4. Malaikat Siapa?

1504 Words
Suasana rumah sakit begitu padat pagi ini. Kursi-kursi di depan ruang pendaftaran sudah terisi penuh. Ada beberapa orang yang terpaksa berdiri karena tidak kebagian kursi tunggu. Ada beberapa yang sudah berada di depan resepsionis. Mereka memiliki keluhan yang berbeda-beda dan akan diarahkan kepada dokter yang tepat. Maju beberapa meter ada ruangan khusus dokter kandungan. Sepertinya di sanalah pusat antrian rumah sakit. Deretan kursi di depan ruangan masih kurang hingga beberapa pasien ibu hamil terpaksa duduk di jejeran kursi yang berada di depan ruangan dokter syaraf yang benar-benar sepi. Ya, mungkin memang tidak ada yang bermasalah dengan syaraf mereka. Di ujung lorong terlihat seorang wanita paruh baya yang tak henti-hentinya menangis. Di sampingnya berdiri seorang pria paruh baya. Di sebelah wanita yang menangis itu duduk wanita paruh baya lainnya yang menepuk-nepuk punggung wanita yang menangis itu. "Sudahlah, Mbakyu. Sampean jangan nangis terus. Apalagi sampe nggak mau makan. Kalo ikutan sakit, bagaimana dengan Mas Wira? Siapa yang mau jagain dia? Dahlia juga pasti tambah khawatir di perantauan sana. Apa sampean nggak kasihan sama Lia?" "Tapi, Dek. Nyari uang lima ratus juta itu di mana? Andai ... rumah yang kami tempati dijual pun, tidak sampai segitu. Palingan, cuman laku dua ratus juta. Itu pun sudah harga paling mahal. Sisanya mesti nyari di mana? Masmu harus segera dioperasi. Sedang, Lia ..., baru saja bisa kerja. Kalo nggak nangis, aku nggak tahu lagi mesti gimana!" Darti, istri Wirtamaja, sekaligus ibu dari Dahlia sudah dua hari ini hanya bisa menangis. Perutnya sama sekali belum terisi apa pun. Sejak suaminya pingsan di bengkel kemarin, tak henti-hentinya dia terus menangis. Saat malam tiba pun, dia masih sesenggukan sendiri. Itu membuat Jatmiko-adik suaminya- dan Laras-istri Jatmiko- benar-benar khawatir. Bagaimana tidak khawatir, kakak kandungnya belum sadarkan diri, sedang kakak iparnya malah menyiksa diri sendiri. Bujukan apa pun yang keduanya berikan belum juga mempan terhadap mbakyu-nya itu. "Apa perlu kami telfonkan Dahlia? Biar pulang saja buat bujuk Mbakyu. Biar ibunya yang keras kepala ini mau makan." Jatmiko mengeluarkan jurus terakhir yang dia punya. Dia tahu kakak iparnya itu tidak mau membuat putri semata wayangnya bertambah beban pikirannya. Seketika Darti menghentikan tangisnya. Jatmiko dan Laras saling tersenyum penuh kemenangan. Mereka berdua khawatir dengan keadaan kakak iparnya yang terus menangis dari kemarin. Ditambah lagi menolak untuk makan. Kalo dua-duanya malah diopname, apa malah tidak tambah kacau keadaan? Kasihan keponakannya yang jauh dari pandangan. Baru saja mulai bekerja dapat kabar bapaknya sakit. Belum lagi kalo ibunya keras kepala tidak mau makan dan terus nangis. Bisa-bisa beneran pulang anak itu. "Yowes. Aku nungguin masmu lagi aja. Sudah selesai lantainya dipel. Kasihan kalo sendirian." Darti bergegas masuk ke dalam ruangan yang penuh dengan bau obat. Dilihatnya suaminya masih tak sadarkan diri. Tubuhnya dipenuhi selang-selang yang ia sendiri pun tak tahu fungsinya untuk apa. Tangan, hidung, d**a, bahkan untuk buang air kecil pun menggunakan selang. Melihat keadaan suaminya seperti itu, air di sudut mata Darti mulai membendung lagi. Tapi dia menahannya, takut kalo adik-adiknya tahu dan membuktikan ancamannya. "Kasihan Dahlia jika mesti pulang. Dia baru saja bekerja," katanya pelan. Dia memegang tangan suaminya sesekali mengusap wajah lelaki yang sudah mendampinginya selama dua puluh tujuh tahun itu. "Kamu harus kuat, Mas. Aku akan terus berdoa semoga ada keajaiban dari Allah yang datang pada kita." Dokter mendiagnosa ada gumpalan darah di kepalanya sehingga kesadarannya hilang dan dibutuhkan operasi untuk menghilangkannya. Jantungnya juga menjadi sangat lemah karena aliran darahnya menjadi tidak lancar. Begitulah bahasa sederhana yang dokter katakan. "Mbakyu." Laras menyentuh pundak Darti pelan dan membuat wanita dengan mata sembab itu tersadar dari lamunannya. "Makan dulu, ya. Tadi kami keluar mencari makan buat sampean. Dari kemarin 'kan belum makan?" Laras menyerahkan bungkusan plastik kepada kakak iparnya itu. Darti pun menerimanya. Dibukanya bungkusan itu dan mulai memakannya. "Makasih ya, Nduk. Kamu sudah sabar ngadepin mbakyu-mu yang keras kepala ini." "Nah! Kalo Mbakyu sudah sadar kalo sampean itu keras kepala, mulai sekarang yang nurut sama saya, sama Mas Jatmiko. Kalo disuruh makan, ya makan. Kalo di suruh istirahat, ya istirahat. Jangan malah nangis trus. Nggak mau 'kan, kalau Dahlia tahu ibunya di sini cuman nangis terus?" "Ya sudah, jangan bahas itu terus. Sekarang aku 'kan sudah nurut sama kalian. Ni ... aku lagi makan. Kalian sudah pada makan belum?" "Sudah. Tadi sekalian kita berdua makan." "Jat!" Jatmiko kaget dengan panggilan kakak iparnya itu. Pandangannya yang tadi tertuju ke kakaknya pun beralih pada Darti. "Kenapa, Mbak?" tanyanya sambil memicingkan kedua matanya. "Bener lho' jangan nyuruh Lia pulang. Kasihan anak itu baru seminggu kerja." "Iya ... iya ... asal Mbakyu jangan nangis terus. Aku nggak bakal nyuruh Lia pulang," kata Jatmiko masih dengan nada mengancam. Dia melirik ke arah istrinya. Mereka berdua tersenyum penuh kemenangan. Masing-masing menghirup nafas lega. Melihat Wiratmaja belum sadarkan diri saja sudah membuat perasaan mereka berdua hancur, apalagi jika ditambah ke-ngeyel-an kakak iparnya itu. Bisa-bisa mereka berdua ikutan ambruk. "Yowes, Mbakyu. Aku pulang dulu. Aku mau ngurusin ternakku dulu. Kasihan kalo kelaparan. Biar Laras di sini nemenin Mbakyu. Nanti aku ke sini lagi. Anak-anak juga sudah pada gede. Bisa ngurus diri sendiri." Pandangannya beralih kepada istrinya, Laras. "Dek, Mas pulang dulu, ya. Kamu di sini dulu nggak papa 'kan? Kasihan Yu Darti kalo di tinggal sendiri. Kalo nanti Yu Darti nangis lagi atau nggak mau makan ... telpon Mas, ya," pesan Jatmiko pada istrinya. Diusapnya puncak kepala istrinya dengan sayang. "Iya, Mas," jawab Laras. "Assalamu'alaikum." ”Wa'alaikumsalam," jawab mereka serentak. Jatmiko memutar tubuhnya menuju pintu. Dibukanya pintu itu perlahan agar tidak menimbulkan suara berisik. Darti dan Laras masih memandangi punggung Jatmiko yang mulai menghilang di balik pintu. Laras menatap Darti yang hampir saja menggeluarkan bendungan di matanya. Jika tidak teringat ancaman Jatmiko mungkin dirinya saat ini sudah menangis. Laras mendekati Darti dan mendekapnya dalam pelukan. Dia hanya terdiam seolah membiarkan kakak iparnya itu menumpahkan segala yang ada di hatinya. Tak dapat dibendung lagi air mata yang mati-matian ditahannya. Akhirnya tumpah juga. Air mata Laras pun tak dapat dibendung lagi. Akhirnya mereka berdua pun menangis bersama-sama. "Kriet ...!" Terdengar bunyi pintu dibuka. Dokter muda nan tampan bermantelkan jas warna putih khas dokter masuk ke dalam ruangan. Diikuti oleh dua suster. Yang satu memegang papan catatan, satunya lagi memegang tensimeter. "Selamat siang," sapa