Hati ini tidak akan pernah lelah, meski sering sekali rasanya ia payah saat menghadapi betapa dinginnya dirimu. Senyum ini akan terus merekah, meski selalu saja kau abaikan.
Guyonan ini akan tetap kubawakan dengan ceria, meski sulit sekali membuatmu tertawa. Tangan ini akan selalu siap sedia, jika mungkin saja kau butuh sebuah pelukan, atau sekedar membuatkanmu cokelat panas agar kau bisa menenangkan diri dari rutinitasmu yang begitu pelik.
Telinga ini pun tak akan pernah letih untuk mendengar keluhmu. Biar itu sebuah bentakan karena kau sedang kesal dengan pekerjaanmu aku tak akan gentar. Biar itu merupakan sebuah tangis, aku akan menyimpan tangismu agar tak ada yang mengejekmu lemah. Oh mungkin terlalu berat untuk diutarakan, kalau begitu habisi saja cokelat panasmu. Apa kau ingin aku buatkan semangkuk mie rebus juga, sayang?
Aku mungkin belum mengerti akan duniamu, kemana arahmu. Tapi betapa ingin aku menjadi kompasmu saat kau kehilangan utaramu, menjadi penunjuk jalan atau cukup memegangimu agar tidak jatuh dalam langkahmu.
Kamu bosan denganku? tak apa sayang. Aku bisa menghilang sebentar, mencari kesibukan lain meski artinya setiap detik aku sibuk tanpamu itu membunuhku. Tak apa, bosan pasti tapi aku mohon jangan saling menghilang.
Namun, aku bertanya-bertanya pantaskah aku mempertahankanmu? Tentu saja pantas. Aku meringis merasa menjadi wanita yang bodoh mempertanyakan ini. Ya, aku wanita yang bodoh sehingga sudah sebegini jelasnya arah hubungan kita masih saja aku bertekad tidak akan menyerah kepadamu.