*Dahlia PoV*
Hancur perasaanku sesaat setelah dapat kabar dari paklek tentang keadaan bapak. Tentang penyakitnya dan juga tentang nominal biaya rumah sakit yang angkanya bisa membuat mata melompat dari tempatnya. Aduh lebay banget deh kata-kataku.
Rasanya inginku berlari pulang dan tinggal di sisi bapakku saja. Jika saja Sarah tidak menenangkanku. Bicara tentang Sarah, dia adalah sahabat yang sudah aku anggap sebagai seorang kakak. Meski umurnya hanya selisih satu angka di atasku, namun aku menemukan sosok kakak yang selama ini aku bayangkan pada dirinya. Maklum aku adalah anak tunggal dan tidak memiliki siapa pun untuk berbagi.
Paklek bilang kalau bapak sakit dan butuh segera di operasi, tapi paklek sendiri tidak menjelaskan tentang penyakit bapak. Aku sendiri dalam posisi shock sehingga belum sempat menanyakan lebih lanjut.
Pagi ini rasanya tidak karuan. Di satu sisi aku sangat khawatir tentang bapak. Di sisi lain, aku juga harus bisa mendapatkan uang itu. Meski dengan langkah gontai aku tetap berjalan menuju tempat kerja yang baru seminggu ini kudatangi.
Seperti biasa aku akan naik bus dan hari ini aku memilih untuk duduk di dekat jendela. Aku ingin pikiran burukku tersapu pemandangan yang akan silih berganti mengikuti laju kendaraan.
"Hai!" Seseorang membangunkanku dari lamunan. Kuingat-ingat siapa dia, ternyata pria yang semalam kutemui di minimarket. Kenapa dia naik bus, bukannya dia punya mobil?
"Hai, juga." Hanya kata itu yang sanggup keluar dari mulutku, rasanya kikuk dan canggung. Baru kali ini aku berhadapan langsung dengan laki-laki. Saat sekolah dan kuliah pun aku sangat menghindari laki-laki. Bukan karena aku tak normal, tapi lebih karena aku terlalu malu berurusan dengan kaum Adam.
Kenapa dia malah duduk di sebelahku dan perasaan apa ini. Kenapa jantungku berdetak begitu cepat? Jangan-jangan aku punya penyakit jantung. Sebenarnya keringat dingin sudah mulai bergulir dari pelipisku, tapi segera kunetralkan dengan menghirup nafas dalam-dalam.
"Kok, kamu naik bus?" Kucoba mencairkan suasana yang sedikit kaku. Karena sepertinya dia juga merasakan hal yang sama.
Obrolan-obrolan ringan pun meluncur dari mulut kami. Dia terus mengatakan hal-hal garing yang membuatku mau tak mau harus mengulas senyum. Setelah pikiranku yang menjelajah entah ke mana, gurauannya benar-benar bisa membuatku tersenyum lagi.
Baru kutahu nama pria itu Arya. Kalau dihitung ini termasuk pertemuan ketiga kami. Pertama, saat mobil dia rusak. Kedua, semalam di minimarket, baru ingat semalam dia juga minta nomer hapeku. Aku tersipu mengingatnya, tapi aku sama sekali tidak ke-geer-an kok. Hanya saja belum pernah ada cowok yang minta nomer hapeku. Gak percaya, kan? Suer, deh, beneran baru sekali ini doang.
Tak berselang lama akhirnya aku harus turun di halte depan kantorku.
"Aku turun dulu." Hanya kalimat itu yang terucap untuk menandakan perpisahan kami. Drama banget, ya, pake perpisahan segala. Jangan kaget, ya, aslinya aku tak sekalem kelihatannya. Emang aku terlihat kalem, ya? Kalau udah kumpul ama temen, aku juga bisa somplak juga.
Turun dari bus aku teringat tentang bapakku lagi. Setelah sebelumnya sedikit terhibur dengan kegaringan Arya, tapi setidaknya sudah ada andil untuk membuatku tersenyum. Jadi, ketika melewati Pak Satpam di depan kantor aku tetap menyapanya. Kasihan 'kan kalo nggak disapa. Dia 'kan nggak tahu masalahku masak mau ikut didiemin.
Pak Satpam sampai hafal denganku, karena setiap hari jika berpapasan aku tak lupa untuk menyapanya. Kedua orang tuaku mengajari agar selalu beramah tamah terhadap orang lain. Dan ajaran itu selalu membekas dalam setiap perbuatanku.
"Hai! Lia. Muka kamu kok ditekuk gitu?" Nih satu lagi temen cowok yang lumayan dekat sama aku, namanya Putra. Meski hanya sebatas rekan kerja. Putra termasuk dalam kategori tampan menurutku, tapi masih di bawah pria yang ketemu di bus tadi, sih. Kok aku malah jadi ngebandingin gini, sih.
Apakah pagi ini wajahku dapat terbaca? Kenapa semua yang melihatku menegur tentang raut mukaku. Nggak Arya, nggak Putra.
Putra tipe cowok yang manis dan supel. Dia sering menunjukkan perhatiannya padaku. Meski, sama Intan juga baik ,sih. Cowok satu ini sering membuatku tersipu malu karena perhatiannya. Tapi perasaanku biasa saja, sih. Nggak ada gregetnya gitu. Beda kalo ama ....
Putra mengingatkan bahwa nanti ada tugas lapangan sama Mbak Wid.
Ah! Bagaimana aku bisa lupa, sih?
Kegiatan di luar ruangan sedikit mengalihkan pikiranku. Semangatku membara ketika mengingat uang yang harus aku dapatkan. Tapi, seketika mengendur lagi ketika tahu bekerja dua tahun pun tidak akan mendapat uang sebanyak itu.
Sudah waktu Dhuhur, aku tunaikan dulu kewajiban sebagai seorang muslim.
"Mbak Wid, aku ijin sholat dulu, ya." Aku minta ijin sama mentorku yang paling pengertian itu. Putra masih saja berkutat dengan kameranya, mencari objek bidikan yang tepat sebagai sumber berita.
Aku sengaja berlama-lama dalam sujudku, memohon pertolongan hanya pada-Nya. Dalam sujud terakhir, aku ber-nadzar ....
Ternyata bekerja langsung di lapangan sangat melelahkan. Sejak masuk seminggu lalu, baru kali ini kami kerja lapangan. Sangat menyita waktu dan tenaga.
"Lia, kamu coba, ya ... buat artikel yang tadi?" Aku hanya bergeming, tak tahu harus menjawab apa.
Apa aku bisa? kataku dalam hati.
"Kamu pasti bisa, Lia." Seolah mengerti isi pikiranku, Mbak Wid mengedipkan matanya.
"Dan kamu, Putra. Kamu pilih foto yang paling bagus, ya."
"Hwaiting! Kalian pasti bisa!" Mbak Wid mengangkat tangannya membentuk siku, memberi semangat pada kami. Akhirnya aku dan Putra pun memutuskan untuk lembur, dibimbing Mbak Wid. Karena artikel ini harus terbit besok pagi.
Tak kulihat Intan semenjak berada di kantor. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, tentunya Intan sudah pulang. Biasanya kami bertiga pulang bersama nebeng mobil Putra. Tapi, kalau berdua aku akan segan.
Sambil didampingi Mbak Wid, kami berdua menyelesaikan pekerjaan dengan baik. HDK TV juga memiliki platform berita online maupun offline, HDK News.
Tepat pukul tujuh malam pekerjaan kami selesai. Akhirnya pulang juga. Pundak rasanya pegal, dan mata jangan tanya karena sama saja.
Rasanya sepi pulang tanpa Intan, aku mesti jalan sendiri rasanya ngeri juga mana udah sepi lagi. Seharian ini pikiranku teralihkan, sejenak lupa tentang bapak. Apa aku keterlaluan, ya?
"Tin ... tin ... tin ...." Bunyi klakson mobil mengagetkanku. Lamunanku tentang bapak buyar. Kutengok siapa yang membunyikan klakson tepat di belakangku.
Putra!
Dia menyuruhku untuk ikut bersamanya. Tapi, seperti yang kubilang tadi bahwa aku segan jika mesti berdua. Aku nggak mau baper ama Putra. Karena sikapnya sangat manis, bisa membuat cewek mana pun klepek-klepek.
"Duluan aja, Put. Ada sesuatu yang harus kubeli." Akhirnya kutolak ajakannya dengan halus. Tanpa membalas lagi, Putra langsung melajukan mobilnya. Sempat kulirik tadi sepertinya gurat kekecewaan muncul di wajahnya. Apa artinya itu, kenapa dia mesti kecewa? Jangan-jangan?
Sudahlah belum penting mikirin itu. Yang pasti aku sedang mikirin bapak yang harus segera dioperasi. Kutimang-timang benda pipih yang berada di tangan. Haruskah kuhubungi paklek sekarang atau nanti? Nanti aja, ah. Waktu di rumah. Di jalan nggak baik telponan.
"Aku laper." Kuelus perutku yang sudah keroncongan. Sudah masuk jam makan malam, tapi karena banyak kerjaan aku sendiri lupa untuk mengisi perut.
"Sepertinya makan mie ayam enak." Akhirnya aku masuk ke dalam warung mie ayam dekat kantor. Sepi tidak ada pembeli. Kulihat bapak penjual mie ayam duduk di pojokan sambil melantunkan ayat-ayat Al-Quran. Hatiku perih mendengarnya, entah kapan terakhir kali aku mengaji. Seperti tersadarkan sebuah kelalaian yang telah kulakukan. Mendengarnya menenangkan gemuruh di hatiku. Aku memilih untuk diam dari pada memanggil bapak itu. Kudengarkan, kuresapi setiap bacaannya. Seperti sebuah oase di tengah gurun, menyejukkan.
Tanpa sadar mata terpejam mendengarkan lantunan yang merdu itu.
"Eh, ada pembeli rupanya." Aku terhenyak mendengar suara si bapak. Rupanya beliau sudah sadar tentang keberadaan ku.
Aku pun memesan satu porsi mie ayam dan satu gelas teh anget. Hmmm ... rasanya enak. Besok kapan-kapan aku ajak Intan ke sini. Pasti dia suka.
Selesai makan aku bergegas menuju halte bus terdekat. Lumayan lama aku menunggu bus datang, tak sadar kuayun-ayunkan kaki untuk mengusir rasa bosan. Hingga sebuah bus berhenti tepat di depanku. Aku masuk dari pintu belakang dan kulihat seseorang yang tadi pagi juga barengan naik bus.
Kudekati dia dan duduk di sebelahnya, lumayan dari pada sendirian. Kenapa kebetulan terus gini, ya, aku ketemu Arya?
"Kebetulan lagi, ya, kita bisa bareng gini." Akhirnya kubuka percakapan kami. Tapi kenapa kalo deket dia jantungku jadi kenceng banget, ya? Dahlia, wake up. Jangan berfikir lebih.
Kami pun ngobrol-ngobrol nggak penting. Rupanya dia kerja di gedung perkantoran sebelah HDK TV. Pantes sering banget ketemu. Jadi, jangan pikir macem-macem Dahlia, apalagi mikir kalo kalian itu berjodoh. Aku geli sendiri membayangkan pemikiranku yang kurang akhlak.
Di tengah pembicaraan basa basi kami tiba-tiba handphone-ku dari dalam tas bunyi. "Paklek!" Jantungku hampir mau meloncat keluar takut mendengar kabar buruk tentang bapak. Kusiapkan mental, kuhirup nafas panjang dan kuhembuskan pelan.
Bismillah, kataku dalam hati semoga dapat kabar baik dari paman.
Kutempelkan benda pipih itu di samping telinga, iyalah masak di kaki 'kan nggak banget. Nggak denger dong jadinya. "Halo, Assalamu'alaikum, Paklek."
Paklek bisa banget bikin perasaan nggak karuan. Nggak langsung to the point gitu, malah main tebak-tebakan. Sampai-sampai handphone bisa terlepas dari genggaman. Untung cowok di samping ini sangat peka. Dia bersedia mengambilkan handphone yang terjatuh dan memberikannya padaku. Meski dengan tangan gemetaran kuraih hp-ku kembali.
Mataku membulat gak percaya dengan apa yang dibilang paklek. Biaya rumah sakit bapak sudah dibayar oleh seseorang? Tapi nggak ada yang tahu siapa? Ini malaikat atau apa, kenapa baik banget? Apa jangan-jangan dia ada maunya? Tapi maunya apa? Aku dibuat bertanya-tanya tentang identitas malaikat itu.
Sampai-sampai bus berjalan aku tidak sadar. Sekilas kulirik Arya, dia masih menatapku seakan ada banyak pertanyaan yang ingin disampaikan padaku. Mungkin dalam hatinya kepo kenapa aku bisa seheboh itu.
Akhirnya aku dapat bernafas lega mendapat kabar dari paklek, meski suatu saat ada yang mengklaim kebaikannya, aku akan membalasnya. Siapa pun itu. Kamu adalah malaikat bagiku.