Netra Laras menyapu sekeliling. Kenapa sudah tidak ada orang.
"Tadi aku nyuruh nunggu di sini, aku mau nyari Mbakyu dulu. Tapi mana orangnya?" Hanya dilihatnya Wira yang masih di posisinya. Sedang Darti terus menangis di samping suaminya itu.
"Malaikat apa yang kamu maksud? Masmu masih hidup gini kok. Aku beneran takut terjadi apa-apa dengan Mas Wira. Kamu bikin orang jantungan saja, Laras. Kamu celingukan gitu nyari apa?" tanya Darti yang melihat adik iparnya itu malah seperti orang yang sedang kebingungan.
"Gini, Mbakyu." Laras menatap Darti serius. "Tadi ada pria muda kesini. Orangnya ganteng, tinggi gitu lah. Dia bilang....."
"Bilang apa?!" Darti semakin penasaran karena Laras menghentikan kalimatnya.
"Dia bilang, biaya operasi Mas Wira sudah dibayarkan. Saking senengnya aku tadi langsung lari nyari Mbakyu dan dia aku suruh nunggu di sini, tapi kok nggak ada." Seperti orang kebingungan, Laras hanya bisa celingukan mencari sosok yang dilihatnya tadi. Tapi nihil
Mendengar ada orang yang membayarkan biaya operasi suaminya yang begitu besar, seketika lutut Darti menjadi lemas.
"Alhamdulillah," ucap Darti lirih. Hampir saja dia ambruk kalau saja Laras tidak menahan tangannya.
"Mbakyu, kamu nggak papa 'kan?" tanya Laras cemas. Dituntunnya kakak iparnya itu ke arah sofa yang berada di sudut ruangan. Darti pun duduk disusul Laras.
"Kamu tidak bercanda 'kan, Laras?" Masih tak percaya dengan apa yang barusan Laras katakan, Darti mengguncangkan lengan adik iparnya itu.
"Sumpah demi Allah, Mbak. Aku tidak bohong. Kalo tidak percaya, kita tanya yang di administrasi saja. Ayo!" Mereka berdua pun segera beranjak menuju resepsionis di pintu masuk. Dengan tergesa-gesa, Laras ingin membuktikan ucapannya bahwa itu bukan sebuah kebohongan. Iapun menarik tangan Darti agar mengikutinya.
Suasana sore itu sudah tak sepadat pagi tadi. Hanya ada beberapa antrian yang masih menunggu gilirannya. Setelah melewati poli kandungan akhirnya mereka tiba di meja resepsionis.
"Mbak, saya mau bertanya tentang pasien yang bernama Wiratmaja." Laras mengatur nafasnya. Si resepsionis masih menanti kalimat selanjutnya.
"Apa benar sudah ada yang membayarkan biaya rumah sakitnya?" sela Darti. Dia rupanya sudah tidak sabar mengetahui kebenarannya.
"Sebentar ya, Ibu. Saya periksa dulu," ucap resepsionis itu ramah. Dia mulai melihat layar komputernya untuk memenuhi permintaan keduanya. "Memang benar, Ibu. Pasien atas nama bapak Wiratmaja memang sudah terbayarkan lunas semua biaya perawatan dan operasinya. Beliau bisa segera dioperasi."
Lutut Darti melemas. "Alhamdulillah ... alhamdullilah ...." Tak henti-hentinya dia berucap syukur kepada Allah karena telah mengirimkan malaikatnya untuk membantu suaminya. Seketika di tempat itu Darti melakukan sujud syukur, tanpa peduli sekitar.
"Mbak, kalo boleh tahu siapa yang membayar?" ucap Laras penasaran. Sampai saat inipun keduanya tidak tahu siapa yang telah membayarkan uang sebesar itu.
"Mohon maaf, kalau masalah itu saya kurang tau, Bu."
"Ya sudah, Mbak. Terima kasih, ya," ucap Laras seraya menuntun kakak iparnya yang melemas itu menuju ruangan suaminya dirawat.
"Sekarang sudah percaya, kan?" Darti mengangguk. Netranya basah oleh air mata yang tak kuasa ditahannya. Air mata syukur bahwa ada kemungkinan suaminya untuk sembuh.
***
Kuatkan hatimu, Lia. Dahlia mati-matian menahan air matanya. Ini masih di tempat umum. Dia tak mau jadi pusat perhatian orang banyak. Walau tanpa dia sadari, pria di sampingnya tak henti memperhatikannya dari tadi. Dia tak kalah cemas dengan gadis itu. Melihatnya sekacau itu membuat hati Arya ikut sakit. Ingin segera dia merengkuhnya dan membenamkan wajah gadis itu dalam dekapannya.
"Paklek cuma mau kasih tahu. Kalo biaya operasi bapak kamu sudah dibayar." Seketika tangis Dahlia berhenti. Matanya membulat sempurna. Tanpa sadar dijatuhkannya handphone di tangannya. Perasaannya campur aduk antara bahagia, kaget, dan yang pasti bingung.
"Kamu kenapa, Dahlia?" tanya Arya yang masih duduk di sebelahnya. Dia begitu khawatir melihat kondisi Dahlia yang terlihat shock. Diambilkannya handphone yang sudah pindah posisi di lantai bus. Diberikanya pada Dahlia. Dengan tangan gemetar diambilnya handphone dari tangan Arya.
"Lia ... Lia ... Lia ... kamu masih di situ?" Sepertinya pamannya khawatir karena tiba-tiba Dahlia tidak menjawab panggilannya.
Dahlia menghirup nafas panjang berusaha menghilangkan keterkejutannya.
" Lia masih di sini , Paklek. Tapi siapa yang sudah berbaik hati, Paklek?" tanya Dahlia masih dengan suara bergetar. Apakah ini mimpi? Dia berusaha mencubit pipinya sendiri, "Awww." Sakit, berarti ini nyata.
Arya belum berani bertanya lebih lanjut tentang apa yang terjadi pada Dahlia. Dia hanya bisa mengamati Dahlia yang kelihatan shock. Kabar apa yang membuatnya terguncang? tanya Arya dalam hati.
"Ada cowok gagah, Lia. Tinggi, ganteng, masih muda. Itu kata bulekmu, soalnya yang lihat cuma dia. Ibumu sendiri juga tidak lihat." Pikiran Dahlia mulai menebak-nebak siapa orang itu.
"Apa dia bilang sesuatu, Paklek?" Sikap Dahlia sudah mulai tenang, tangisnya pun sudah berhenti. Dalam hatinya dia mulai bertanya-tanya tentang siapa yang menjadi malaikatnya.
"Bulekmu belum sempat bertanya. Saat bulekmu mencari ibumu, orangnya sudah pergi. Jadi, kami tidak tahu apa-apa tentang orang itu."
Bus sudah mulai berjalan. "Aku lagi di jalan, Paklek. Sambung nanti lagi, ya, setelah Lia sampai di kos."
"Ya udah, Lia. Paklek tutup dulu, ya. Ini lagi di rumah sakit. Paklek suruh ibu kamu tidur di rumah. Kasihan dia dua hari ini belum tidur. Paklek masuk dulu. Takutnya bapak kamu nyariin."
"Baiklah, Paklek. Sampein salam buat bapak ama ibu. Dahlia kangen. Assalamua'laikum."
Dahlia bisa bernafas lega, meski semua ini masih menyisakan misteri. Bus mulai berjalan setelah sebelumnya menunggu penumpang penuh. "Eh, maaf." Dahlia yang melupakan keberadaan Arya pun mulai menyadarinya.
"Kamu nggak papa?" tanya Arya yang sudah menyimpan rasa penasarannya sedari tadi. Gadis di sebelahnya hanya menggeleng sambil tersenyum. Arya menggenggam tangannya sendiri agar tubuhnya tidak oleng karena senyuman Dahlia.
"Kalo ada apa-apa, kamu bisa cerita padaku. Siapa tahu aku bisa bantu. Kalaupun tidak bisa membantu minimal hati kamu lega karena ada yang bisa diajak bicara." Kedua netra mereka bertemu. Arya mati-matian menyembunyikan kegugupannya.
"Terima kasih, Arya. Tapi masalahnya sudah terselesaikan, kok. Aku sekarang hanya berharap operasinya lancar."
"Siapa yang akan dioperasi?"
"Bapak. Beliau sakit, ada sumbatan di pembuluh darah otaknya. Harus segera dioperasi. Semoga operasinya berjalan lancar." Kedua mata Dahlia menatap kosong ke depan. Ada perasaan lega sekaligus khawatir di sana. Dia menghela nafas seakan membuang jauh masalahnya.
"Aku tadi khawatir. Kamu sepertinya shock setelah menerima telefon. Kita berdoa saja semoga semua berjalan lancar. Dan ayah kamu bisa segera sembuh," ucap Arya tulus.
"Oh, aku sudah sampai." Dahlia segera beranjak dari tempatnya duduk.
"Dahlia!"
"Hmmm." Dahlia menoleh ke arah pria tampan yang memanggilnya.
"Hati-hati."
"Baik. Terima kasih."
Arya menatap punggung Dahlia yang mulai menghilang dari penglihatannya. Gadis itu telah membuatnya bertingkah seperti remaja labil yang sedang jatuh cinta. Dikeluarkan gawai yang berada di kantong jaketnya.
"Farhan, jemput aku? Aku akan kirim lokasinya ke kamu." Arya pun turun di halte yang tidak jauh dari halte yang untuk turun Dahlia. Dia berdiri sambil mengetikkan sesuatu di handphone-nya. Tak berapa lama ada mobil hitam yang berhenti di depannya. Seorang pria keluar dari mobil dan dengan sigap membukakan pintu untuk atasannya itu.
"Farhan, kamu pernah jatuh cinta?"
"Saya ... ehmm--" Yang ditanya hanya gelagapan. Farhan sendiri selalu sibuk bekerja hingga tidak memikirkan tentang cinta. Adiknya berjumlah tiga orang dan semuanya masih membutuhkan banyak biaya. Ibunya menjanda sejak dia masih di bangku SMA.
Sebagai anak pertama, bagaimana bisa dia memikirkan cinta sedangkan ibunya masih berjuang menghidupi adik-adiknya.
"Aku tahu kamu pasti juga belum pernah pacaran. Kelihatan, kok." Farhan hanya nyengir karena memang benar yang dikatakan bosnya itu.
"Aku udah kayak orang gila aja, Han. Di dekatnya saja sudah membuatku sangat gugup. Ternyata jatuh cinta itu semenyiksa ini." Arya menghela nafas panjang. Pikirannya melayang jauh ke awal dia bertemu Dahlia.
Farhan melirik bos-nya lewat spion depan kemudinya. Belum pernah dia melihat bos-nya sefrustasi ini. Biasanya Arya selalu terlihat percaya diri dan tidak kenal takut. Bahkan saat rapat dengan investor besarpun, Arya selalu percaya diri dan tidak menunjukkan kegugupannya. Tapi saat berinteraksi dengan gadis yang bernama Dahlia itu, bos-nya menjadi pribadi yang lain. Bucin, seperti para pria di drama Korea.
Suasana malam itu di ibu kota masih saja ramai. Mobil Arya sudah setengah jam tidak beranjak dari tempatnya. Arya melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Jarum kecil menunjukkan angka sembilan dan yang besar tepat di angka dua belas.
"Apa gadis itu sudah sampai tempat kosnya, ya," monolog Arya di tengah kekhawatiran tentang Dahlia.
"Mungkin Anda perlu meneleponnya?" usul Farhan melihat kegelisahan bosnya itu. Arya menimang-nimang usulan bawahannya itu. Dikeluarkan benda pipih dari kantong jumper-nya. Ditekannya tombol telepon, dicarinya kontak yang bernama Dahlia.
Cukup lama dia menatap layar gawainya. Sesekali dia menarik nafas panjang kemudian dilepaskannya perlahan. Farhan tersenyum geli melihat kegalauan Arya.
Ternyata bisa galau juga lelaki kaku itu, katanya dalam hati.
"Halo. Assalamu'alaikum." Arya masih mengatur nafasnya. Keringat dingin menetes di sela-sela pelipisnya. Farhan melirik dari balik kemudinya. Dia hanya geleng-geleng melihat bosnya itu tampak sangat gugup. Tidak seperti citranya selama ini yang terkenal dingin dan kaku.
Malam ini dia melihat sisi tersembunyi dari seorang Arya Hadi Kusuma. Dan sisi itu muncul hanya ketika berhadapan dengan seorang gadis yang bernama Dahlia. Farhan menggeleng-gelengkan kepalanya tidak mengerti. Sedahsyat itukah pengaruh dari yang namanya cinta. Ia bergidik ngeri ketika membayangkannya.
"Aku tak mau berurusan dengan yang namanya cinta," gumam Farhan lirih.
"Halo .... Assalamu'alaikum." Dahlia mengulangi salamnya.
"Wa-'alaikumsalam." Arya mengontrol degup jantungnya. Dengan lidah kelu dia akhirnya menjawab salam Dahlia. Kenapa masih saja gugup ketika berurusan dengan gadis itu? Arya masih bertanya-tanya, benarkah ini yang dinamakan cinta?
"Maaf. Ini siapa ya?"
"Ehm ... ini aku, Arya."
"Oh .... Ada apa, Arya?"
"Kamu sudah sampai kos? Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Waktu kamu turun kamu terlihat sangat pucat. Aku sangat khawatir." Sesekali Farhan melirik dari balik kemudinya. Dia memperhatikan mimik wajah bos-nya itu yang berubah-ubah. Kadang tersenyum, kadang cemas, kadang gelisah. Semua berubah hanya dalam hitungan detik. Sungguh nggak konsisten.
"Alhamdulillah. Aku sudah sampai kos dan aku baik-baik saja. Terimakasih atas perhatianmu. Kamu sendiri masih di dalam bus atau sudah sampai rumah?" Arya tidak tahu bahwa gadis yang sedang diteleponnya itu juga mengeluarkan semburat merah di pipinya.
"Ehm ... aku masih ... di jalan." Arya merasa tidak berbohong dengan menjawab masih di jalan, karena memang dia masih di jalan meski sekarang berada di dalam mobil pribadinya bukannya di dalam bus.
"Aku tutup dulu. Hampir sampai. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Arya menghembuskan nafas lega. Gadisnya itu baik-baik saja. Saat memikirkan bahwa dia menyebut Dahlia sebagai gadisnya lagi-lagi sekitar pipi dan telinganya memanas. Dikibas-kibaskan tangannya ke arah wajah seakan udara yang mulai memanas. Padahal AC mobil dalam keadaan baik-baik saja dan lumayan dingin.
Apakah seperti ini cinta?