca, nih! Eng-lish." Dia berdecak. Aku mengangguk-angguk paham. "Eh, kebawah yuk? Mumpung si krucil tidur. Emak mertua gue masak semur ayam." Mika berdiri, menoleh ke arahku. "Ayok. Lu belum nyoba, sih. Gimana rasanya semur ayam buatan dia. Si Galang aja sampai rela ninggalin gue yang udah telentang kalau Mamanya teriakin nama masakan itu." Praktis, aku terbahak. Satu lagi, Mika menjadi sangat frontal setelah menikah dan memiliki anak. Aku agak menyayangkan perubahan yang satu itu. Mika yang kalem dulu jauh lebih misteri daripada sekarang. Saat kami sudah sampai di meja makan, Tante Widya sedang menyiapkan beberapa piring dan nasi di setiap piring itu. Mika duduk di sebelahku dengan cengiran di wajahnya. Sedangkan aku terus memperhatikan betapa cekatan Tante Widya di usianya. "Tante masih suka masak?" Aku bertanya. "Masih, dong. Selama Galang masih suka masakan buatan Tante, bakal masak terus." "Walapun istrinya nggak dianggap masalah masakan ya, Ma...," sindir Mika, sembari memulai mengunyah paha ayam. Tante Widya tertawa kecil. "Kamu cemburu terus sama Mama. Padahal Mama udah jarang peluk Galang. Lah kamu bisa ngapain dia aja." Aku tertawa. Mereka cukup menghibur. Galang pasti sangat bahagia memiliki perempuan-perempuan hebat di hidupnya. Tante Widya, adalah sosok ibu yang luar biasa protektif. Mika adalah istri yang baik, meski kadang kadar cemburunya melebihi batas. Kemudian Kak Ilmaf, adalah sosok Kakak yang bisa dijadikan teman atau patner. Tetapi sayang, Kak Ilmaf harus ke Sulawesi, mengikuti suaminya. "Galang jarang libur, ya, Mik?" "Jarang banget. Nggak ada weekend dia mah. Kadang kalau Gamia lagi manja banget, dia baru cuti." Menjadi seorang Fotografer di sebuah majalah fashion, membuat Galang nggak memiliki waktu banyak untuk keluarga. Aku bisa merasakan perasaan Mika, meski Radian memiliki pekerjaan yang berbeda. "Kalau Mamanya Gamia yang lagi manja?" Aku terbatuk, saat mendengar pertanyaan menggoda Tante Widya. Yang disindir, justru nyengir lebar dan tetap mengunyah makanannya. "Kalau Mika yang manja, Galang mah rela libur seminggu, Ma," jawabnya enteng. Galang adalah paket sempurna yang tercipta untuk Mika. Dan, Radian adalah untukku. . . . . SETELAH menciumi wajah Gamia, aku berjalan keluar kamar diikuti Mika yang sedang menggendong Gamia. "Ante Acha mau pulang. Gamia mau ikut nggak?" Mika bertanya pada anaknya. Aku berhenti dan berbalik menghadapnya. "Ikut Ante, yuk?" Gamia menggeleng, hidungnya masih memerah. "Kenapa?" Dia hanya diam. Aku mencubit pipinya gemas. "Ish! Nanti dia sering sakit gigi." Mika melotot marah. "Udah SMS Radian suruh jemput?" Aku menggeleng. "Why? SMS, gih. Biar romantis gitu, lho, Sya." Aku tertawa. Mika kadang berlebihan. "Dia lagi kerja, Mika." "Jam segini? Coba dulu. Nanti kalau ternyata nggak bisa yaudah. Galang aja rela dimarahin bosnya kalau gue udah nyuruh pulang." Karena Galang cinta kamu. Aku menuruti Mika dengan mengirimi Radian pesan w******p. Sembari menunggunya membalas, aku memangku Gamia dan duduk di ayunan. Dia sangat senang berada di sini. Aku juga nggak tahu apa alasan bocah kecil ini. Hubby: Yah. Aku udah terlanjur kumpul sama temen. Mau main futsal. Kenapa dia nggak bilang sebelumnya? Me: Ohgitu... Hehe, aku juga ngabarinnya mendadak. Yaudah. Me: Nanti pulang, kan? Hubby: Iya pulang. Kamu nggak pa-pa? Me: Nggak papalah. Aku bisa pulang sendiri kok. Kamu hati-hati, ya... Hubby: Kamu juga. Pipiku merona. Aku memasukkan ponsel ke dalam tas, dan menatap Mika. "Bisa?" tanyanya. "Dia lagi main futsal. Gue naik taksi aja, deh." Mika mendelikkan matanya horor. "Demi apa dia lebih milih main futsal daripada jemput istrinya?" Kepalanya menggeleng nggak percaya. Aku berdecak. "Lebay. Dia udah terlanjur di sana. Lagian gue kok yang ngga ngebolehin. Kasihan harus bolak-balik." Aku menyerahkan Gamia ke gendongan Mika. Aku berbohong. Siapa yang nggak ingin dijemput suami tercinta di hadapan sahabatnya? Sekadar untuk pembuktian kalau aku benar-benar memiliki seorang suami. Tetapi sudahlah. Aku nggak bisa terus menginginkan sesuatu dari orang lain terjadi juga padaku. Radian memang selalu bisa menyakitiku dengan diamnya. Tetapi dia juga bisa mengobati itu hanya dengan sebuah senyuman kecil. Senyuman yang sangat sulit kuukur ketulusannya. Aku nggak pernah bisa memahami Radian sebaik ilmu yang kupelajari. Dia akan selalu menarik dan membuatku menciptakan prediksi-prediksi. Jalanan di sore hari lumayan menurunkan mood-ku. Kami bahkan harus berhenti bermenit-menit di antara puluhan mobil lainnya. Sopir taksi yang kutumpangi sudah berumur, dan mengajaknya berbicara adalah hal yang menyenangkan. Aku suka membicarakan banyak hal. Aku suka mendengarkan dia bercerita. Baik itu tentang kebijakan pemerintah mengenai Justice Collaboration atau pun banjir hingga prostitusi online. Aku membuka pintu apartemen dan segera menuju kamar untuk membersihkan diri. Setelah itu, memilih ke dapur dan memasak sesuatu yang bisa kumakan di malam hari. Jarum jam sangat cepat berjalan dan Radian belum ada tanda-tanda akan segera pulang. Setelah memikirkan menu masakan, aku memilih membuat omelet yang kuirisi sosis. Makanan itu nggak terlalu berat dan cukup untuk mengganjal perutku. Radian akan marah jika tahu aku memakan makanan seperti ini. Tetapi dia nggak akan marah karena dia nggak pernah bertanya makanan apa yang telah kumakan. Telingaku mendengar suara bel. Aku berjalan ke depan dan mendapati Radian berdiri di depan pintu dengan tas kerja di pundaknya. Mataku beralih pada sosok yang berdiri di samping Radian. Dia tengah tersenyum ramah dan menganggukkan kepalanya. Aku balas melakukan hal yang sama. "Halo, gue Bimbim." Radian menyikut lelaki yang bernama Bimbim itu. "Sok akrab lo. Pakai nama panggilan segala." Lelaki itu hanya nyengir. "Dia Bima, Sya. Temen SMP aku." "Halo, aku Marsya. Is-" "Istrinya Radian. Gue tahu. Cewek paling cantik di antara pacar dan istri kami." Matanya menyipit karena dia sedang tertawa. "Pinter banget dia cari bini." Mau nggak mau, aku ikut tertawa bersama mereka. Sekarang, aku sudah berada di dalam kamar, menunggu Radian keluar dari kamar mandi. Bima kusuruh untuk membersihkan diri di kamar tamu. "Ini bajunya udah aku siapin." Dia berjalan ke arahku dengan tangan yang mengusap rambut basahnya. "Makasih," jawabnya, kemudian segera memakai celana panjang dan kaus putih polos itu. "Kamu udah makan?" Aku mengangguk. "Bima belum. Aku juga." "Kamu belum makan?" Aku nggak bisa menyembunyikan rasa khawatirku. Berlebihan sekali memang. "Kenapa belum makan?" Aku mendekat ke arahnya. "Tadi lupa. Abisnya seru ngobrol bareng temen lama." Radian berjalan ke meja rias, mengambil sisir lalu menyisir rambutnya. "Aku tadi cuma masak omelet." Kepalaku menunduk, jemariku bertautan. "Sejak kapan jadi pembangkang?" Aku langsung mendongak dan melihat dia sudah berdiri di depanku dengan tatapan datarnya. Dia marah karena aku memakan makanan itu. Tetapi apa yang salah? Aku baik-baik saja jika itu yang ia khawatirkan. "Kita makan di luar bareng Bima." Jika sebelumnya, ini adalah momen yang paling kutunggu. Makan berdua di malam hari bersama Radian. Tetapi kini, justru aku merasakan sakit itu lagi. Dia mengajakku karena Bima dan dia belum makan. Bukan karena untuk membahagiakanku. Apa yang kamu pikirkan, Sya? Aku sudah tahu kalau begini saja sudah lebih dari cukup. Aku berganti pakaian dengan rok selutut dan kaus panjang yang kumasukkan ke dalam rok. Memoleskan lipbalm agar bibirku nggak pecah. Radian nggak suka warna merah p*****r kesukaanku. Dia melarangku untuk memakai lipstik warna itu. "b*****t! Gue iri banget lihat tatapan bini lo setiap ngeliat muka lo. Kayak memuja banget gitu." Aku mendengar Bima mengatakan itu bersama Radian di atas sofa. Aku berhenti melangkah dan memilih untuk mendengarkan mereka. Benar. Aku sangat memuja Radian. Teramat sangat. "Tapi dia nggak seistimewa itu. Lo tahu, kan?" Aku tahu, Radian. Aku sudah tahu. "Berengsek lo. Kurang apa, sih, si Marsya? Cantik, pinter, seksi, dan ramah. Sempurna banget." Bima terdengar mulai kesal. "Tapi dia bukan Mika." Itu adalah jawaban yang sudah kuprediksi. Aku paham dan aku mengerti. Karena selamanya aku bukanlah Mika, sehingga akan selamanya Radian nggak melihatku istimewa. Aku sudah paham. to be continued ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD