5. Dag ... Dig ... Dug Dahlia

1904 Words
Dahlia bangun lebih pagi dari biasanya. Atau bisa dibilang tidurnya kurang nyenyak karena beban pikiran yang ditanggungnya. Setelah mendapat telefon dari paklek-nya kemarin, malamnya dipenuhi butiran air mata yang mengalir di ujung sajadahnya. Sampai tanpa sadar, dia terlelap masih menggunakan mukena di atas sajadah. Dan terbangun saat adzan Shubuh berkumandang. Segera dia ambil air wudhu dan menjalankan ibadah shalat Shubuh. Tak lupa dia berdoa untuk bapaknya di kampung agar diberi kesehatan dan dimudahkan jalannya untuk memperoleh uang untuk pengobatan bapaknya. Beranjak dari sajadahnya dia mengambil handuk dan bergegas ke kamar mandi. Di saat itulah Sarah terbangun. "Kamu sudah bangun, Lia?" katanya sambil mengucek kedua bola matanya. "Ah! Iya, Sarah. Aku mandi dulu, ya?" pamit Dahlia yang dibalas anggukan oleh sahabatnya itu. Meski tetap tersenyum, Sarah melihat kedua mata Dahlia masih sangatlah bengkak. Ya, dia pun mengerti kenapa. Pasti berat buat Dahlia, ujarnya dalam hati. "Bismillah." Dahlia memantapkan langkahnya menuju tempat kerja. Dia bertekad harus bekerja keras. Tak peduli apa uang yang dia hasilkan akan sebanyak itu, tapi dia percaya keajaiban Tuhan akan datang. Seperti biasa dia akan berjalan menuju halte bus yang tidak jauh dari tempat kosnya. Tak perlu waktu lama menunggu bus yang datang. Bus yang berhenti di depannya masih sepi penumpang, hanya segelintir saja yang berada di dalamnya. Dahlia memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela. Matanya menatap ke luar jendela. Tubuhnya mungkin berada di sini, tapi pikirannya tidak. Dia tidak bisa berhenti berpikir tentang bapaknya yang harus segera dioperasi. Dan juga ibunya yang sudah mulai tua. Meski ada paman dan bibinya yang ikut membantu menjaga ayahnya. Tetap saja perasaan khawatir bersarang di hatinya. Raganya yang jauh dari kedua orang tuanya, membuat pikirannya menjadi bertambah-tambah. Dia anak satu-satunya tetapi tidak bisa menjaga keduanya di hari tua mereka. "Hai!" Tiba-tiba seseorang menyentuh pundaknya dan membuyarkan lamunannya. Dia menyeka sedikit air mata yang ada di sudut matanya. Matanya memicing mencoba mengenali siapa yang menyapanya. Dahlia mencoba tersenyum, "Hai juga." Dilihatnya lelaki yang tadi malam tidak sengaja dia temui di minimarket. "Kok, kamu naik bis?" tanya Dahlia penasaran. "I- iya. Biar lebih hemat." Arya mencari alasan. Padahal dia memang sengaja ingin lebih dekat dengan Dahlia. Mobilnya dia parkirkan di sebelah halte bus dekat kos Dahlia. Pagi ini dia melihat Dahlia tak seceria biasanya dan memutuskan mencoba menghiburnya. Jantungnya masih saja berdetak kencang. Sebisa mungkin dia mengendalikannya. "Kok ... aku berasa di China, ya?" ujar Arya sok akrab. "Kenapa emang?" tanya Dahlia penasaran. "Tuh, mata kamu udah kayak panda." Gurauan garing Arya ternyata mampu membuat Dahlia menyunggingkan senyum di bibirnya. "Apaan, sih. Kamu garing tahu." Pipi Dahlia memerah karena malu. Apa kelihatan sekali sembab di matanya. Wajahnya berpaling ke arah jendela sambil melirik penampakannya dari kaca jendela. Ah ... benar matanya sudah seperti panda. "Kamu habis nangis apa ditonjok orang?" tanya Arya penasaran. "Mungkin kelilipan," jawab Dahlia singkat. Arya mengerti mungkin gadisnya. Eh, bisakah dia menyebut gadisnya pada orang yang belum tentu memiliki perasaan yang sama padanya. Ya, mungkin bisa dibilang dia terlalu percaya diri tapi biarlah dengan menganggap Dahlia sebagai gadisnya saja sudah membuat wajahnya memerah bak kepiting rebus. "Kamu demam, ya? Kok wajah kamu merah gitu?" tanya Dahlia yang menghentikan kepercayaan dirinya yang ketinggian itu. "E- enggak, kok. Mungkin karena panas di sini. Arya mulai mengibas-ngibaskan tangannya. Memang cuaca hari ini terasa sangat panas. "Mungkin karena kamu terbiasa pake mobil ber-AC jadinya kerasa panas," ledek Dahlia sambil tersenyum. Arya bahagia melihat Dahlia mulai tersenyum lagi. "Ngomong-ngomong, aku belum tahu nama kamu?" tanya Dahlia. "Namaku Arya," jawabnya singkat. Nggak mungkin 'kan dia memberi tahu nama belakangnya. Nanti ketahuan lagi kalau dia yang punya gedung tempat Dahlia bekerja. "Oke, Arya. Sepertinya sebentar lagi saya harus turun. Kamu turun di mana?" "Ehm ... di depan sana." Tunjuknya asal. Bus pun berhenti di halte dekat tempat kerja Dahlia. "Aku turun dulu, ya," pamitnya pada Arya. Dahlia beranjak dari tempat duduknya dan menuju pintu bus. Arya hanya bisa menatap gadis itu dari tempatnya duduk. "Apa pun akan kulakukan untuk melihat senyummu lagi," gumamnya kemudian. Dahlia memantapkan kakinya menginjak lobi tempatnya bekerja. "Selamat pagi, Pak." Sambil menyunggingkan senyum dia menyapa satpam yang berjaga di pintu depan. "Pagi juga, Neng." Pak Satpam yang berusia hampir setengah abad itu membalas sapaan Dahlia. Dan tidak lupa senyuman juga dia sunggingkan untuk Dahlia. Dahlia memang ramah dengan siapa saja dan dia juga terbiasa tersenyum dengan orang yang ditemuinya. Meski senyumnya itu tak bertahan lama di wajahnya karena pikirannya lagi-lagi kembali kepada keluarganya. "Hai! Lia. Kenapa muka kamu ditekuk gitu?" Di depan lobi Dahlia bertemu dengan Putra. "Nggak papa kok, Put. Aku hanya sedikit lelah." Dahlia pun mencoba tersenyum lagi. Dalam hatinya dia berpikir apakah terlalu kelihatan kesedihan yang dirasakannya. "Nih!" Putra mengeluarkan coklat dari dalam tasnya. "Coklat?" "Hm .... Konon coklat bisa balikin mood yang hilang. Coba aja." Dahlia menerima coklat yang diberikan Putra. "Makasih ya, Put. Kamu emang temenku yang paling baik." Dahlia tersentuh dengan perhatian Putra. Hatinya menghangat, buru-buru dia memalingkan wajahnya yang mulai memerah. "Nanti kita ditugasin Bu Widya ikut Mbak Wiwid ngeliput pertandingan bola di stadion. Kamu nggak lupa, kan?" tanya Putra yang melihat Dahlia hanya diam saja. Dahlia hampir saja melupakan tugas hari ini. Terlalu banyak memikirkan bapaknya membuatnya kehilangan konsentrasinya. Dia menepuk jidatnya, "Hampir aja aku lupa, Put. Makasih lagi, ya, udah diingetin. Aku duluan, ya. Ada yang lupa belum aku siapin. Takut ntar Mbak Wid marah." Dahlia bergegas menuju lift dan menekan tombol menuju lantai kantornya. Dia merasa canggung dengan perhatian Putra. Dia tak mau Putra mengetahui kalau pipinya sudah memerah seperti kepiting rebus. "Aku pasti mendapatkanmu, Dahlia. Segera!" Putra mengangkat sudut bibirnya. Arya berhenti di halte terdekat dengan kantornya. "Farhan, tolong jemput saya di halte bis nomer 3 dan jangan lupa bawakan baju ganti." Arya menelpon Farhan, sekretarisnya untuk menjemputnya. Dia hanya senyum-senyum sendiri teringat kelakuannya. Bagaimana seorang Arya Hadi Kusuma, yang selama ini dikejar-kejar wanita cantik menjadi seperti orang bodoh hanya demi seorang gadis. Sebuah mobil hitam berhenti di depan Arya. Terlihat seorang pria keluar dan membukakan pintu untuknya. Arya pun masuk dan mengganti kaos yang tadi dipakainya dengan setelan jas yang dibawakan sekretarisnya. Farhan yang sebenarnya penasaran ada apa dengan bosnya hanya bisa diam tanpa mengutarakan isi pikirannya. "Kamu nggak mau tahu apa yang aku lakuin, Han?" Arya seolah tahu isi pikiran Farhan. "Saya tidak memiliki hak untuk bertanya, Tuan," jawab Farhan kaku. "Kamu nggak usah kaku gitu, Han. Kan aku udah pernah bilang kalo lagi gini, kamu nggak perlu kaku dan formal. Anggap saja kita temen. Kamu 'kan tahu sendiri aku hampir nggak punya temen cerita untuk berbagi." "Mana bisa begitu, Tuan--" "Udah ... udah. Jangan panggil tuan kalo cuman berdua." "Baik, Tu- eh Arya." Farhan menyanggupi perintah bos-nya. Sebenarnya agak canggung juga kalo mesti manggil nama aja. Tapi mau bagaimana lagi, itu udah perintah bos-nya. Farhan segera melajukan mobil menuju ke kantor. Semua karyawan menunduk ketika Arya berjalan melewati mereka. Dia menuju lift khusus untuk CEO yang berbeda dari lift untuk karyawan. "Farhan, apa urusan kemarin sudah kamu bereskan?" tanya Arya ketika mereka hanya berdua di dalam lift. "Sudah, Arya," jawab Farhan singkat. "Kerja bagus." "Oh, iya, Arya. Sepertinya kakak Anda membayar orang untuk memata-matai Anda." "Biarkan saja, Han. Selama tidak mencelakakan aku, aku akan membiarkannya. Dia satu-satunya saudara yang aku punya." Arya memalingkan wajahnya dan menatap keluar jendela mobilnya. *** "Kakak. Ayo main sepeda," rengek Arya kecil. Kakaknya dengan sabar menuntunnya menaiki sepeda. Dia belum bisa menaiki sepeda tapi keras kepala ingin menaikinya. "Pelan-pelan saja, Arya. Kakak akan megangi kamu," ucap gadis kecil yang hanya berjarak tiga tahun dari adiknya itu. Dari dalam rumah, ibu mereka mengawasi dari balik kaca dapur. Sesekali dia tertawa melihat kelakuan kedua anak kesayangannya itu. Ingatan Arya berselancar ke waktu itu. Baginya saat itu adalah saat terbahagia. Di kala ibunya masih ada dan kakaknya begitu menyayanginya. *** Dahlia dan Putra hari ini mendapat tugas lapangan mendampingi Wiwid. Suasana stadion itu cukup panas. Dahlia dan Wiwid menunggu di kursi penonton sambil mengamati jalannya pertandingan. Sesekali mereka berdua mencatat di buku, sedang Putra siap dengan kameranya membidik posisi yang sesuai. Wiwid dengan telaten menjelaskan kepada mereka hal-hal penting yang dimasukkan dalam beritanya. Dahlia dan Putra memperhatikan dengan seksama. "Panas sekali," kata Dahlia sambil mengibas-ibaskan tangannya agar wajahnya terkena sedikit angin. "Nih!" Putra menyerahkan satu botol air mineral pada Dahlia, lagi-lagi wajah Dahlia memerah karena perhatian Putra. Manis sekali bukan? katanya dalam hati. Untung Wiwid sedang ke kamar mandi, kalau tidak pasti Wiwid bisa melihat dengan jelas kalau wajahnya sudah seperti udang goreng. Tepat pukul tujuh malam Dahlia meninggalkan kantor. Badannya terasa sangat capek. Karena baru kali ini dia bertugas di luar. Intan sepertinya sudah pulang dari sore tadi. Dia berjalan sendirian menuju pintu depan. "Tin ... tin ... tin ...!" Terdengar bunyi klakson mobil yang tepat di depannya. Dahlia sangat hapal mobil itu. Mobil yang selama ini selalu memberi tumpangan padanya dan Intan. "Ayo, masuk!" ajak seseorang dari dalam mobil. Dahlia tampak ragu-ragu. Di samping karena dia sendirian, biasanya ada Intan di antara mereka jadi Dahlia nyaman-nyaman saja. Dahlia merasa ini akan menjadi canggung bagi mereka berdua, tepatnya bagi dirinya. Karena dia mulai baper dengan perhatian Putra. "Duluan aja, Put. Ada sesuatu yang harus aku beli." Dahlia mencari alasan agar bisa menolak ajakan Putra. "Yakin?" " Iya. Kamu duluan aja." Dengan tampang sedikit kesal Putra melajukan kemudinya. Sok jual mahal banget, sih, gumamnya dalam hati. Dahlia melanjutkan langkahnya. Hari sudah gelap, tapi jalanan itu masih saja ramai. Dahlia berhenti di sebuah warung mie ayam dekat kantornya. Dia masuk ke dalam warung. Dilihatnya tidak ada pembeli. Bapak-bapak penjualnya duduk di pojokan sambil melantunkan ayat suci Al-Quran. Mungkin dia belum menyadari bahwa ada pembeli yang memasuki warungnya. Dahlia masih terdiam, entah kenapa hatinya merasa tenang mendengar lantunan si bapak. Dia duduk di salah satu kursi dan mulai memejamkan mata. Hatinya damai, pikirannya sejenak beristirahat dari masalah yang dihadapinya. "Eh, ada pembeli rupanya." Si bapak mulai tersadar dengan keberadaan Dahlia. Mendengar suara si bapak Dahlia membuka matanya. Dia tersenyum ke arah bapak penjual mie ayam itu. "Kenapa tidak bersuara, Neng?" tanya Si Bapak sambil meletakkan Al-Quran nya. "Takut ganggu ngajinya, Pak," kata Dahlia. "Enggak apa-apa, Neng. Dari pada Neng-nya nunggu kelamaan." Si bapak mulai meracik mie ayam untuk Dahlia. "Minumnya apa, Neng?" "Teh anget aja, Pak." Dahlia menikmati mie ayam di depannya. Rasanya enak, pas dengan lidahnya. Dia memakannya dengan lahap. Makan enak emang bisa bikin mood membaik. Setelah membayar, dia berjalan menuju halte bus. Cukup lama dia menunggu bus yang lewat. Tidak banyak orang di halte itu. Hanya dia dan tiga orang lainnya. Akhirnya yang ditunggu pun tiba. Dahlia memasuki bus itu dari pintu belakang. Dilihatnya seseorang yang tadi pagi naik bus dengannya. Dia mendekati tempat Arya duduk, "Kebetulan lagi, ya, kita bisa bareng gini." Dahlia mengambil tempat duduk di sebelah Arya. Lumayan ada temen ngobrol. "Iya. Kebetulan banget, ya," ujar Arya. Dahlia tidak tahu saja yang sebenarnya. Arya tersenyum ke arah Dahlia yang dibalas dengan senyum manis gadis itu. "Kamu kerja atau kuliah?" "Aku kerja di gedung sebelah tempat kerja kamu." Arya merasa bersalah terus berbohong dengan gadis itu, tapi untuk jujur juga tidak sanggup. Dari dalam tas Dahlia terdengar bunyi handphone yang lumayan keras. Diambilnya benda pipih itu dari dalam tasnya. Terpampang kata 'paman' di layar handphone-nya. "Halo, Assalamu'alaikum, Paklek." "Wa'alaikumsalam, Lia." "Kenapa, Paklek?" Wajah Dahlia memancarkan kekhawatiran tentang kondisi bapaknya. Arya memperhatikan mimik wajah gadis di sampingnya itu, betapa ingin dia menghapus kesedihan yang terpancar dari matanya. "Kamu jangan kaget ya, Lia" Dahlia menguatkan hatinya tentang apa yang akan disampaikan pamannya. Tak terasa air matanya mulai menetes.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD