Mengobrol

1155 Words
Morgana High School memiliki halaman belakang yang luas dan masih berupa lahan kosong, belum ada perencanaan apa-apa mengenai lahan itu akan dibangun apa, yang jelas, saat ini tanah kosong itu dipenuhi rerumputan dan banyak batu berukuran besar. Terdapat beberapa pohon yang juga berukuran besar sehingga membuat sebagian daerah sana rimbun oleh daun-daun dari pohon yang menaungi. Daerah itu tampak sepi dikarenakan memang tidak pernah terjamah oleh siapa pun, mengingat halaman belakang dan samping bangunan sekolah terhubung langsung dengan hutan, maka tidak ada hal menarik yang bisa dilihat sehingga wajar saja apabila tempat ini sepi. Apalagi di sana memang jelas tidak ada apa-apa selain tanah kosong yang memiliki banyak pohon di sekitarnya. Tentu saja itu bukan tempat yang bagus dan menarik untuk dikunjungi. Di atas sebuah batu besar, keduanya duduk memandang daerah pepohonan. Bevrlyne melepaskan jaket lalu menaruhnya di sampingnya, menjemur kedua jaket hitam itu. Tak lupa pula ia melepaskan ikatan rambutnya. Untuk beberapa lama, mereka tidak mengatakan apa-apa seolah masing-masing dari keduanya sedang terlarut dalam pikiran masing-masing, tentu saja yang sedang mereka pikirkan adalah kejadian yang terjadi beberapa waktu lalu di toilet. Velgard merasa bahwa ini semua adalah kesalahannya, ia tidak memperhatikan adiknya lebih baik lagi. Padahal ia sudah tahu bahwa gejala-gejala yang memungkinkan kekuatan besar itu muncul sudah terlihat. Ia tidak sadar sudah menyalahkan diri sendiri, ia tidak ingat bahwa dirinya juga hampir lepas kendali, emosinya meluap dan kemungkinan besarnya apabila tidak dihentikan waktu itu maka situasinya akan sama persis seperti yang Bevrlyne alami. Bevrlyne sendiri saat ini merasa takut terhadap kekuatannya sendiri, ia merasa bahwa yang kali ini muncul benar-benar berbahaya. Kekuatan ini bukan hanya keluar tanpa kendali dan begitu besar, tapi yang ini juga sampai mengubah karakter dan kepribadiannya, ia tiba-tiba saja berubah menjadi sosok berbeda, sosok yang sudah seharusnya tidak terdapat pada dirinya. Keheningan itu hanya dibuyarkan oleh suara dedaunan yang tertiup oleh angin tenang, pohon-pohon bergerak pelan ketika angin berembus. Matahari tampak bersinar begitu cerahnya. Velgard yang merasa bahwa mereka sudah cukup bungkam berinisiatif untuk memulai percakapan. “Apa itu?” tanya Velgard sambil menunjuk jaket Bevrlyne. Jarinya tertuju pada lendir telur kodok yang masih menempel. “Telur kodok.” Bevrlyne membalas dengan acuh tak acuh, ia menyelonjorkan kakinya. “Menjijikkan.” Tatapan Velgard beralih ke sisi lain setelah memasang ekspresi jijik. Tapi Bevrlyne tak mau repot-repot untuk membalas perkataan saudaranya, ia malas dan tak mau membahas apa yang terjadi di kelas biologi. Terlebih ada yang jauh lebih penting untuk dibahas daripada kejadian itu, sesuatu yang harusnya mereka katakan sejak sekian lama. “Aku tahu, aku lupa membersihkannya gara-gara pengganggu itu.” “Menyebalkan, ya.” Velgard sengaja tidak membahas langsung mengenai apa yang terjadi. Meski begitu, Bevrlyne tahu bahwa saudaranya penasaran dengan apa yang telah dirinya lakukan, mala dari itu ia memutuskan untuk memulai. “Vel, apa yang terjadi pada kita?” tanya Bevrlyne, ia yang pertama kali memulai percakapan itu. Kakinya ditekuk, kedua tangannya ditaruh pada lutut. Velgard beralih posisi menjadi tiduran, ia menggunakan tangan kiri sebagai bantalan dan tangan kanan sebagai pelindung mata dari sinar matahari. “Mungkin akan diskors atau dikeluarkan. Aku hendak memukul wanita penyihir di kelasku. Kita mengalami nasib yang sama.” Velgard membalas dengan tak peduli. Tampaknya dia sudah menyerah terhadap takdir yang akan mereka alami setelah apa-apa saja yang telah diperbuat. Tak ada gunanya bersikap begini dan begitu, sudah pasti mereka akan mendapat hukuman yang tidak ringan. Dan apa yang dirinya katakan bukanlah hal yang dimaksudkan oleh Bevrlyne. Entah pura-pura tak tahu atau memang dia salah mengartikan. “Bukan itu maksudku, aku tahu apa yang akan terjadi padamu setelah semua terjadi.” Bevrlyne menggeleng karena bukan hal itu yang menjadi topik percakapannya, ia tak membahas hal itu karena jelas dan pasti jika apa yang telah diperbuatnya dan Velgard akan mendapat konsekuensi yang besar. Ini mengenai hal lain. “Hanya saja, yang kupertanyakan adalah kenapa kita bisa berlaku seperti ini? Apa yang terjadi pada tubuh kita?” Ia menyambung dengan pembahasan yang selama ini mereka sepakati tanpa terucap untuk menghindari membahas mengenai topik ini. Velgard tak langsung memberikan balasan, ia beranjak duduk lalu memandang lurus ke depan, kaki kanannya ditekuk ke atas sampai mendekati dagunya. “Aku juga tak tahu.” Hanya itu balasannya, kalimatnya jelas membuat Bevrlyne tak puas, ia hanya menghela napas saja. Velgard beralih memandang Bevrlyne. “Kenapa kau menghajar wanita itu di kamar mandi?” tanyanya. Agak penasaran dengan apa yang terjadi tadi. Untuk membuat kekacauan seperti itu, diperlukan alasan yang kuat dan cukup masuk akal. Bevrlyne tentu sudah menunggu pertanyaan ini diajukan padanya. Tentu ia akan memberitahukan semuanya dengan jujur. “Toilet.” Gadis itu mengoreksi. Bahkan di dalam sana tak ada ruang untuk mandi, kenapa saudaranya menyebut itu kamar mandi? “Itu maksudku.” Bevrlyne menyentuhkan dagu pada lutut sambil memeluk lutut itu sendiri. Tatapannya tertuju ke bawah. Ia menggeleng singkat tanda tak mengerti dan tak tahu menahu mengenai perbuatannya. “Aku tak tahu. Hanya saja ... aku merasa sangat marah dan tiba-tiba aku tak menjadi diriku lagi.” Ia berucap pelan. “Semua terjadi begitu saja, meski tahu bahwa yang kulakukan tidaklah benar, tapi aku merasa suka melakukannya, aku tidak ingin berhenti, malah rasanya aku masih belum puas.” Bevrlyne menceritakan apa yang dirinya rasakan. “Aku merasa berapi-api dan merasa ingin melukai juga menghancurkan segalanya pada saat itu.” “Sama sepertiku,” pikir Velgard setelah mendengar pengakuan itu. Velgard sendiri merasakan hal yang sama ketika beberapa waktu lalu dibuat marah oleh Mrs. Jordan. “Itu menakutkan.” Velgard hanya berkomentar sebatas itu saja. Ia tidak mengatakan hal lebih, bahkan tidak repot-repot untuk menceramahi Bevrlyne. Mendengar balasan itu, Bevrlyne hanya mengangguk. Ia senang bahwa saudaranya paham dengan situasi saat ini, paham karena tidak banyak bicara omong kosong padanya, tidak juga sampai marah-marah padanya. “Bagaimana denganmu?” balas Bevrlyne. Ia memang sudah menebak bahwa saudaranya itu juga memiliki kekuatan yang sama sepertinya, ia ingin tahu apakah ada kesulitan atau ada sesuatu yang dialami oleh kakak laki-lakinya ini. “Untuk hari ini, kasusnya mirip denganmu. Tapi yang ingin kuhajar adalah si penyihir itu.” Velgard membalas dengan santainya. “Apa?” Bevrlyne tak bisa untuk tak terkejut saat mendengarnya. Ia bahkan seketika menoleh memandang padanya. Melihat ekspresi Velgard, Bevrlyne tahu bahwa saudaranya ini tidak sedang bercanda atau berbohong padanya. “Tentu saja aku tak sempat melakukannya, Jace dan Edgar sudah lebih dulu menahanku. Setidaknya aku lolos dari masalah besar yang akan menimpaku.” Velgard melanjutkan membuat Bevrlyne kembali memandang ke depan, ia menarik napas lalu menggelengkan kepala. “Kau gila, aku tak menyangka itu.” Velgard mengangguk mengiyakan. Soalnya ia juga sama-sama tak mengira bahwa dirinya akan berani berlaku demikian. “Aku juga sama, aku tak pernah berharap akan memiliki keberanian berteriak padanya lalu mengepalkan tangan untuk meninjunya.” “Kenapa kau mau memukul Mrs. Jordan?” tanya Bevrlyne, semua tahu siapa yang mendapat julukan sebagai “penyihir wanita” di Morgana High School, itu adalah guru killer yang biasa mempersulit kehidupan murid di kelas matematika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD