Guci Pecah

1142 Words
“Theo, bagaimana perkembangan kerja sama kamu dengan keluarga Arkatama?” Theo yang tengah duduk sembari melamun di serambi belakang rumahnya sedikit tersentak oleh suara berat ayahnya tersebut. Dia menoleh ke belakang, melihat Gio Rahandika menatap ke arahnya setelah duduk di kursi kosong di hadapannya. “Papa lihat, sudah beberapa hari, belum ada perkembangan apa pun, eh?” kata Gio lagi. Rahang Theo mengencang. Itulah yang tengah dia pikirkan sedari tadi. Usia Theo sudah menginjak angka 24 tahun. Dia sudah lulus dari pendidikannya dan siap untuk bekerja di perusahaan ayahnya, menjadi seorang pewaris yang seharusnya seperti yang sang ayah inginkan. Tapi Gio, seperti biasa, tidak suka membiarkan anaknya berjalan di jalan yang mudah-mudah saja. Beberapa minggu lalu, Gio memberikan tantangan kepada putra sulungnya itu, bahwa dia harus berhasil mendatangani kerja sama dengan keluarga Arkatama, rival dari keluarga Rahandika. Gio menyadari, bahwa dari pada mereka terus-terusan bersaing, akan lebih baik kalau mereka bekerja sama. Karena ada begitu banyak keuntungan yang bisa kedua belah pihak peroleh dari kerja sama itu. Namun, semenjak Rayhan Arkatama jatuh sakit, perusahaannya diurus oleh istri keduanya, Puri Arkatama. Dan Puri bukanlah wanita yang akan dengan mudah dibujuk. Wanita itu begitu keras kepala, walau tidak sekeras kepala suaminya yang tengah jatuh sakit itu. Itulah kenapa Gio memberikan tantangan tersebut kepada putranya, Theo. Kalau Theo berhasil mengikat tali kerja sama dan persahabatan kental dengan Keluarga Arkatama, maka barulah Gio akan sepenuhnya mengakui putranya itu sebagai ahli warisnya dan mulai untuk bekerja di perusahaannya. Tapi sampai hari ini, belum ada perkembangan apa pun. “Aku sedang mengusahakannya.” Itulah selalu yang menjadi jawaban Theo, tidak pernah berubah. Gio mulai merasa khawatir. Apa benar-benar sesusah itu? “Kau harus cepat, Nak. Kalau kau ingin secepatnya juga menduduki kedudukanmu di perusahaan,” kata Gio. Theo mengangguk samar. Kemudian menatap ke arah sang ayah dengan pandangan rumit. “Papa,” katanya, memulai. “Hm?” sahut Gio sembari menyeruput tehnya. “Ada satu hal yang belum aku beritahukan padamu,” lanjut Theo. “Dan apa itu?” Gio menatapnya penasaran. “Puri Arkatama memberikanku sebuah syarat. Kalau aku berhasil memenuhi persyaratannya itu, maka dia akan langsung tanda tangan.” “Lantas? Apa persyaratannya sesulit itu?” Theo mengangguk, lalu mengedikkan bahu, sembari mengalihkan pandangnya lagi. Dia menghela napas. “Puri ingin aku menemukan putri tirinya, anak dari istri pertama suaminya yang hilang. Beberapa waktu lalu dia mendapat informasi, entah dari mana, bahwa anak itu masih hidup.” “Benarkah? Aku pernah mendengar tentang putri Rayhan ini. Tapi kalau memang benar anak itu masih hidup, bukankah usianya sudah dewasa sekarang?” “Dia masih remaja, tapi sikapnya memang sangat dewasa.” Gio menaikkan sebelah alisnya. “Kau sudah berhasil menemukannya? Lalu …?” Theo menatap ayahnya lagi. “Puri ingin aku menikahinya.” Gio membelalak terkejut. “Dia ingin kau … apa?!” Theo menghela napas. “Rayhan Arkatama mungkin hidupnya tidak akan lama lagi. Keinginan terakhirnya, adalah bertemu dengan putrinya itu. Puri bilang keadaan Rayhan membaik semenjak kabar putrinya masih hidup dia dengar. Rayhan mungkin bisa hidup lebih lama, tapi tidak ada yang bisa menjamin.” “Lalu kenapa tidak Puri saja yang mencari anak itu? Kenapa harus dirimu? “Itulah masalahnya, Papa. Puri tidak bisa menerima anak itu begitu saja. Papa tahu bagaimana tabiat wanita itu, dia sangat menjunjung tinggi harga dirinya. Dia ingin aku memberikan perlindungan kepada putri tirinya itu, yaitu dengan cara menikahinya.” “Lalu kamu setuju?” Theo mengedikkan bahunya seolah bersikap tak acuh. “Ini hanya pernikahan bisnis, aku tidak masalah. Selama kesepakatan itu bisa aku dapatkan.” Mendengar itu, Gio memberikan putranya tepukan pelan di bahu dan senyum penuh kebanggaan. “Kalau begitu, lakukanlah, Nak,” katanya. Theo tidak terkejut akan respon ayahnya tersebut. Kebanyakan pernikahan di keluarganya ini adalah hasil perjodohan antara dua keluarga yang akan saling menguntungkan. “Tapi masalahnya adalah, gadis itu terus-terusan menolakku.” Gio langsung terbahak dengan keras kala mendengarnya. “Kau mungkin kurang usaha, Nak.” Theo mengalihkan pandangnya lagi dan memberikan tatapan tajam pada cairan hitam dari kopi yang menggenangi cangkirnya. Andai ayahnya tahu bagaimana sosok putri Rayhan Arkatama itu. Ran Sidra sangat mirip dengan ayahnya, begitu hati-hati dan keras kepala. Dia tidak seperti wanita kebanyakan yang selama ini berada di dekat Theo. Kalau ada satu kata yang bisa menjabarkan sosok Ran, maka jawabannya adalah ‘rumit’. Ego Theo sudah cukup tersentil beberapa kali karena penolakan yang gadis itu berikan. Theo pikir dia akan bisa lebih mudah mendapatkan hati gadis itu karena kehidupannya yang tengah dilanda kesusahan. Tapi Ran begitu gigih. Dan karena kegigihannya itu juga ikut menyulut semangat Theo untuk tidak menyerah. Hari ini, adalah hari di mana yang Theo janjikan kepada Ran, bahwa dia akan mengajak Ran keluar bersamanya. Atau lebih tepatnya, sebuah kencan. Theo berpikir bahwa mungkin sebaiknya dia mulai merubah taktiknya. Sekretarisnya sendiri, sekaligus Tangan Kanan-nya, yang juga merupakan sahabat dekatnya, memberikan Theo saran itu. Dan memberi tahu Theo juga bahwa apa yang selama ini telah dia lakukan pada gadis incarannya sangat salah dan tidak manusiawi. *** Siang ini, restoran dipadati oleh para pengunjung yang datang untuk makan siang. Pada hari biasa tidak seramai ini, tapi khusus hari ini, saat Ran tengah tidak enak badan, suasananya begitu ramai. “Ran! Ayo cepat antar ini ke meja 15!” teriak seniornya. Ran yang baru saja hendak istirahat sejenak karena kepalanya yang sudah terasa begitu pening, kembali bangkit dan menyahuti panggilan seniornya itu. Salah memang baginya kalau berpikir bahwa dia bisa istirahat. Tapi kepala Ran sudah terlalu sakit. Dia pun pergi ke meja 15 untuk mengantar makanannya. Beberapa saat kemudian, pengunjung mulai pergi. Karena jam makan siang juga akan segera berakhir. Tinggal beberapa meja yang masih terisi. Dan kini Ran ditugaskan untuk membersihkan meja-meja yang tidak lagi terisi. Saat Ran sedang mengelap meja dan membawa nampan berisi tiga gelas air minum, sakit di kepalanya semakin tidak tertahankan. Dia pergi ke pinggir ruangan, berniat untuk duduk sejenak di tempat yang seniornya tidak bisa lihat. Namun saat Ran hendak melakukannya, dia tidak tahan dan semua darah di kepalanya seolah langsung mengering. Ran jatuh pingsan, tubuhnya menyenggol meja dan menjatuhkan guci pajangan di sana. Suara pecahan guci dan gelas, serta meja yang tersenggol dan tubuh yang jatuh, mengejutkan hampir semua pengunjung dan para pelayan. Tepat di saat itu, pintu restoran terbuka. Seorang pria berjas dengan buket bunga mawar merah masuk ke dalam, pandangannya langsung mencari-cari dan ikut menyadari keributan di sana. “Ran pingsan!” seru salah seorang pelayan yang panik. “Ayo angkat! Ayo angkat!” Theo, yang sesaat berada di sana mematung, dengan cepat menyadari situasi tersebut. Dia berlari ke arah kerumunan dan mendorong pelayan pria dan seorang pengunjung pria yang berusaha untuk mengangkat tubuh Ran. “Biar saya saja!” kata Theo dengan nada suara dingin yang memerintah. Mereka semua pun menyingkir, membiarkan Theo mengangkat tubuh mungil gadis itu ke dalam gendongannya. *** [to be continued]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD