*Arya PoV*
Jika ini yang disebut cinta, biarkan aku tenggelam di dalamnya. Memberi warna hariku yang monokrom. Biarkan aku memujanya, membingkainya dalam hatiku. Rasa ini benar-benar membuatku tak ingin menunggu untuk sekedar melihat wajahmu.
Apakah kelak engkau akan melihatku?
Aku masih di sini melihat wajahnya dari balik kaca mobil. Ingin rasanya aku hentikan waktu agar tetap seperti ini. Entah kenapa sejak pertama melihatnya ada perasaan yang berbeda. Belum pernah ada wanita yang bisa membuat jantungku berdetak sekencang ini. Haruskah aku menghampirinya lalu kukatakan maksudku?
Ah ... tapi bukankah itu sangat cepat. Dia bahkan belum tentu masih mengingatku.
Ah ... apa aku bodoh tiba-tiba jadi penguntit gini? Ini akan terlihat memalukan kalo ketahuan.
Tapi dilihat dari mana pun dia benar-benar cantik.
Bagaimana kalo aku langsung melamarnya? Bisa-bisa aku dikira orang gila lagi.
Aku mengambil benda pipih di sebelah kemudi.
"Halo, Farhan"
"Iya, Tuan."
"Cari informasi tentang anak magang yang bernama Dahlia Wiratmaja. Sedetail-detailnya." Ditekankan pada kata-katanya yang terakhir, yang berarti itulah hal yang terpenting.
Arya PoV end.
***
Dahlia terus melihat ke arah mobil yang parkir di seberang jalan. Kenapa sepertinya pengendaranya tidak keluar-keluar, ya?
Ah sudahlah bukan urusanku, katanya dalam hati sambil meneruskan obrolannya dengan Sarah.
"Kamu udah liat belom yang punya perusahaan itu, Lia?" Dahlia hanya menggelengkan kepalanya.
"Tadi sih sepertinya lewat. Tapi, aku takut mau lihat wajahnya jadi aku nunduk aja," jawab Dahlia sambil nyengir.
"Ah! Kamu. Rugi tahu ngelewatin pemandangan paripurna. Ciptaan Tuhan yang paling indah."
"Huh! Dasar kamu. Kalo lihat cowok ganteng aja bawaannya ijo tuh mata." Sekarang giliran Sarah yang nyengir kuda.
"Eh ... kamu ngerasa nggak, sih. Mobil di seberang sana mencurigakan." Dahlia menunjuk ke arah mobil yang dari tadi menyita perhatiannya. Sarah pun menoleh.
"Mana, ah! Perasaan kamu aja kali."
Merasa diperhatikan, Arya bergegas menyalakan mesin mobilnya dan berlalu dari tempat itu.
"Tap, kok. Kayak pernah lihat mobil itu." Dahlia mencoba mengingat sesuatu.
"Tuh ... 'kan, diliatin langsung pergi."
"Udah, ah! Yuk! Masuk aja, bobok cantik dulu kita. Besok 'kan kamu mesti kerja, Lia."
***
Hari-hari berlalu tanpa ada sesuatu yang berarti bagi Dahlia. Dia sudah lumayan paham dengan pekerjaannya. Putra juga setiap hari menawarkan tumpangan untuknya dan Intan. Tidak terasa sudah seminggu ini dia bekerja di perusahaan itu. Dan hari ini adalah akhir pekan, waktunya dia bisa beristirahat. Tapi seminggu ini mobil itu selalu di sana setiap malam. Kadang satu jam kadang dua jam, tapi Dahlia tidak mau ambil pusing.
"Sarah! Bentar, ya. Aku ke minimarket sebentar. Pembalut aku habis."
"Oke!" Terdengar sahutan dari dalam kamar mandi.
Dahlia berjalan menuju minimarket yang letaknya hanya lima puluh meter dari tempat kosnya. Dia masuk ke dalam minimarket dan mulai melihat-lihat.
Siapa tahu lagi ada diskonan, katanya dalam hati.
Dari luar minimarket ada seseorang yang memandangnya. "Ah! Aku benar-benar jadi penguntit sekarang," gumamnya pelan. Dia masuk membeli sesuatu di kasir agar tidak terlihat mencurigakan.
"Bruk!" Dari belakang ada seseorang yang hampir tidak sengaja jatuh dan hampir menimpanya.
"Aduh maaf, Mas. Saya nggak sengaja." Arya hanya diam membatu karena mengenali suara itu. Dia mengambil nafas mencoba menetralkan detak jantungnya.
Arya mencoba menoleh dan melihat wanita yang beberapa hari ini ingin dia temui.
Deg! Mata mereka bertemu dan lagi-lagi jantung Arya tidak bisa mengontrol lajunya.
"Mas ... maaf, ya," ucap Dahlia sambil tersenyum tulus. Dahlia mencoba meminta maaf lagi, menyadari orang yang ditabraknya hanya diam saja.
"Eh ... eh ..., iya nggak papa, kok," jawab Arya gugup.
"Kamu nggak inget aku, ya?" Arya mencoba memberanikan diri menatap gadis itu.
Dahlia mengernyitkan dahi, mencoba mengingat sesuatu.
"Aaaaa, Mase yang waktu itu mobilnya mogok, ya?" Dahlia mengembangkan senyumnya.
"Gimana, Mas? Masih suka mogokkah?" Dahlia tersenyum lagi.
Jantung Arya seakan ingin meloncat keluar. Tangannya memegang meja kasir menjaga keseimbangan tubuhnya. Untung tidak ada antrean lagi setelah Dahlia. Dia mengatur nafasnya guna mengontrol jantungnya. Senyumnya yang teduh membuat siapa pun ingin menetap di dalamnya.
"Ah, enggak. Makasih, ya, buat waktu itu. Eh! Kamu kok jago, sih, benerin mobilnya?" Masih dengan mengontrol jantungnya.
"Santai aja kali. Aku seneng bisa bantu orang lain. Bapakku punya bengkel mobil di kampung. Karena aku anak satu-satunya, jadi ya ... bapak sering bawa aku ke bengkel. Dan aku juga lupa sih sejak kapan seneng ikut bantuin bapak. Berjalan gitu aja. By the way, rumah Mas deket sini? Atau ... Mas juga kos di daerah sini?" cerocos Dahlia. Sepertinya gadis di depannya belum tahu kalo Arya bos di tempatnya bekerja. Bagus. Arya bisa tahu gadis ini seperti gadis lain, yang mendekatinya karena hartanya, atau tidak.
"Eh ... aku nggak sengaja lewat. Haus, mampir bentar." Dahlia hanya manggut-manggut.
"Kamu beli apa di sini"?" Menatap barang dalam tangan Dahlia. Pipi Dahlia memerah mencoba agak menyembunyikan barang di tangannya. Wajah Arya pun ikut memerah setelah melihat barang yang ia tahu buat apa. Barang khusus wanita.
"Aku bayar dulu," kata Dahlia menutupi rasa malunya.
"Biar sekalian aku yang bayar." Arya mengeluarkan kartu kredit nya.
"Nggak usah! Aku bayar sendiri aja."
"Nggak papa. Sebagai ucapan rasa terima kasihku." Dahlia pun mengalah.
"Terima kasih," ucapnya kemudian. Mereka berdua berjalan keluar dari minimarket.
"Rumah kamu sekitar sini, ya?" tanya Arya seolah penasaran. Padahal dia sudah jadi penguntit seminggu ini
"Aku kos di deket sini. Lima menit nyampe." Dahlia celingukan. "Kamu bawa mobil?" Matanya berhenti di mobil yang seperti tidak asing lagi. Arya mengangguk.
"Mau aku anter?" tawar Arya.
"Nggak usah. Jalan aja deket, kok." Lagi-lagi Dahlia tersenyum.
"Aku jalan dulu, ya," pamit Dahlia. Ia segera bergegas meninggalkan lelaki yang masih mematung karena terbius senyumannya. Namun, akhirnya tersadar pula dari lamunannya.
"Bisa minta nomer kamu?" Arya pun memberanikan diri untuk meminta nomor gadis yang sudah beberapa hari ini mengusik konsentrasinya.
Dahlia berpikir sejenak. Nggak papa, lah. Sepertinya dia anak baik, katanya dalam hati.
"Oke! Kamu bisa catat nomer aku." Arya mengeluarkan benda pipih dari sakunya dan mencatat nomor yang diberikan Dahlia.
Dahlia pun berlalu, tidak dengan laki-laki itu. Ia masih menatap punggung gadis yang menjungkirbalikkan logikanya. Yang menjadikannya penguntit dan membuatnya melakukan hal yang baru pertama kali dilakukannya. Arya, yang selama ini dikenal sangat dingin dan menghindari wanita, kenapa mendadak bucin begini. Tanpa sadar dia tersenyum. Setelah punggung Dahlia hilang dari pandangannya dia bergegas melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu.
***
"Adik Anda beberapa hari ini sepertinya sering ke daerah xxxx."
"Apa kamu sudah selidiki yang dia lakukan di sana?"
"Dia hanya memarkirkan mobilnya di tempat yang sama hingga berjam-jam."
"Terus awasi, dan laporkan padaku!"
"Baik, Nona."
***
Arya masih memandangi benda pipih di hadapannya. Pikirannya masih bertarung antara menghubungi atau tidak. Waktu yang di berikan ayahnya tinggal tiga Minggu lagi. Tapi dia bingung harus mulai dari mana. Tiba-tiba ada panggilan yang membuyarkan lamunannya
"Halo!"
...
"Apa itu?"
...
Arya terlihat kaget dan sedikit cemas. "Baiklah ... urus semuanya." Diurungkan niatnya untuk menghubungi gadis pujaannya itu.
"Apakah boleh aku menggunakan cara ini untuk menjeratnya?" gumamnya sendiri. Dia urungkan niatnya menghubungi gadis pujaannya itu dan dia memutuskan untuk tidur saja.
Sarah sayup-sayup mendengar suara tangis dari kamar Dahlia. Dia mengetuk pintu kamar temannya itu. Tidak mendapat jawaban. Tapi, dia sangat khawatir dengan Dahlia. Sarah membuka pintu kamar Dahlia yang ternyata tidak terkunci.
"Kamu kenapa, Lia?" Dahlia mengangkat wajahnya.
"Bapakku Sarah, dia ...." Tanpa menyelesaikan kalimatnya, Dahlia mulai menangis lagi.
"Kenapa dengan bapakmu?" Sarah tak kalah khawatir melihat Dahlia yang terus menangis.
"Dia ... hiks ... dia masuk rumah sakit. Selama ini ... hiks ... aku nggak tahu dia sakit. Aku bener-bener nggak tahu," ucap Dahlia sambil terbata.
"Siapa yang hubungi kamu?"
"Pamanku. Dia bilang ... hiks ... bapak butuh operasi untuk sembuh. Tapi ... hiks ... biayanya sangat besar. Lima ratus juta, Sarah. Kami ... hiks ... nggak punya uang sebanyak itu." Sarah memeluk sahabatnya, hanya itu yang bisa dia lakukan.
"Tenang, Lia. Berdoa sama Tuhan. Semoga diberi jalan," ucapnya sambil mengelus punggung Dahlia. Dahlia sedikit merasa tenang karena pelukan sahabatnya itu.
" Aku harus cari di mana, Sarah? Aku baru mulai bekerja. Apa aku pulang saja dan mengurus bapakku?"
"Kalo kamu juga tidak bekerja siapa yang bisa membayar pengobatan bapak kamu? Berpikirlah jernih dulu. Tetaplah bekerja untuk menghasilkan uang."
Dahlia hanya terdiam mendengar nasihat sahabatnya itu. Benar yang di katakan Sarah.Dia harus cari uang sebanyak-banyaknya.