Bevrlyne dan Velgard berangkat setelah aktivitas paginya selesai, mereka bergabung dengan kenalan masing-masing di dalam bus sekolah yang menjemput. Sebenarnya Bevrlyne anti sosial dan tidak suka berada dalam keramaian, ia sendiri memilih menoleh memandang ke luar jendela selama perjalanan tanpa mengatakan apa-apa.
Sayang, kebiasaannya hari ini berbeda, secara kebetulan teman yang cukup dekat dan cukup baik padanya naik bus lalu duduk di sampingnya. Namanya adalah Erina Hawkins, gadis muda berambut coklat yang langsing dan selalu ramah pada siapa pun.
Oh iya, Bevrlyne dan Velgard memiliki warna rambut yang hitam pekat dan mengilap seolah dirawat oleh perawatan rambut terbaik, padahal itu adalah rambut alami mereka, warna rambut yang terlalu gelap membuat mereka terlihat agak berbeda walau disejajarkan dengan orang-orang berwarna rambut hitam juga.
Karena Bevrlyne sedang melamun sendiri, ia tidak tahu ketika bus berhenti untuk menaikkan penumpang lain, ia bahkan tidak sadar ketika kursi di sampingnya yang terus kosong sejak ia pertama kali duduk kini sudah terisi, kursi itu diduduki oleh seseorang.
“Ada sesuatu yang menarik di sana?” sapa Erina yang membuat Bevrlyne seketika terlonjak kaget akibat ia yang memang sedang melamun.
Bevrlyne segera menoleh memandang Erina, ia tampak sedikit terkejut karena merasa agak salah ketika mendapati kursi yang biasanya kosong itu diisi oleh temannya.
“Selamat pagi.” Gadis itu lanjut menyapa membuat Bevrlyne tersenyum. Pada saat itu mobil sudah kembali melaju melanjutkan perjalanan menuju sekolah.
“Aku kira siapa, ternyata kau.” Bevrlyne menyahut tanpa membalas sapaan. Erina tampak tak mempermasalahkannya, ia hanya memperbaiki posisi duduknya saja.
“Memangnya siapa yang kau harapkan?” tanyanya pada Bevrlyne.
“Oh, lupakan.” Bevrlyne tampak tak mau memperpanjang topik itu. Erina sendiri tak ambil pusing lagi soal itu, ia lebih memilih topik baru.
“By the way, aku tak tahu kau suka melamun di dalam bus.” Erina kembali membahas mengenai apa yang ia lihat sebelumnya di mana Bevrlyne tengah melamun, entah bercanda atau hanya sekadar untuk membuka topik, yang jelas Erina tampak penasaran dengan kebiasaan Bevrlyne yang belum dirinya ketahui selama ini.
Di kelas, Bevrlyne terkenal akan rajin dalam belajarnya, ia lebih sering menghabiskan waktu untuk belajar dan mengamati saudara kembarnya berlatih football. Hanpir tidak pernah terlihat ia tak pernah melakukan apa-apa sehingga terjadi adegan melamun pada dirinya.
“Aku hanya ingin menyibukkan diri, sangat bosan menunggu bus tiba di sekolah.” Bevrlyne membalas memberi alasan mengapa ia malah melamun di saat orang-orang di dalam mobil tampak berisik, mengobrol membahas hal-hal yang bervariasi, entah sesuatu yang penting atau percakapan biasa.
“Begitu ya, maaf membuatmu kaget,” ujar Erina, ia kembali teringat ketika Bevrlyne kaget sungguhan ketika ia menyapanya. Padahal ia sendiri tak berniat mengagetkannya.
Bevrlyne menggeleng pelan. “Tak perlu dipikirkan.” Ia berucap. “Oh iya, aku baru tahu kalau kau suka naik bus sekolah. Apa gara-gara aku yang sering melamun sampai tak pernah sadar bahwa kau selalu naik bus, ya?” Bevrlyne malah tampak berpikir-pikir dengan apa yang dirinya katakan, Erina tersenyum lalu menggeleng sekali.
“Tidak seperti itu juga. Sebenarnya ini adalah pertama kalinya aku naik bus setelah bertahun-tahun aku hidup di dunia.” Ia mengakui sambil mengangkat dua tangan.
“Oh, wow.”
“Ya, Wow.”
“Jadi, apa ada alasan khusus atau kau sedang mencoba kebiasaan baru?” tanya Bevrlyne yang menanyakan alasan kenapa tiba-tiba Erina naik bus hari ini. Ia tidak bermaksud mencampur atau ingin tahu urusan lain, ini hanya sekadar percakapan biasa saja.
Bevrlyne cukup terbuka dan lebih banyak bicara jika lawan bicaranya adalah Erina, lain halnya apabila orang lain yang sedang berbicara dengannya, ia hanya akan mengatakan inti-inti percakapan saja tanpa mau lebih terbuka dan lebih santai.
“Mobil ayahku mogok, tak ada pilihan selain naik bus.” Erina menjawab jujur apa adanya, ia mengatakan kalimat itu agak tak senang, lebih cenderung ke sebal. Sepertinya ia mau tak mau bahkan terpaksa harus naik bus sekolah.
Bevrlyne tahu mengenai keadaan Erina, mereka sudah saling mengenal satu sama lain, bahkan sudah beberapa kali bermain di kamar satu sama lain. Bisa dikatakan Erina adalah gadis yang hidupnya berkecukupan, ia adalah anak tunggal dengan orang tua yang masih lengkap.
Biasanya Erina diantar oleh ayahnya ke sekolah, alasan biasanya adalah karena arah sekolah dan arah tempat kerja ayahnya sama persis sehingga sekalian saja mereka berangkat bersama. Tapi entahlah alasan utamanya apa, Bevrlyne sendiri tidak penasaran dan tidak ingin mengungkap itu. Kurang penting dan tidak ada manfaatnya.
“Menyebalkan bukan?” tanya Bevrlyne yang bersandar pada kursi lalu menoleh ke arah kaca jendela lagi di mana ia menyaksikan pemandangan di luar.
“Mobilnya? Ya, aku kesal karena itu.” Erina bergumam sebal membuat Bevrlyne menoleh ke arahnya. Ia kemudian menggelengkan kepalanya menyangkal perkataan itu.
“Maksudku mereka, Vel dan teman-temannya tak pernah bisa bungkam setelah mereka bergabung.” Bevrlyne menunjuk ke arah belakang di mana memang itulah yang terjadi. Dari bisingnya obrolan setiap murid, yang paling berisik adalah Velgard dan teman-temannya, mereka benar-benar tak menahan diri untuk berteriak dan tertawa lepas atas apa yang mereka bahas.
Erina menoleh ke arah belakang, ia mendapati saat itu Velgard memang sedang bergurau bertukat percakapan dengan teman-temannya. Ia kembali memalingkan perhatian lalu menyadarkan tubuhnya di tempat duduk.
“Ah, aku tidak akan kaget kalau mereka seberisik ini di dalam bus. Kupikir mereka hanya gila ketika berada di lapangan saja.”
“Aku kesal karena mereka mengganggu.”
“Yang namanya para cowok, rasanya kalau tidak seperti ini pasti mereka sedang penyakitan masal.” Erina melontarkan lelucon yang membuat Bevrlyne terkikik sedikit. Itu lucu menurutnya.
Dan ya, bisa dikatakan bahwa Erina adalah satu-satunya gadis yang selalu mampu membuat Bevrlyne tersenyum bahkan sampai tertawa.
“Yah, apalagi kalau muntaber masal. Pasti mereka akan bungkam sambil duduk manis.” Bevrlyne menambahkan membuat Erina seketika tertawa mendengarnya, sepertinya ia langsung membayangkan adegan yang Bevrlyne katakan.
“Itu akan sangat menjijikkan.”
“Begitulah.”
“Apa hari ini mereka ada latihan lagi? Aku lupa jadwalnya.” Erina mengalihkan topik, ia mulai membahas hal lain.
“Hari ini libur, sepertinya, aku juga tak pernah melihat jadwal mereka.” Bevrlyne mengatakannya dengan pelan. “Velgard selalu menyuruhku menunggu di bangku penonton, ia memaksaku untuk menonton, maka dari itu aku tak pernah melewatkannya ketika dia latihan atau bertanding.” Bevrlyne lanjut bicara, menjelaskan alasan ia bisa selalu menonton ketika saudaranya bermain football, padahal ternyata ia sendiri sama sekali tidak pernah tertarik dengan olahraga football.
“Oh, seperti itu ternyata, kupikir kau suka dengan football, atau suka salah satu pemain sehingga kau tak melewatkannya.” Erina mengucapkan kalimat terakhir dengan sedikit menggoda.
“Aku bahkan tak mengerti aturan dan cara main football.” Bevrlyne membalas, lalu setelahnya menoleh pada Erina tegas. “Lagi pula aku lebih suka tenis atau badminton, itu lebih menyenangkan menurutku.”
“Ya, ya, ya. Aku sudah tahu kalau soal itu.”
“Dan ingat, tidak satu pun teman Velgard merupakan tipe lelaki yang kusuka, mereka semua hampir sama kepribadiannya. Menjengkelkan dan sangat berisik.”
“Oh, baiklah, aku setuju dengan yang itu.”
Setelah kalimat itu, selama beberapa detik lamanya mereka tidak berbicara lagi, sepertinya topik percakapan sudah berhenti. Meski begitu, keadaan tidak mendadak sunyi atau menjadi canggung, suasana di dalam bus sangat berisik.
“Kau sudah selesai dengan tugas matematikanya?” Erina mengajukan pertanyaan itu, membuka topik percakapan baru.
Bevrlyne mengangkat bahu. “Sangat mudah bagiku,”
“Membuatku iri saja, kepalaku sampai berasap, tapi aku masih tetap saja tak bisa menyelesaikannya.” Erina memasang wajah yang lemas. Entah mengapa, ia tak pernah bisa menandingi kecerdasan Bevrlyne dalam setiap mata pelajaran meski sudah belajar sekeras apa pun.
“Akan kuajari kalau kau mau.”
“Itu yang kuharapkan. Aku masih belum menyelesaikan tugasku soalnya.”
“Akan kubantu nanti. Penyihir itu tidak akan sampai mengeluarkan mantra sihirnya padamu, aku jamin itu.”
Seseorang yang disebut sebgaai penyihir adalah guru matematika mereka. Sarah Jordan adalah namanya, sosok wanita yang memiliki cara mengajar dengan tingkat disiplin tinggi, tegas dan tak pernah memberi toleransi, aturan yang dirinya buat dalam kelas matematika tak boleh dilanggar barang sedikit saja.
Sudah banyak murid yang menjadi korban hukuman karena tidak mematuhi aturan yang dibuat. Karena itulah, guru yang menjunjung tinggi pendidikan itu dibenci banyak murid sehingga panggilan “penyihir” pun segera diterapkan padanya, sebagian besar murid akan memanggilnya sebagai penyihirーtentu saja diucapkan tidak di hadapan orangnya.