BAB 2

1519 Words
BAB II   Aku mengamati penampilan si bodoh Kaivan dengan tatapan takjub. Lelaki ini terlihat lebih manusiawi dari penampilannya barusan. Ternyata tebakanku benar, Petra memang satu ukuran dengan Kaivan—yah, walaupun kaus itu terlihat lebih ketat jika dipakai Kaivan sih. “Aku tidak terbiasa dengan pakaian seperti ini, Dean. Terlalu ketat. Berapa lama lagi aku harus memakainya?” Kaivan menatapku dari balik kacamata kunonya dengan pandangan... risih? “Jangan membantah, Ivan. Kamu ingin ku maafkan tidak?” desisku tajam. Aku berjalan mendekatinya yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Kulirik lengannya yang tidak lagi tertutupi kemeja bodoh kebesaran itu. Dan yeah, dia lumayan. Tidak jauh berbeda dengan Akash yang hobi olah raga. Hey! Kenapa aku membandingkannya dengan si katak gunung? “Apa yang harus aku lakukan lagi?” Ujarnya sambil mengetuk-ngetukan jarinya ke tembok tanpa melihat ke arahku. Aku menahan tawa saat melihat wajahnya yang terlihat pasrah. Kemudian tanganku terangkat untuk mengambil kacamata anehnya. “Kau masih bisa melihat tanpa ini?” kuangkat kacamata itu di depan wajahnya. Ia menggeleng dan mengambil kacamatanya dari tanganku dan memakainya kembali. Oke, tolong ingatkan aku untuk membawanya ke optik dan mengganti kacamata sialan itu dengan model yang lebih manusiawi. Suara ketukan pintu menghentikan bibirku yang hendak terbuka. “Mbak Dean. Di tunggu pak Akash diluar.” Aku berdecak kesal. Kenapa cepat sekali si katak gunung itu datangnya? Ah, aku lupa, harusnya aku menamainya siput gunung saja supaya dia merayap lambat! Aku melirik Kaivan yang masih diam menungguku bicara. Aku memegang pundaknya dengan kedua taganku, menatap kedua manik birunya lekat.Beruntungnya aku karena memakai higheels sepuluh cm hari ini, jadi tinggiku hanya berbeda lima senti darinya. “Nanti, saat kamu bertemu Akash, jangan terlalu banyak tingkah, oke? Jalani saja peranmu sebagai calon suamiku dengan baik. Setelah itu, kamu boleh pergi dan aku memaafkanmu. Bagaimana? Mudah kan?” Aku memberikan senyum lebar terbaikku. Semoga saja Kaivan bisa menjadi anak baik untuk hari ini dan tidak mempermalukanku di hadapan Akash. Atau jika Kaivan gagal, aku akan mendapat konsekuensi di tertawakan si siput gunung itu sampai tujuh turunan! Oh, dan tentu saja aku tidak akan memaafkan Ivan seumur hidupku jika itu terjadi. Aku hendak menarik tangannya menuju pintu sebelum suara serak khasnya menginterupsi. “Deandra... Apa aku boleh bertanya sesuatu?” Ia menatapku dengan sorot... entahlah. Mungkin sedikit takut? Aku menaikkan alis, menunggunya untuk melanjutkan ucapannya. “Petra itu... siapa? Kenapa kamu berikan pakaiannya padaku?” Aku membutuhkan waktu dua detik sebelum tawaku meledak. Kenapa Kaivan bisa sepolos ini, Ya Tuhan? Dan kenapa dia baru bertanya saat pakaian itu sudah melekat sempurna di tubuhnya? Aku kira karena ia terlihat dekat dengan mama, dia sudah tahu siapa itu Petra. Tapi ternyata? Nol besar. Setelah puas meluapkan tawa, aku segera menarik tangannya. Menghiraukan wajah polosnya yang semakin terlihat bodoh. Tidak, aku tidak akan menjawab pertanyaan Ivan. Biarkan itu menjadi urusan mama nanti. *** “Jadi? Ini calon suamimu?” Itu adalah pertanyaan pertama yang diucapkan Akash saat aku datang bersama Kaivan dari ruanganku. Aku menaikkan alis, kemudian merpatkan tubuhku pada si bodoh. “Ya, dan aku tidak membutuhkanmu lagi, Akash Ganendra. Jadi? Bisa kamu pergi sekarang?” Yah, memang harus kuakui jika Akash selalu bisa tampil menawan dengan pakaian apa pun, bahkan hanya dengan kaus navy dan celana gunung. Lelaki sialan ini seperti punya semacam sihir ditubuhnya untuk menjerat wanita mana pun yang ia inginkan, termasuk aku. Ah, tapi itu dulu. Sekarang bahkan aku muak sekali melihat wajah sombongnya itu! Akash terdiam. Mata tajamnya mengamati penampilan Kaivan dengan pandangan menilai—hampir mencela. Sudut bibirnya terangkat dan ia mengulurkan tangannya pada Kaivan. “Aku Akash,” ujarnya memperkenalkan diri. Tanpa sadar aku menegang di tempatku, mencengkeram lengan Ivan semakin erat. Ya Tuhan, jangan sampai si bodoh itu menggoyangkan tangannya sama seperti saat berkenalan denganku kemarin! Seperti adegan slow motion, Kaivan balas mengulurkan tangan. Dan saat itu juga napasku tercekat. Ku mohon Tuhan, jangan biarkan Ivan bertindak bodoh! “Kaivan Wijaya,” ujarnya sambil tersenyum lebar, lalu menurunkan tangannya kembali tanpa banyak tingkah. Aku menghela napas lega. Syukurlah. “Ah, bisakah kita duduk dan berbincang sebentar?” Akash melirik satu set sofa berwarna maroon yang menganggur di sudut ruangan. “Tidak ada acara berbincang-bincang, Akash. Kaivan dan aku sedang sibuk. Jadi sebaiknya kamu pergi saja,” ujarku cepat, melayangkan tatapan tajam pada Akash dan menyeret lengan Kaivan agar segera pergi dari sini. Tapi gerakanku seketika terhenti saat si bodoh menahan tanganku. Aku melotot marah saat manik birunya bersinggungan denganku. “Aku tidak sibuk kok, sepertinya bicara sebentar tidak apa-apa,” ucapnya polos. Ia lalu melirik Akash yang sudah tersenyum menyerigai penuh kemenangan. Sialan! Aku harus segera menyelesaikan deadline rancanganku hari ini juga dan si bodoh ini tidak bisa diajak kerja sama. Sebodoh apa dia sampai tidak paham dengan tatapan mataku? Aku bisa saja meninggalkan mereka berdua di sini, tapi mengingat kelakuan polos Kaivan yang diatas batas wajar, mau tak mau aku harus ikut terjebak di sini, mengamati sambil mengingatkan Ivan jika sudah bertindak kelewat batas. Aku menyendekan punggung dan menghela napas lelah. Di sampingku Kaivan duduk dengan tenang dan menggenggam tangan kiriku di atas pahanya. Entahlah, aku tidak tahu apa yang sedang berada di dalam otak polos Kaivan saat ini, dia bisa bersikap santai karena aku belum memberitahunya siapa itu Akash. “Wah, sepertinya kalian terlihat dekat. Sudah pacaran berapa lama?” Akash bertanya santai sambil melirikku sinis. Rupanya dia ingin balas dendam karena aku menolak untuk menunggunya dua tahun lagi tanpa mau memberikan alasan yang lebih spesifik. Aku sudah 23 tahun dan Akash sudah 30 tahun. Harus berapa lama lagi aku harus menunggunya? Sampai dia bisa memindahkan gunung semeru ke Jakarta? Oh, sayang sekali, aku tidak sesabar itu untuk melakukannya. “Eh,” Ivan menggaruk tengkuknya lalu menatapku seolah meminta jawaban, yang ku balas pelototan tajam, jangan sekali-kali berkata jujur padanya Kaivan! “Kami baru saja berkenalan kemarin,” lanjutnya, lagi-lagi dengan nada polos. Ya Tuhan, jujur sekali anak ini! Entah aku harus takjub atau menggelengkan kepala. “Ah, bukan! Kaivan hanya bercanda, kita sudah mengenal sejak kecil kok. Ya kan Van?” aku menyenggol lengannya meminta persetujuan, dan ia malah memiringkan kepala dan menatapku polos. “Tapi Dean, kita memang... Ah!  Kenapa kamu menginjak kakiku?” Kaivan segera menunduk untuk memegang kakinya yang baru saja aku injak. “Kaivan memang suka bercanda orangnya,” aku tertawa aneh sambil mengelus punggung Kaivan yang masih menunduk. Gerakan tanganku terhenti saat mendengar tawa lepas khas seorang Akash. Aku meliriknya yang kini sedang memandangku dengan sorot geli. “Aku sangat mengenalmu, Deandra. Sepertinya... Aku masih punya kesempatan. Iya kan?” *** “Apa sih! Lepas! Gue gak mau nikah sama cowok bodoh kayak lo!” bentakku marah sambil melepaskan cekalan tangannya. Dan jangan salahkan aku jika kata-kataku berubah kasar ketika marah. Aku menghiraukan dirinya yang kini masih sibuk mengikutiku dari belakang. Untungnya suasana butik masih sepi karena memang belum waktunya buka. Dan Ita sudah pergi lima menit lalu untuk membeli sarapan. Setelah perkataan Akash yang terakhir, laki-laki sialan itu langsung beranjak pergi dengan serigai kemenangan yang terpatri jelas di wajahnya. Dan aku yakin sekali jika siput gunung itu tidak akan berhenti menggangguku setelah ini. “Dean, aku benar-benar tidak tahu apa kesalahanku,” ujarnya lagi. Kali ini dia sudah berani menyentuh lenganku. Aku menghela napas. Tidak jadi membuka pintu ruang kerjaku dan berbalik menatap Kaivan. Lagipula, ini bukan sepenuhnya kesalahan Kaivan. Seharusnya aku memberitahu lebih dulu siapa itu Akash dan apa yang harus Ivan lakukan untuk menghadapinya. “Sudalah Ivan, sekarang lebih baik kau pulang. Tokomu belum kau buka kan? Bagaimana jika sudah ada pelanggan yang mengantri?” kali ini aku melembutkan ekspresi wajahku. Kaivan ini...aku belum sepenuhnya paham bagaimana wataknya. “Ku mohon, ijinkan aku untuk mengetahui apa salahku dan biarkan aku memperbaikinya,” ujarnya  dengan manik biru yang menghujamku dengan sorot memohon. Kali ini ia tersenyum kecil dan kembali menarik tanganku dengan gerakan pelan. Ia melihatku dengan raut terluka yang terlihat polos, pun dengan senyumnya yang terlihat pedih. Dan entah kenapa, hatiku seperti tercubit saat ini. Sialan. Apa lelaki ini selalu memasang topeng polos pada semua orang agar keinginannya terpenuhi? Kaivan itu~ berbeda dengan caranya sendiri. Sepertinya, dia tipe laki-laki yang pantang menyerah sebelum mendapatkan apa yang ia inginkan. Entah aku harus bangga atau malah waspada dengan karakter orang seperti ini. Bisa saja dia seorang psikopat yang sedang menyamar dengan topeng polos. Hal itu mungkin saja terjadi kan? Aku mengamati wajahnya sekali lagi. Ah, sepertinya pikiranku terlalu berlebihan. Lihatlah binar mata itu, tampak polos dan menggemaskan! Sepertinya aku terlalu banyak menonton film action. “Kamu tidak salah apapun, Ivan. Sekarang pulanglah,” ujarku sambil mendorong bahunya menjauh. Ia menatapku dalam, seolah mencari jawaban dari sana. “Kamu yakin?” ujarnya memastikan. “Iya, bodoh. Sekarang pergi atau aku tidak akan memaafkanmu!” kataku mengancam. Ia berkedip polos sebelum tersadar dan mengukir sebuah senyuman. Manis. “Terima kasih, Dean. Besok aku akan menjemputmu lagi. Sampai jumpa,” ujarnya dengan nada ceria. Ia lalu melambaikan tangan dan beranjak pergi. Aku menatap punggungnya dalam diam, kemudian menghela napas, dan aku tahu jika hari-hariku akan semakin sulit setelah ini. Laki-laki itu benar-benar susah ditebak dan selalu bisa membuatku gemas dengan wajah dan tingkah polosnya. ***    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD