Prolog

742 Words
Prolog Aku duduk dengan gelisah, sesekali menghela napas saat menyadari sebentar lagi hidupku akan berubah.  Kulirik mama yang sedang mengotak atik ponselnya dengan dahi berkerut, hingga kemudian aku melihat senyumnya tiba-tiba mengembang. Beliau menoleh ke arahku dengan sumringah, membuat wajah yang dipenuhi gurat halus itu terlihat lebih muda dari usianya yang sudah setengah abad. Dan aku tidak akan sanggup melihat binar kebahagiaan itu sirna dari wajah malaikatnya, sebisa mungkin aku akan terus membuatnya tersenyum, bahagia karenaku. “Sebentar lagi calon suamimu datang, kamu pasti tidak akan menyesal, dia tampan sekali Dek.” Mama tersenyum lebar, dia terlihat sangat semangat saat menceritakan sosok lelaki yang akan menjadi calon suamiku.  Aku mengangguk pelan, mengiyakan segala perkataannya agar beliau senang. Meskipun hatiku sendiri gelisah, menanti sosok yang akan menjadi calon suamiku. Bagaimana jika ternyata dia tidak sebaik yang mama ceritakan? Atau yang paling parah, dia punya tompel mengerikan di pipi? Aku bergidik ngeri. Membayangkannya saja sudah membuat perutku melilit. Aku baru berusia 23 tahun, dan mama sudah bersikeras untuk melihatku menikah. Sayangnya aku baru saja putus dengan Akash. Pria playboy itu sama sekali tidak bisa diharapkan untuk menikah di saat seperti ini. Jiwa bebas dan petualangannya masih tinggi—alasan kenapa aku tidak bisa cocok dengannya. Dan di sinilah aku sekarang. Menunggu dengan harap-harap cemas calon suami yang dipilihkan mama. Dari ekor mataku, aku melihat mama melambaikan tangannya ke arah seseorang yang baru saja masuk dari pintu kafe. Kualihkan wajahku ke arah pandangan mama, terkejut saat mendapati seorang pria tampan dengan setelan jas yang begitu pas di tubuhnya yang terlihat kekar. Mataku tak lepas dari sana. Dia terlihat seperti malaikat yang menjelma menjadi manusia. Lihatlah cara berjalannya yang santai namun tegas, cara saat rambut itu terlihat acak-acakan dan maskulin secara bersamaan. Aku hampir saja meneteskan air liur saat tiba-tiba merasakan seseorang menepuk pundakku. Aku menoleh dan mendapati mama menatapku dengan pandangan 'apa yang sedang kamu lihat?' Aku mengerutkan kening, lalu wajahku ditolehkan mama kearah depan, membuatku terbelalak saat melihat sosok mengerikan berada tepat di depanku. Sosok itu mengenakan kemeja hitam yang terlihat kebesaran di tubuhnya. Kemeja itu dimasukkan kedalam celana bahan yang juga berwarna senada, dengan ikat pinggang berwarna cokelat. Lelaki itu terlihat seperti pelayat dengan perut buncit akibat kemejanya yang kebesaran.  Aku menggelengkan kepala tidak percaya. Ya Tuhan, ini calon suami yang dipilihkan mama?  Kulihat dia mengulurkan tangannya ke arahku, yang kusambut dengan enggan. Dari jarak yang cukup dekat ini, aku bisa melihat manik berwarna biru gelap di balik kacamata tebalnya. Aku sedikit terperangah. Bola mata itu sangat indah, berwarna biru gelap serupa laut terdalam. Setidaknya dia memiliki sedikit kelebihan, pada mata biru gelap miliknya. Tapi itu sama sekali tidak cukup untuk menyempurnakan penampilan anehnya di mataku.  “Namaku Kaivan Wijaya.” dia masih tersenyum lebar, kemudian mengayunkan tanganku yang berada digenggamannya keatas dan kebawah, persis seperti anak kecil yang baru saja dikenalkan dengan teman barunya. “Deandra,” balasku singkat. Lalu dengan cepat melepaskan tautan tangan kami. “Namamu hanya Deandra saja?” Dia mengerutkan kening, kemudian duduk dengan tenang di depanku. “Deandra Lavenia Devi,” balasku malas. Penting sekali ya harus tahu nama lengkapku?  Aku tidak menyangka mama akan menjodohkanku dengan pria i***t seperti dia. Lihatlah tingkah sok polosnya itu, dengan mata berbinar dia mulai berbincang-bincang dengan mama disertai senyum lebar yang selalu menghiasi bibirnya. Kenapa bibir itu tidak robek saja sekalian? “Heh. Melamun aja! Kamu pesen apa Dek?” aku tersadar dari lamunan saat tangan mama menyenggol lenganku. Kulihat seorang pelayan kafe sudah berdiri di sampingku dengan senyuman tipis.  “Samain aja kayak mama,” balasku cuek. Entah kenapa nafsu makanku hilang setelah melihat rupa calon suamiku yang sok polos itu.  “Kamu kerja di mana?” aku mulai sedikit berbasa basi ketika pelayan itu sudah pergi. Kenapa hal yang kutanyakan pertama kali adalah pekerjaannya? Ah, tentu saja supaya hidupku makmur saat bersamanya.  Walaupun penghasilan dari butikku sudah lebih dari cukup, tapi tetap saja kan, seorang suami harus memenuhi kebutuhan istrinya?  “A.. Aku..mengurus toko sembako peninggalan Ayah,” jawabnya salah tingkah.  Aku membulatkan mata tak percaya. Hanya mengurus toko sembako? Bagaimana bisa ia mencukupi kebutuhanku jika hanya itu pekerjaannya? Bunuh saja aku Ma, bunuh.  “Hanya itu pekerjaanmu?” kataku dengan nada tajam, sengaja mengintimidasi.  Ia menggaruk belakang kepalanya sebelum berucap. “Eemm...aku juga beternak sapi,” balasnya sambil tersenyum bodoh.  Tidak. Sudah cukup. Lihat saja. Aku tidak akan pernah membiarkan laki-laki i***t ini yang menjadi suamiku. Akan kubuat dia menderita selama bersamaku dan menolak perjodohan gila ini. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD