BAB 1

1342 Words
BAB I Aku meneliti penampilanku sekali lagi di depan cermin. Kemeja peach fit body dan rok span berwarna hitam selutut, dengan rambut yang aku gerai dan kuberi kesan bergelombang di ujungnya. Sempurna.  Aku tidak suka make up terlalu tebal, jadi aku hanya menyapukan bedak bayi dan lipgloss pink pada wajahku. Kulirik jam di atas nakas, pukul tujuh tepat.  Aku segera mengambil tas jinjing di atas ranjang. Hari ini jadwal pekerjaanku lumayan padat, jadi aku harus datang lebih awal ke butik sebelum para makhluk sosialita itu memberondongku dengan mulut-mulut mereka nan berbisa.  Menghela napas, aku menyunggingkan sebuah senyuman. Memberi semangat untuk diriku sendiri sebelum keluar untuk menuruni tangga dan menyapa mama di dapur sebelum berangkat.  Saat sampai di anak tangga terakhir, langkahku langsung membeku dengan mulut terbuka lebar. Di depan sana, tepat di ruang makan yang menyatu dengan dapur rumah, aku bisa melihat laki-laki i***t itu duduk dengan tenang, sesekali tertawa kecil saat mama melontarkan guyonan garingnya.  Aku berdecak. Kenapa dia bisa berada di rumahku sepagi ini? Mengganggu hari baikku saja!  Aku hendak berbelok ke kanan untuk segera keluar rumah tanpa menyapa mereka sebelum suara nyaring mama menghentikan langkahku.  “Mau kabur kemana kamu? Temani nak Kaivan sarapan dulu.” Dan aku mendasah kesal. Segera menuruti perintah mama dengan enggan. Sesungguhnya aku ingin menolak, tapi mengingat apa yang bisa mama lakukan jika aku membantah perkataanya, aku mengurungkan niat. Mama bisa menjadi wanita paling cerewet sedunia jika sudah menyangkut sopan santun.  “Sarapan dulu sebelum berangkat. Nak Kaivan datang untuk mengantarmu.” Aku hanya bergumam menanggapinya, kemudian menyeret  kursi terjauh dari si bodoh dan duduk dengan tenang di sana. Malas sekali sebenarnya jika harus duduk semeja dengannya seperti ini. Tapi aku bisa apa? Membantah mama adalah hal terakhir yang ingin aku lakukan di dunia ini.  “Kenapa duduk di sini?” mama memekik dan mendorong bahuku kejam, kemudian menaruh sewadah nasi goreng hangat ke atas meja. Mama berdecak pinggang dan melotot saat melihatku bangkit dengan malas dari kursi.  “Duduk samping Kaivan.” ujarnya tak terbantah. Beliau lalu berbalik lagi menuju pantry untuk membuat teh, salah satu kebiasaannya di pagi hari.  “Mulai hari ini aku akan mengantarmu ke tempat kerja. Kamu selalu berangkat sepagi ini ya?” Kata itu langsung terlontar dari mulut Kaivan saat aku baru saja selesai mendaratkan pantatku di sampingnya. Aku meliriknya sinis, hari ini ia kembali memakai kemeja kebesaran, hanya warnanya saja yang berbeda, navy. Celana dan wajah bodohnya itu sama sekali tidak berubah.  “Tidak, Tuan. Anda tidak perlu merepotkan diri untuk menjemputku, lebih baik kau urus saja peternakan sapimu. Bukankah pagi hari adalah waktu terbaik untuk memerah s**u?” Aku menaikkan alis menyeringai, menahan tawa sekuat tenaga saat melihat wajah bodohnya memerah malu. Ia menggaruk tengkuknya salah tingkah dan mengalihkan pandangan. Dan... kenapa dia malah terlihat manis dengan tingkah bodohnya itu?  “Aku punya beberapa teman yang mengambil alih pekerjaan itu. Jadi, bisakah kita tidak mengambil topik itu saat sarapan?”  Suara Kaivan membuyarkan lamunanku. Kulihat ia menundukkan wajah sambil memainkan jari-jarinya yang terlihat panjang dan kokoh. Bagaimana rasanya jika tangan itu menggenggam jemariku? Apa akan terasa pas? Aku menggeleng. Nah kan, pikiranku gagal fokus lagi!  “Hmm... Kupikir kau mengurus sapi-sapimu dulu sebelum menjaga toko.” aku mengangkat bahu malas, kemudian mengambil nasi goreng ke piringku sendiri.  “Deandra... Nak Kaivan diambilin juga nasinya. Mama gak pernah ngajarin kamu gak sopan gitu ya!” Gerakan tanganku yang hendak menyuapkan sendok ke mulut seketika berhenti di udara. Kulihat mama memelototiku sambil menaruh poci dan cangkir teh ke atas meja. Aku menghela napas, lalu menaruh lagi sendokku dan mengambil alih piring si bodoh dengan gerakan malas.  Saat selesai menaruh sepiring penuh nasi goreng itu ke hadapan Kaivan, suara mama kembali hampir mengejutkanku, “Mama harus pergi sekarang. Nak Kaivan tolong jaga Dean ya? Dan kamu Dek, awas aja kalau kabur.” Mama melayangkan tatapan tajam padaku, lalu tersenyum lebar pada Kaivan. Mengecup pipi kananku sebelum bergerak menjauh, meninggalkanku berdua saja dengan si bodoh.  Aku melirik Kaivan yang sedari tadi menunduk dan fokus pada nasi gorengnya. “Ah, Ivan. Bisa aku meminta sesuatu padamu?”  Dia mengangguk singkat, tanpa mengalihkan tatapan. “Akan aku turuti jika aku bisa,” jawabnya pelan, masih tidak mau menatapku.  Aku menaikkan alis. “Kau tidak perlu repot-repot menjemputku oke? Lebih baik kau mengurus peternakan dan tokomu agar tidak bangkrut. Aku bisa bawa mobil sendiri.” Memikirkan lelaki aneh ini berkunjung setiap hari ke rumahku entah kenapa membuat perutku mual. Bagaimana nanti jika kita sudah menikah dan tinggal serumah? Sepertinya aku bisa mati gila menghadapi tingkahnya yang kekanakan. “Tapi...” dia menggigit bibir, hendak mengalihkan wajahnya padaku namun tidak jadi. Ia mengaduk nasi gorengnya dengan sendok sebelum menghela napas. “tapi aku calon suamimu... Jadi? Bisakah kita belajar untuk saling mengenal? Diawali dari menjemputmu misalnya?” ujarnya lagi, kali ini ia lebih memilih memandang kulkas daripada wajahku.  Lelaki bodoh ini benar-benar keterlaluan. Apa aku tidak semenarik itu untuk dilihat? Apa wajahku terlihat lebih jelek dari pada sebuah kulkas? Oh, itu melukai harga diriku.  Menghiraukan sopan santun, dengan cepat aku menarik dagunya dan mendekatkan wajahku. Jarak kami hanya sejengkal sekarang dan ia memejamkan mata dengan pipi memerah. Ya Tuhan, laki-laki macam apa yang ada di depanku ini? Kenapa dia terlihat bodoh sekali?  “Buka matamu dan lihat aku, Kaivan. Apa aku sejelek itu?” desisku tajam. Sudah cukup ia menguji kesabaranku hari ini. Ia sudah melukai harga diriku.  Perlahan, bulu mata lentik itu bergerak sebelum menampakkan bola mata biru gelap dengan sorot bersalah di balik kacamata tebalnya.  “Maafkan aku, Dean. Aku tidak bermaksud untuk...melukaimu.” Aku menggerjab, aroma mint dari mulutnya sedikit mengacaukan fokusku. Pandanganku beralih pada bibirnya yang berwarna merah alami, tidak begitu tebal dan juga tidak terlalu tipis, terlihat sangat cocok dengan wajahnya yang...baby face?  “Aku hanya... maaf, bisakah kamu menutup kancing teratas kemejamu? Aku merasa sedikit... terganggu.” Aku berkedip beberapa kali untuk mencerna kata-katanya, perlahan menurunkan pandanganku pada ujung kemejaku yang memang sengaja tidak ku kancingkan. Aku menaikkan alis bingung, apanya yang salah? Ini masih wajar kan? Lagipula aset berhargaku juga tidak terekspos dengan jelas.  Demi Tuhan, laki-laki macam apa yang sedang berada di depanku ini?  *** Aku berjalan cepat menuju butik yang telah aku kelola selama dua tahun belakangan ini, mencoba menghindari laki-laki i***t di belakangku. Kejadian di meja makan tadi benar-benar membuat mood kerjaku hancur. Kaivan sudah melukai egoku sebagai wanita. Dan oh, tentu saja aku tidak sudi menuruti perkataannya untuk mengancingkan ujung kemejaku. Ini bukan tahun penjajahan lagi please!  “Deandra. Tunggu.” kutulikan telingaku saat mendengar suara seraknya. Kemudian membuka pintu butik dan masuk. Tadi aku sengaja meninggalkannya di meja makan setelah pekataan konyolnya dan memilih pergi dengan mobilku.  Ku pikir dia memilih pulang dan tidak memperpanjang masalah ini. Tapi rupanya aku salah, dia mengikutiku sampai butik! Sialan!  “Pagi mbak Dean...” suara Ita—salah satu pegawaiku menyapa saat aku hendak memasuki ruang kerjaku. Aku hanya mengangguk singkat dan melanjutkan langkah. Tapi perkataan Ita selanjutnya membuat tubuhku membeku.  “Tadi Pak Akash datang nyariin Mbak Dean, terus sekarang dia di kafe sebelah, beli sarapan sambil nunggu Mbak Dean dan katanya mau kesini lagi.” Laki-laki sialan itu...apa tidak bosan menggangguku? Bukankah kemarin dia yang meninggalkanku dan memilih hobi naik gunungnya itu? Kenapa dia malah datang dan membuat hariku bertambah buruk lagi?  “Deandra, tolong maafkan aku...” Suara serak itu membuyarkan lamunanku tentang Akash. Kulihat Kaivan sedang menatapku dengan pandangan memohon dan napas terengah. Titik-titik keringat juga sudah mulai berjatuhan menuruni pelipisnya hingga turun ke dagu.  Yeah. Aku punya ide menakjubkan. Kaivan sepertinya tidak terlalu buruk jika didandani sedikit saja. Aku melirik Ita dengan tatapan penuh misteri. “Ah, Ita, tolong ambilkan kaus polo dan celana jeans milik Petra ya? Antarkan ke ruanganku.” Ita mengangguk tanpa banyak tanya dan menuruti permintaanku. Setelah dia pergi, aku melirik Kaivan sambil menaikkan alis menyerigai.  “Nah, Ivan, kamu ingin aku maafkan?” lelaki itu mengangguk cepat dengan wajah polos. “Ikuti aku,” ujarku lagi sambil berjalan mendahuluinya ke ruanganku.  Sekarang, tinggal memberi arahan pada si bodoh dan menunggu kedatangan sang katak gunung, Akash.  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD