Dari luar, kediaman itu tampak seperti istana. Di gerbang depan terdapat pilar-pilar yang menjulang tinggi mengukuhkan kedigdayaan sang pemilik. Bukan orang biasa tentunya.
Saat gerbang dibuka, ada jalan beraspal yang di kiri dan kanannya sengaja ditanami pepohonan sebagai penghijaunya. Beraneka bunga sebagai penghias pekarangan yang teramat luas itu tertata sangat rapi dan terawat.
Beberapa pekerja memang dikhususkan sebagai tukang kebun di rumah itu. Ada seorang pria usia pertengahan lima puluhan sedang duduk di teras depan rumah itu. Di sampingnya dengan setia berdiri seorang pria akhir dua puluhan yang siap menjalankan apapun yang diperintahkan kepadanya.
"Dirga!"
"Ya, Tuan," jawab pria yang ternyata bernama Dirga itu.Dia menundukkan kepalanya patuh.
"Bagaimana tugas yang kuberikan pada Arya?" Lelaki setengah abad itu menoleh ke arah sekretarisnya. Tubuhnya yang ringkih kontras dengan usianya yang belum sepenuhnya tua. Penyakit jantung yang dideritanya menggerus usia yang sebenarnya.
"Saya mengamati Tuan Muda Arya seperti permintaan. Beberapa detektif sudah saya sebar untuk mengawasi selama dua puluh empat jam." Hadi Kusuma manggut-manggut mendengarkan narasi Dirga.
"Sepertinya Tuan Muda sedang jatuh cinta dengan seorang gadis." Hadi Kusuma tertawa bahagia mendengar penjelasan sekretarisnya itu.
"Aku sangat khawatir dengan orientasi seksualnya. Belum pernah sekali pun melihatnya bersama seorang gadis. Tapi sepertinya aku tidak perlu khawatir lagi." Masih tersisa raut kebahagiaan di wajah tuanya itu.
"Bagaimana gadis itu?"
"Dia anak tunggal dari pemilik bengkel di Jogja, tempat asal gadis itu."
"Jogja ...." Kenangan pria tua itu melanglang saat dirinya bertemu dengan almarhumah istrinya, di Stasiun Tugu Jogja. Bibirnya mengulas senyum saat mengingat pertemuan pertama itu.
"Ini data-datanya." Dirga menyerahkan sebuah amplop coklat yang di dalamnya terdapat informasi tentang gadis yang merebut hati Tuan Mudanya itu.
Perlahan Hadi mengambil kertas yang tersembunyi di balik amplop itu.
"Dahlia Wiratmaja." Hadi mengamati satu persatu tulisan yang terpampang di kertas itu.
"Ayahnya sedang sakit?!" Netra Hadi menatap ke arah sekretarisnya seakan meminta jawaban.
Dirga hanya mengangguk pelan sebagai jawaban atas pertanyaan tuannya itu.
"Bagaimana keseharian gadis itu? Apa dia cukup baik untuk Arya?"
"Sejauh penyelidikan anak buah saya, dia gadis yang baik dan tidak suka neko-neko. Gadis itu juga belum pernah terlihat terlibat dengan pria mana pun dan juga ...." Dirga menghentikan kalimatnya dan membuat pria tua di sampingnya mengerutkan kedua alisnya.
"Gadis itu bekerja sebagai bawahan Tuan Muda Arya di HDK TV." Hadi hanya manggut-manggut .
"Apakah mungkin gadis itu tahu jika Arya adalah CEO di sana?"
"Tuan Muda sepertinya merahasiakan hal tersebut, Tuan." Dirga mulai melaporkan semua informasi yang anak buahnya dapat, termasuk Arya yang sering mengatur pertemuan yang seolah tidak disengaja dengan Dahlia. Mendengarnya, Hadi hanya senyum-senyum membayangkan tingkah absurd pewarisnya itu.
"Dasar anak telat puber," gumam Hadi pelan. Pipinya ikut memerah saat tahu kelakuan anak lelaki satu-satunya itu.
Hadi memasukkan lagi berkas di tangannya.
"Pastikan semua berjalan lancar, Dirga. Baru kali ini kulihat sinar berbeda di mata anak laki-lakiku itu. Lalu masalah ayah gadis itu, selesaikan semuanya. Aku ingin gadis itu bisa menerima Arya."
"Baik, Tuan." Dirga mengangguk patuh atas perintah bos-nya itu.
Hadi terkekeh pelan mengingat anak lelakinya menunjukkan ketertarikan terhadap wanita. Dia sangat penasaran dengan gadis yang bernama Dahlia itu. Kalau masalah kecantikan memang dilihat dari fotonya, gadis itu sangat cantik. Hadi ingin lebih mengetahui tentang kepribadiannya.
Pandangan Hadi Kusuma melanglang ke hamparan hijau di depannya. Benar, rumahnya itu sangatlah luas. Sebuah rumah yang memiliki fasilitas seperti hotel bintang lima.
Ada sebuah kolam renang di bagian belakang, di samping kanan ada lapangan golf pribadi, sedang di samping kanan ada helipad. Sayang rumah sebesar itu harus ditinggali sendiri. Joana dan Arya memilih tinggal di apartemen meninggalkan ayahnya sendiri di rumah itu. Hanya ditemani para asisten rumah tangga yang memang diharuskan menginap.
Sebenarnya impian mudanya dulu tak seperti ini. Di masa tuanya ia ingin hidup berbahagia bersama istri dan anak-anaknya. Tapi, takdir berkata lain. Saat usahanya mulai stabil, istri tercintanya harus menghadap Sang Pencipta meninggalkannya dengan kedua anaknya. Hatinya hancur saat itu, impiannya musnah sudah.
Setelah kematian istrinya, yang ada dalam pikiran seorang Hadi Kusuma hanya bekerja dan bekerja. Dia sangat fokus membesarkan usahanya hingga kadang abai terhadap anak-anaknya.
Tanpa sadar Joana sudah dapat pengaruh buruk entah dari mana. Sifat dan sikapnya lambat laun berubah menjadi seseorang yang asing yang tidak dikenalinya lagi. Hanya Arya yang bertahan dengan pribadinya. Dan menuruni sifat dari istrinya itu.
Itulah penyesalan terbesar baginya, dia memperoleh kekayaan yang sangat berlimpah tapi harus kehilangan kasih sayang dari anak pertamanya itu.
Mengingat itu, Hadi melepas kacamatanya dan mengucek kedua matanya dengan ujung jari berusaha menahan tangisnya agar tidak pecah.
"Dirga ...." Hadi menoleh ke arah Dirga yang dibalas anggukan oleh pria itu.
"Antarkan aku ke pusara istriku."
"Baik."
Dirga segera berlalu dan mengambil salah satu mobil yang berjejer rapi di garasi. Dia menghentikan mobil tepat di depan Hadi. Dibukakannya pintu mobil untuk tuannya itu. Hadi segera masuk ke dalam mobil dan duduk tenang di kursi penumpang.
Di perjalanan hanya keheningan yang ada. Tidak ada suara yang keluar dari mulut keduanya. Dirga yang segan dengan tuan besarnya 'pun Hadi yang memang sedang tidak berniat untuk bicara.
"Mampir beli bunga dulu," ucap Hadi pada pria yang mengemudi di depannya.
"Baik, Tuan." Sampai di sebuah toko bunga Dirga segera menepikan mobil. Dia segera turun dan membukakan pintu untuk Hadi. Hadi berjalan masuk menyusuri bunga-bunga yang berjejer rapi tak lupa Dirga yang mengekor di belakang. Beraneka macam bunga indah menghiasi tempat itu.
Sampai di suatu tempat yang penuh bunga warna ungu kebiruan. Bunga kecil yang melambangkan kesetiaan dan cinta sejati, bunga forget-me-not. Hadi berhenti dan mengamati lama. Mirna, mendiang istrinya sangat menyukai bunga itu.
Tiba di area pemakaman, Hadi mengedipkan mata sebagai tanda bahwa dia akan masuk sendiri. Dirga dengan patuh menuruti tuan besarnya itu.
Suasana di area itu sangatlah sepi. Pohon kamboja tumbuh bebas di samping-samping makam. Tibalah di sebuah gundukan tanah yang sudah mengering. Di sebelahnya terdapat gundukan kecil dengan nisan tulisan tanggal kematian yang sama.
"Maafkan aku, Mirna." Hadi melepas kacamata dan mengucek kedua matanya dengan ujung jari. Dia mencoba menahan air mata yang serasa ingin terlepas dari bendungannya. Diletakkannya bunga forget-me-not itu di atas pusara mendiang orang terkasihnya.
"Bunga ini bunga kesukaanmu. Melambangkan kesetiaan dan cinta sejati." Simbol bunga itu sangat sesuai dengan perasaan Hadi. Semenjak kematian istrinya dia tidak pernah berniat menikah lagi. Hari-harinya tenggelam dalam penyesalan. Andai waktu itu dia tidak meninggalkan istrinya sendiri di rumah. Dia terus berandai-andai.
Mirna meninggal sesaat setelah melahirkan putri terakhir mereka, meski sang putri juga hanya bertahan beberapa jam setelah kematian wanita yang melahirkannya itu.
Di usia kehamilan yang menginjak minggu ke 27, istrinya itu terpaksa harus melahirkan putri mereka. Dia terjatuh dari tangga rumah mereka dan kehilangan banyak darah. Ketubannya pecah sedang di rumah tidak ada siapa-siapa. Kedua anaknya masih di sekolah dan Hadi, dia berada di luar kota untuk mengurusi bisnisnya yang semakin besar.
"Anak kita sudah dewasa. Dan sebentar lagi Arya akan menggantikan aku, sudah saatnya aku beristirahat." Dia menumpahkan segala kerinduan yang dipendamnya selama ini. Wanita pertama dan satu-satunya yang dia cintai. Yang melahirkan dua buah hati yang istimewa. Tangis Hadi pecah mengingat betapa singkatnya kebersamaan mereka.
Jika berbicara sebuah cinta sejati, mungkin cinta Hadi terhadap Mirna bisalah menjadi contoh. Tak terhalang kematian perasaan itu masihlah bersemayam di hatinya. Dua puluh tahun yang lalu, Hadi barulah berumur tiga puluh lima tahun. Masih terbilang muda untuk seorang duda.
Dengan tampang yang rupawan dan kemapanannya sangatlah mudah untuk mendapatkan cinta wanita. Tapi, hari-hari setelah kematian dia menenggelamkan dirinya dengan kesibukan membesarkan usahanya. Hingga usahanya bisa sebesar ini.
Tapi ada harga mahal yang harus di bayar. Hilangnya kelembutan dan kebaikan hati putri sulungnya itu. Jika mengingatnya, Hadi hanya bisa menangis.
"Anak-anak kita tumbuh sangat baik. Kamu tenang saja di atas sana. Aku yakin Arya akan menjaga kakaknya dengan baik." Diusapnya nisan istri yang sangat dicintainya lalu dikecupnya pucuk nisan itu.
"Kita akan segera bersama," monolog Hadi seiring berlalunya ia dari tempat itu.