"Sudah lima tahun lewat, jadi kamu adalah?"
Yang ditanya diam saja, matanya kosong menatap lurus ke arah tembok sambil memeluk kaki sehingga lututnya bisa digunakan untuk menopang dagu. Rasanya terlalu gelap untuk mendefinisikan tentang siapa dirinya. Dan terlalu malas untuk mengakui karena fakta-fakta yang menari-nari di otak hanya menunjukkan kalau dirinya adalah seorang pecundang.
"Kamu adalah...?" Aku mendesaknya.
Dia mendongak, wajahnya terlihat seperti sedang berpikir, "Umm... Sampah?"
Aku terhenyak, bisa-bisanya tubuh sebugar ini memiliki jiwa yang ringkih. Apakah pepatah men sana in copore sano sudah tidak berlaku lagi?
"Mau jalan-jalan ke taman? Kita cari ketoprak paling enak di komplek ini!"
"Gak mau!" ia kembali menenggelamkan wajahnya di lutut.
Aku masih tidak akan menyerah, kali ini ia harus keluar dari rumah. Sudah terlalu lama ia mengambil waktu untuk murung.
"Kenapa?"
"Takut dikarungin pemulung."
"Kan aku pemulungnya, aku yang bawa kamu!"
Dia mendongak lagi, menatap ke arah ku dengan ekspresi yang tidak terlalu peduli.
"Kenapa kamu mau jadi pemulung?"
Aku menatap matanya lekat-lekat, meraih tangannya dan berkata "Aku mau buktiin diri kamu punya nilai, seengganya buat diri aku sendiri."
Dia menarik tangannya dari genggamanku, kemudian menghela napas dalam-dalam. Tak lama ia berdiri, memakai jaketnya. "Kalau gitu bawa aku, aku mau ketoprak tidak pedas dan ekstra kecap!"