Velgard berada di kantin, setelah dirinya diusir dari kelas, ia pergi ke kantin karena tiba-tiba perutnya kosong. Ia tak membeli apa pun, sebagai gantinya, kotak makan siangnya ia buka dan isinya disantap dengan lahap. Tak peduli mau dianggap apa, bahkan orang Jepang masih melakukan budaya membawa bekal ketika memasuki sekolah atas. Kenapa dia tak boleh?
Selama sisa waktu ia habiskan berdiam diri di sana untuk memikirkan banyak hal, terutama bagaimana cara meyakinkan ibunya untuk mengizinkan dia main football nanti.
Ia tak bisa melewatkan yang satu ini, skor terakhir harus dibalas. Pertandingan yang terakhir ia kalah oleh poin touchdown, padahal kedua tim memiliki poin yang saling mengejar.
Kali ini Velgard tak akan mengulangi hal yang sama dan ingin memberikan balas dendam yang bagus pada tim musuh. Tapi bagaimana caranya? Ia terancam kena skors akibat apa yang hendak dirinya lakukan.
Seharusnya dia memang tidak boleh berurusan dengan Sarah Jordan. Apabila ada sedikit kesalahan, jangan bersikukuh atau bahkan sampai melawan, yang ada adalah meminta maaf, berusaha memperbaiki lalu memohon dengan halus. Dengan cara seperti itu, ada kemungkinan hukuman yang diterimanya akan ringan, lain halnya ketika melakukan perlawanan seperti tadi, hasilnya adalah masalahnya malah bertambah, hukuman yang di terimanya menjadi lebih berat dari yang seharusnya.
“Dan kenapa aku ingin melakukannya? Kenapa aku ingin menghajar wanita penyihir itu?” Setelah pikirannya agak tenang, Velgard sadar dan tak mengerti dengan apa yang beberapa waktu lalu.
Dia tak bisa memikirkan hal-hal yang mungkin saja terjadi, tak bisa menyatakan jika dirinya memiliki kepribadian ganda dan sering berhalusinasi.
“Seharusnya aku tak pernah mengacau di sekolah. Ini akan membawa masalah pada ibu. Aku benar-benar ceroboh.”
“bagaimana bisa aku semarah itu? Sekesal apa pun aku pada seseorang, semurka apa pun aku pada Mike, tak pernah ada dorongan untukku melakukan tindakan kriminal.” Velgard bergumam sambil kemudian memukul meja pelan.
“Apa yang terjadi padaku? Tiba-tiba saja emosiku sangat meluap, ini benar-benar tidak normal.”
Velgard merasa tak percaya bahwa dirinya bisa berubah, bahwa dirinya bisa bertingkah seperti itu. Ia selama ini tidak pernah melakukan hal-hal yang tak diinginkan, bahkan tak pernah memukul seseorang.
Mike, sosok pria yang dirinya paling benci sekalipun tidak pernah dirinya hajar. Lalu apa yang terjadi tadi? Ia hendak melayangkan pukulan pada seorang guru wanita. Mungkin saja tingkah dan apa yang guru itu lakukan memang menyebalkan, tapi selama ini emosi Velgard selalu terkendali ketika berhadapan dengannya.
Sungguh, Velgard sendiri tidak tahu dengan apa yang dirinya alami. Ia tidak bisa menjelaskan kenapa dirinya bisa seperti itu. Ia tidak bisa memberikan jawaban dan penjelasan apabila ada siapa saja yang bertanya padanya tentang perubahan yang dirinya alami.
Dalam pemikiran yang tak kunjung mendapatkan jawaban itu, tiba-tiba ada seorang wanita yang berteriak memanggil namanya. Ia tampak berlari secepat yang dirinya bisa untuk tiba di tempat Velgard berada. Ia adalah Erina Hawkins, salah satu dari segelintir perempuan yang memiliki hubungan teman dengan Bevrlyne.
Wanita itu sudah berteriak dari kejauhan seolah ia dikejar sesuatu yang menakutkan, sayangnya yang diteriakkannya adalah nama Velgard sendiri. Velgard sebenarnya tidak mengenalnya, ia hanya beberapa kali melihat ketika Bevrlyne bersama dengan wanita itu. Entah menjadi teman atau hanya sebatas kenal saja.
“Ini gawat, ini gawat, kau harus membantu!” Erina datang dengan histeris.
“Tenang dulu, jangan buru-buru,” ucap Velgard yang berusaha membuat wanita itu bisa bicara dengan baik.
“Tapi itu ....”
“Oh ayolah, katakan padaku kenapa kau berlari-lari seperti itu seolah tampak seperti dikejar monster.” Velgard terdengar agak tak sabar. Melihat dari ekspresinya, sepertinya telah terjadi sesuatu yang besar.
“Bev, dia kerasukan. Dia tak bisa dihentikan untuk menghajar Helena.” Akhirnya Erina bisa bicara, mengatakan apa masalahnya.
“Biarkan saja. Itu pertengkaran pada gadis. Kenapa harus melibatkanku?” Velgard membalas dengan remeh, ia akan membiarkan saja karena itu hanya pertengkaran wanita. Bevrlyne mungkin akan malu jika ia datang seolah Bevrlyne berlindung di bawah ketiaknya.
Melihat Velgard tampak biasa saja bahkan cuek menanggapi, Erina agak kesal dan tampak frustrasi. Sepertinya pria di hadapannya salah mengira mengenai apa yang dirinya sampaikan. Kejadiannya tidak seperti yang dibayangkan oleh pria itu.
“Demi Tuhan, aku tak peduli jika mereka saling cakar atau jambak. Tapi ini berbeda, mereka tidak berkelahi seperti biasanya,” jelasnya.
“Hah?”
“Bev, dia ... dia tampak akan membunuh Helena, maksudku benar-benar akan mengakhiri hidupnya.” Atas perkataan itu, Velgard sadar jika kelainan yang mungkin saudarinya miliki tengah mengamuk. Pada saat itulah ia menanggapi perkataan si pemberi kabar dengan serius. Masalahnya, ia sendiri mengalami gejala emosi yang muncul tiba-tiba, bukan hal mustahil apabila saudari kembarnya mengalami hal serupa mengingat bahwa Velgard sudah tahu bahwa kemungkinan besar adiknya itu juga punya kekuatan aneh yang sama seperti yang dirinya miliki.
“s****n, sepertinya itu terjadi padanya.” Ia mengumpat. Setelahnya ia memandang sambil meraih pundak Erina agak kuat.
“Di mana dia?!” tanyanya dengan nada agak keras karena panik.
“Toilet wanita.” Erina menjawab sambil refleks menunjuk ke arah dirinya datang. Padahal iti bukanlah lokasi yang spesifik, tapi tangannya langsung terayun atau terangkat begitu saja untuk menunjuk.
Velgard langsung meraih tasnya kemudian berlari secepat mungkin, kotak makannya ia biarkan begitu saja. Ia tak buang-buang waktu untuk lebih banyak berbicara pada si wanita, bahkan tak ada waktu baginya hanya sekadar untuk mengucapkan ucapan terima kasih.
Keadaan sekarang ia bisa anggap berbahaya. Bisa benar-benar gawat apabila Bevrlyne memgamuk sungguhan, seseorang bisa benar-benar terbunuh olehnya. Jujur saja, pembunuhan adalah hal terakhir yang ingin Velgard tahu atas efek samping buruk dari kekuatan mereka yang muncul secara tiba-tiba dan tak kenal waktu itu.
Velgard hanya memerlukan waktu sekitar tiga puluh detik saja tuk sampai di toilet wanita, kecepatannya sudah abnormal sekarang. Velgard menghentikan langkahnya tatkala ia melihat di ambang pintu sudah berkerumun banyak orang yang menonton apa yang terjadi, bagusnya di sana belum ada orang dewasa, belum ada guru yang datang. Tentu saja itu hanya masalah waktu sebelum mereka benar-benar datang.
Velgard segera berlari menuju kerumunan. Ia melihat di sana ada Jace bersama Edgar.
“Kalian di sini?” tanyanya.
“Vel. Cepatlah, tak ada yang bisa menahannya. Dia kerasukan iblis.” Jace ada di sana juga, ia langsung mengatakan kalimat itu ketika melihat Velgard muncul. Sepertinya sudah banyak yang coba menghentikan Bevrlyne, tapi semua gagal.
“Pihak sekolah bisa memenjarakannya.” Edgar menambahkan.
“Kenapa kalian tak menahannya?!” bentak Velgard yang langsung menerobos kerumunan.
“Kita sudah mencoba, tapi dia seperti kerasukan iblis, kekuatannya sangat besar.” Jace membalas memberi tahu situasi nya.
“Ya. Itu sulit.”
“Ah terserah! Bisakah kalian minggir!” Velgard berteriak, ia sengaja mendorong seorang yang kebetulan ada di hadapannya.
“Hei!”
“Maafkan dia.” Jace yang membantu wanita yang terdorong jatuh untuk berdiri segera meminta maaf.
“Minggir kalian semua.” Velgard menerobos kerumunan.
Setiap tubuh yang ada di hadapannya langsung ia singkirkan ke samping atau ia dorong, tak peduli dengan berbagai komentar dan u*****n yang orang-orang keluarkan untuknya.
Ketika ia sampai di dalam dan bebas dari kerumunan, pemandangan toilet wanita itu menyambut dengan suasana yang buruk dan siapa saja tak akan memercayai hal seperti ini jika tak melihatnya secara langsung.
Beberapa pintu bilik toilet sudah lepas dari tempatnya, ada beberapa pria yang terkapar di lantai dengan erangan dan gerakan pelan menandakan mereka kesakitan. Ada sekitar delapan pria yang memiliki tubuh besar yang tampak sudah dihajar oleh sesuatu yang jauh lebih kuat dari mereka.
“Sudah kukatakan bukan? Dia kerasukan.” Edgar bergumam.
“Aku mohon, hentikan, jangan bunuh aku.” Tepat di arah depan Velgard, tampak jika Bevrlyne sedang mendorong Helena ke dinding, mencekik lehernya lalu mengangkatnya ke atas.
Helena membelalak kaget dengan apa yang terjadi, ia tak tahu betapa kuatnya Bevrlyne hingga tangan kanan kecil yang ramping itu berhasil mengangkat tubuhnya. Kakinya tergantung meronta-ronta tanpa daya, lehernya terasa sakit luar biasa, napasnya tercekat, bola mata membelalak dan mulut susah mengeluarkan suara.
Velgard melihat itu langsung merasa kaget. Ini lebih parah dari yang dirinya duga.
“Usir semua orang di sini, aku akan mengurusnya,” ucap Velgard yang memerintahkan kedua temannya. Setelahnya ia segera berlari maju sementara Edgar dan Jace menurut, ia meminta yang lain segera bubar.
“Bev! Hentikan!” Velgard berteriak keras sehingga suaranya membuat Bevrlyne berhenti. Ia menjatuhkan Helena yang gemetar ketakutan, seluruh tubuhnya sudah basah oleh air.
Velgard berlari menuju Bevrlyne yang masih berdiri kaku membelakanginya. Saat sampai, Velgard meraih pundak tuk menarik saudarinya agar menghadap ke arahnya. Saat mereka saling berhadapan, Velgard melihat jika pupil hitam Bevrlyne bagian kirinya kini sudah berubah warna menjadi biru terang bagaikan cahaya. Tatapannya datar dan dingin.
“s**t, ini parah.” Velgard mengumpat pelan. Hal yang tidak dirinya inginkan malah terjadi sekarang.
“Bev, sadarlah!” Velgard mengguncang badannya, tapi tak ada respons apa-apa darinya, hanya diam tanpa suatu ekspresi. Sisi baiknya, Bevrlyne tak menyerang Velgard seperti yang dilakukannya pada setiap orang yang coba menangkap dan menghentikan dirinya.
“Hei, ayolah! Kendalikan dirimu, aku ada di sini!”
“Bevrlyne, ini aku! Sadarlah!” Ia berteriak di hadapan Bevrlyne. Kali ini usaha yang Velgard lakukan tampak membuahkan hasil. Perlahan, cahaya dari mata kiri itu redup, tatapan dinginnya mencair. Ketika wajah Bevrlyne sudah kembali pada ekspresinya yang biasa, ia segera tersadar.
“Vel?” Bevrlyne tampak baru tersadar, sorot matanya tampak senang saat melihat kembarannya ada di hadapannya.
“Ya, kau pikir siapa memangnya?” Velgard membalas dengan nada keras. Ia lega melihat adiknya sudah sadar.
Melihat ada saudaranya di sana, Bevrlyne langsung memeluk Velgard lalu menangis terisak. Sama sekali tak memedulikan perkataan Velgard.
“Tolong aku, aku takut. Aku takut, Vel.” Ia berbicara pelan, tubuhnya gemetar. Velgard membalas pelukan dan membelai rambut saudarinya, hal seperti ini membuat Velgard merasa tak tega, rasanya ia ingin memusnahkan segala hal yang membuat Bevrlyne sedih dan ketakutan.
“Semua aman, aku ada di sini bersamamu.”
“Tapi ... tapi ....”
“Kita pergi.” Velgard melepaskan pelukan, perkataannya dibalas dengan anggukan pelan dari saudarinya itu. Velgard melepaskan jaketnya lalu menutupi tubuh Bevrlyne yang basah kuyup. Mereka berbalik lalu berjalan menuju pintu keluar.
Ketika ia memandang ke arah pintu, orang-orang masih ada di sana memandang dan memperhatikan mereka. Velgard jadi agak kesal karena itu.
“Oh, apa yang kalian lihat? Ini bukan drama. Enyah sana!” Velgard membentak. Edgar dna Jace membantunya untuk berjalan menerobos kerumunan. Hal itu membuat keduanya dengan mudah bisa keluar dari sana, kemudian mereka pergi meninggalkan toilet wanita. Dengan benar-benar mengabaikan setiap tatapan dan gumaman yang ditujukan untuk mereka.
Mereka berjalan menjauh dari kerumunan dengan langkah yang cepat, melewati lorong yang dipenuhi banyak murid yang berlalu lalang. Setiap pasang mata yang ada di sana sontak memandang ke arah mereka.
“Apa yang kalian lihat, hah?” Velgard membalas tatapan mereka penuh permusuhan dengan kaki yang masih melangkah dengan cepat meninggalkan daerah itu.
***