dokter itu ramah. Di dadanya bertuliskan nama Dr. Hendi Jayadi Sp.PD. Dia tersenyum ramah kepada kedua wanita paruh baya itu. "Kami periksa dulu ya, Bu." Dia memberi kode kepada suster yang membawa tensimeter. Suster itu segera menghampiri lelaki yang terbaring lemah itu. Dengan cekatan tangannya menempatkan benda itu di tangan Wiratmaja. Sedangkan suster yang satunya bersiap mencatat di papan yang dibawanya. Dokter tampan itu mengeluarkan stetoskop yang menggantung di lehernya dan menempelkan ujungnya ke d**a pasiennya itu. Terdengar percakapan antara ketiganya yang lebih terdengar sebagai bisikan. Kedua wanita paruh baya itu sudah dalam posisi berdiri di samping suami dan kakak ipar mereka itu. Mereka terlihat cemas menanti apa akan ada hal penting yang dokter itu sampaikan. Setelah suster yang mencatat selesai dengan tugasnya. Dokter Hendi menatap kedua wanita dengan mata yang masih sembab. "Kami permisi dulu, Bu. Kalau bisa, bapak harus segera dioperasi. Jantungnya sudah mulai melemah." Ketiga manusia itu pun segera meninggalkan ruangan itu. Tersisa lelaki yang terbaring tak berdaya dan dua wanita paruh baya yang sudah siap untuk menangis. "Yang sabar, Mbakyu. Sampean sholat dulu sana. Sudah masuk waktu Dhuhur. Do'akan untuk kesembuhan Mas Wira. Biar aku yang nunggu di sini," kata Laras pada Darti. Yang disuruh pun segera beranjak tanpa keluar sepatah kata pun dari mulutnya. Dia berjalan gontai menuju mushola, yang letaknya harus melewati tiga tikungan dari kamar suaminya dirawat. Semangat hidupnya meredup lagi. Jika tidak teringat putri semata wayangnya itu, mungkin dia sudah putus asa dengan semuanya. Di dalam sholatnya dia curahkan semua beban yang ada di hatinya. Tangisnya benar-benar pecah kali ini. Tak bisa ditahannya lagi. Dia tumpahkan di atas sajadahnya, berharap hanya kepada Allah semata. Tak dipedulikannya lagi orang-orang yang menatap heran kepadanya. "Ya Allah, berilah kami kekuatan untuk melaluinya. Dan berilah suami hamba keajaiban dengan campur tangan-Mu," katanya dalam sujudnya. Darti tenggelam dalam sujudnya. Tanpa terasa kesadarannya pun berganti dengan bunyi dengkuran lirih dari mulutnya. Ya, mungkin rasa kantuk dan lelahnya sudah tak bisa dikesampingkan lagi. Tubuhnya menuntut haknya untuk beristirahat. "Mbak ... Mbakyu. Mbak ... Mbakyu." Sebuah tangan mengguncangkan bahu yang sedang beristirahat itu. Si empunya pun segera terduduk dan mengumpulkan kembali kesadarannya. Dia mengucek kedua matanya dengan tangan kanannya. Wanita yang menggantikannya menjaga suaminya sudah berdiri tepat di depan matanya. "Astaghfirullahhal'adzim, aku ketiduran. Sudah jam berapa ini, Nduk?" tanyanya sembari membereskan mukena yang masih menempel di tubuhnya. Laras tampak ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu pada kakak iparnya itu. "Begini, Mbakyu. Ada malaikat--." "Hah! Malaikat?" Belum selesai Laras berucap Darti sudah memotong dengan pertanyaan keterkejutannya. Apa malaikat maut sudah menghampiri Mas Wira? katanya dalam hati. Dia hampir ambruk mendengar kata-kata Laras. "Udah! Pokoknya ayo ke kamar Mas Wira dulu." Tanpa meminta persetujuan Darti, Laras menyeret tangan Darti yang mulai lemas. Laras berjalan cepat, hampir setengah berlari. Tak butuh waktu lama buat mereka sampai di kamar itu. Laras berhenti sejenak, mengatur nafasnya. Tangannya memegang gagang pintu kemudian membukanya. Tubuh Laras menegang, matanya menyusuri setiap sudut ruangan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD