Acceptance

470 Words
Malam itu adalah malam terburuk ku mungkin. Bukan karena kedatangan sebuah mimpi buruk, melainkan karena sebuah kenyataan yang sangat aku harapkan hanya sebagai mimpi buruk saja. Seperti tersambar petir yang sangat dahsyat, dia memutuskan hubungan begitu saja.  "Maaf" "Kenapa?" "Udah gak bisa" "Kenapa?" "Aku udah gak kuat lagi" "Okey, aku perbaiki semuannya ya?" "Udah gak bisa lagi" "Kenapa?" "Udah ada orang lain, aku gak bisa bohongin hati aku" Panggilan terputus. Dengan tangan bergetar, mata menatap kosong seluruh kamar. Nyawa seperti dicabut begitu saja. Dia ingat-ingat lagi apa yang telah ia perbuat sampai kekasihnya itu sampai tidak kuat lagi untuk menyudahi semuanya.  Seminggu sudah aku melalui semuanya dengan tangis. Bagaiaman tidak? Rutinitasku adalah dia dan kita baik-baik saja akhir-akhir ini, tidak sedang terlibat percekcokan atau bagimana. Aku ingat malam sebelum perpisahan itu muncul, dia mendatangi indekosku sepulang kerja. Memohon untuk jangan tidur dulu, karena ingin memberikan sebuah cemilan untuk menemani ku belajar persiapan UAS. Aku masih ingat senyuman, belaian dan pelukannya malam itu sembari dia mengucap "Semangat ya!" Sorotan matanya masih sangat penuh cinta, apa aku saja yang tidak menyadari?  Hari-hari berikutnya aku jalani dengan sangat berat, sangat berat. Tapi aku bosan terpuruk, aku mencoba mengesampingkan semua kemarahan, dan ketidakterimaan kini bersarang di lubuk hati. Aku tidak ingin perasaan ini mengganggu semuanya, sehingga aku makin hancur jadinya.  Sampai suatu hari aku mulai bisa beradaptasi, namun tetap saja sedih jika teringat kembali. Sempat aku meminta dan bertanya apakah bisa diperbaiki? Dia tetap pada pendiriannya, semuanya sudah tidak ada lagi yang bisa diperbaiki. Bagiku perjuangan mempertahankan hubungan ini sudah cukup. Saat itu, saat kedua kalinya aku ditolak untuk tetap melanjutkan dan memperbaiki semuanya aku membenamkan dirinya di kasur, menangis semalaman. Hatinya masih tidak terima. Sampai esoknya aku terbangun, melihat refleksi wajahku di cermin. Mata bengkak menghitam, ia bahkan baru ingat ternyata selama 4 hari ia tidak makan melainkan hanya minum saja. Dengan gontai aku bergegas mandi membersihkan diri, luka itu masih sangat terasa namun dirinya tidak ingin terpuruk lebih lama. Dengan segenap upaya, ia mencoba bangkit walau terkadang ia terjatuh kembali dalam kesedihan. Sampai akhirnya aku tidak sengaja bertemu dengannya, saat itu mata kami bertatapan canggung. Ada sebuah makna yang dapat aku artikan dari tatapannya, hingga akhirnya hati ini membuat keputusan dengan sendirinya. Bukan masalah siaoa yang menang, siapa yang kalah atau siapa yang b******k, siapa yang dikhianati. Memang sudah tidak bisa, aku paham mungkin semuanya serba salah bagi dia, dan memang ini satu-satunya jalan terbaik. Aku sudah sangat dan benar-benar paham setelah melihat sorot mata itu. Dulu kita juga saling menyayangi, baik aku atau pun dia pasti sama-sama tidak ingin melukai satu sama lain. Dia mungkin sudah berusaha memperbaiki semuanya, mungkin jauh sebelum aku sakit dia sudah sakit duluan dan bingung.  Baiklah, cinta terakhir yang bisa aku buktikan untuk dia adalah aku kini memilih menerima dan mengerti apa keputusannya, dan melepaskan segalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD