Sambil terisak seorang gadis kecil menatap kepergian ayahnya. Dia memeluk adiknya yang terus menangis.
"Ayah hiks ... pergi hiks ... lagi?" Gadis itu berlari merengkuh kaki ayahnya.
Mendapat perlakuan begitu dari anaknya, pria akhir tiga puluhan itu berjongkok agar posisinya setara dengan anak gadisnya.
"Ana, Ayah pergi untuk kalian. Agar kalian hidup enak. Jaga adikmu baik-baik. Ada Bik Siti, ada Tante Ratna juga." Dengan kedua tangannya dia mengelus pipi putrinya yang basah oleh air mata.
"Arya," panggilnya pada anak laki-lakinya. Kedua anak itu hanya terpaut usia tiga tahun.
Arya kecil menghambur ke pelukan ayahnya. Hadi Kusuma memeluk keduanya dengan sayang. Hanya merekalah kini yang ia punya. Dengan dalih demi masa depan kedua anaknya dia tenggelam dalam usaha membesarkan perusahaannya.
Kedua anaknya sering ditinggal ke luar kota. Di rumah mereka hanya tinggal dengan Bik Siti, pengasuhnya.
"Tapi 'kan Ayah kemaren baru pulang, kenapa pergi lagi?" protes Joana pada ayahnya. Arya hanya bisa menangis tanpa mengucapkan apa pun. Tangis mereka pun semakin kencang.
"Ana, kamu mau boneka?" Ana kecil pun mengangguk.
"Arya mau dibelikan mobil remote tidak?" Sekarang pandangan Hadi beralih ke anak laki-lakinya itu yang dibalas anggukan.
Hadi mengusap kepala kedua anaknya dengan sayang, sungguh dia sangat menyayangi mereka. Tapi dia juga tersiksa jika melihat mereka, hanya mengingatkannya pada Mirna, mendiang istrinya.
Wajah Joana yang bagai duplikat ibunya itu, membuat Hadi terus menangis jika melihatnya. Perasaan cinta dan rindu yang takkan bisa terobati lagi ditambah rasa bersalah yang terus mendera.
Mengingat itu matanya mulai berkaca-kaca. Hadi berdiri dan menengadahkan wajahnya ke atas agar air matanya tak tumpah.
"Ayah pergi dulu, ya." Hadi melepas pegangan kedua anaknya.
"Bik. Bik Siti!" Pengasuh itu pun segera menghadap tuannya.
"Tolong jaga Ana dan Arya, ya," pesan Hadi pada wanita tua yang mengasuh kedua buah hatinya itu.
Tanpa menoleh dia berlalu menuju mobil yang sudah terparkir di depan pintu. Hatinya terlalu rapuh jika harus menoleh ke belakang. Seorang pria dengan sigap membukakan pintu mobil untuknya. Mobil segera melaju meninggalkan kediaman itu.
Dua anak manusia masih meraung-raung menangisi kepergian ayahnya. Bik Siti sebenarnya tidak tega melihat keduanya. Tapi dia hanya orang yang dibayar, tidak mungkin dia ikut campur dengan keluarga itu. Dia meraih keduanya dalam dekapan. Dia menyayangi kedua anak majikannya layaknya anak sendiri.
"Mari kita masuk Tuan, Nona." Bergantian dia menatap keduanya. Dituntunnya anak-anak itu masuk ke dalam rumah.
Majikannya itu sekarang sangat gila kerja. Hari-harinya lebih banyak dia habiskan di luar kota untuk mengembangkan bisnisnya.
Saat Hadi pergi, biasanya Ratna-tante mereka- akan datang dan membawa mereka jalan-jalan. Ratna adalah adik Mirna, ibu dari Joana dan Arya.
"Non Ana sama Tuan Arya makan dulu, ya." Bik Siti mengambilkan keduanya makanan. Sepiring nasi goreng sudah tersaji di hadapan Joana. Dan untuk Arya, dia lebih suka telur dadar dengan kecap di atasnya.
Masih dengan sesenggukan mereka pun mulai menyantap makanan, meski tak selahap biasanya.
"Ana ... Arya! Tante datang." Dari arah pintu terlihat Ratna masuk dengan membawa sekantong plastik. Ana dan Arya berhamburan dalam pelukannya.
"Kalian kangen, Tante?" Kedua anak itu mengangguk.
"Tante ... hiks ... hiks ... ayah pergi lagi," adu Joana kecil pada adik ibunya itu.
Arya kecil hanyalah seorang anak yang pendiam, dia kurang bisa mengekspresikan emosinya.
"Tenang, kan ada Tante. Tante akan ajak kalian jalan-jalan. Arya juga nggak usah nangis, ya." Tangannya mengusap lembut pipi Arya yang masih basah dengan air mata.
Ratna menyayangi keduanya meski ada maksud lain di baliknya.
"Bik ... aku bawa Ana dan Arya ke rumah, ya. Bibik nggak usah ikut. Nanti sore aku antar pulang."
Bik Siti mengangguk patuh, karena pasti Ratna mengantar keduanya saat sore. Dan juga Ratna sudah minta ijin dengan Hadi Kusuma.
***
Dua wanita dari dua generasi duduk saling berhadapan di sebuah kafe. Keduanya terlihat sama-sama cantik. Meski salah satunya sudah berkepala empat, tapi masih terlihat anggun dan cantik. Tidak terlihat kerutan di wajah cantiknya itu.
"Gimana kabar ayah kamu, Ana?"
"Ayah mulai sakit-sakitan," jawab Ana singkat.
"Kak Hadi terlalu mencintai Kak Mirna."
"Aku lebih suka kalau ayah menikah lagi denganmu." Ana menyeruput minuman di hadapannya.
"Tapi ayahmu tidak mau." Wanita paruh baya itu tersenyum getir. Cintanya pada kakak iparnya tidak pernah terbalas.
"Dan Arya juga menolak," imbuh Ana. Ana selalu menginginkan ayahnya menikah lagi dengan Ratna, adik ibunya itu. Tapi cinta Hadi sudah melekat kuat di hati Mirna, istrinya. Hingga tidak ada sedikit pun celah untuk wanita lain.
Ratna memiliki perasaan lebih untuk suami kakaknya itu, tapi Hadi hanya menganggapnya sebagai adik, tidak lebih.
Ratna mengaduk-aduk sedotan dalam minumannya itu. Bibirnya menyunggingkan senyum mengingat kebodohannya waktu itu hingga sekarang. Sampai saat ini dia memutuskan untuk tidak menikah. Sama seperti Hadi yang hanya mencintai Mirna, Ratna juga hanya bisa mencintai Hadi dalam hidupnya.
"Tante! Kemaren Tante dari mana?" Joana terbiasa manja pada tantenya itu dan menganggapnya sebagai pengganti ibunya.
"Tante jalan-jalan ke Jepang." Ratna mengeluarkan sebuah kotak dari tasnya dan menyodorkan ke hadapan Joana.
"Apa ini?" Joana menimang-nimang bungkusan itu. Diguncangnya kotak itu karena penasaran.
"Buka aja. Kamu pasti suka."
Ratna dan Joana saling menyayangi layaknya ibu dan anak. Mereka saling bercerita tentang satu sama lain.
Ana membuka kotak itu dan mengeluarkan isinya. Matanya berbinar melihat isi di dalamnya.
"Kamu suka 'kan?" tanya Ratna melihat senyum yang mengembang di bibir Joana.
"Tante memang paling ngerti Joana."
Joana mengeluarkan benda dari dalam kotak itu dan meletakkan di pergelangan tangannya. Jam tangan limited edition dari salah satu merek terkenal dunia.
"Wow ...! Cantik sekali." Ratna mengambil tangan Joana dan mengamati jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan gadis itu.
"Tante tahu ini bakal cocok denganmu," ucap Ratna masih dengan matanya yang tak lepas dari pergelangan tangan keponakannya itu.
Joana tersenyum bahagia, dia merasa mendapat kasih sayang ibunya dari tantenya itu. Ya, meski kadang keinginan tak sesuai kenyataan dan cinta tak bisa dipaksakan.
Sekeras apa pun dulu dia berusaha menyatukan ayahnya dan Ratna, sekeras itulah ayahnya menolak pemikiran itu.
"Adik kamu baik-baik saja?" tanya Ratna singkat. Diletakkannya tangan Joana dan mulai mengaduk-aduk minumannya lagi.
"Hm .... Dia sangat baik. Dia anak kesayangan ayah." Pandangan Johana menjauh menatap orang berlalu-lalang yang terlihat dari dari dalam kafe. Tempat itu memiliki kaca di sekelilingnya. Jadi pengunjung dapat menatap ke arah luar dan melihat apa pun yang terjadi di sana.
"Bukankah dari dulu ayahmu seperti itu?" Tak tahukan bahwa kadang kata-kata seperti itu dapat mempengaruhi pemikiran yang mendengarnya. Bisa jadi usia Joana memang sudah menginjak angka tiga puluh tapi pemikiran tak selalu berbanding dengan jumlah angka.
"Tante benar. Dari dulu ayahku hanya menyayangi Arya. Bahkan dia mewariskan perusahaan ini pada Arya." Netra Joana mulai berkaca-kaca. Dia terbiasa menumpahkan isi hatinya pada tantenya itu. Dia merasa hanya tantenyalah yang menyayanginya selama ini.
"Kamu juga anaknya!" tegas Ratna.
"Ya, aku tahu. Makanya aku tidak akan begitu saja menerimanya. Aku tidak akan dengan mudah membuat Arya berada di posisinya." Terdapat kilatan di matanya. Emosinya membuncah mengingat ketidakadilan ayahnya itu.
Ratna mengangkat sudut bibirnya, dia tersenyum melihat kilatan kebencian di mata Joana. Sungguh rasa sayangnya pada Ana tulus, tapi ... rasa kecewa karena ditolak Hadi itu nyata. Dan juga karena Arya tidak berada di pihaknya.
"Ana!" Joana terkaget mendengar panggilan tantenya itu. Dia memalingkan wajahnya menghadap Ratna.
Ratna tersenyum dia memegang tangan Joana dan menatap lurus ke arahnya, "Tante tahu kamu lebih layak dari Arya. Jadi berjuanglah." Ratna tersenyum manis ke arah Joana.
"Ck ...! Hanya Tante yang bisa melihat kemampuanku."
"Bagi Tante, kamu sudah kuanggap seperti anak sendiri. Tante sangat menyayangimu. Jika kamu butuh bantuan Tante. Jangan sungkan-sungkan."
Joana hanya manggut-manggut, "Kenapa Tante tidak menikah saja dengan pengusaha kaya. Aku yakin banyak dari mereka yang akan jatuh cinta jika melihatmu." Meski umurnya hampir kepala lima, tapi Ratna kelihatan awet muda. Masih seperti wanita tiga puluhan.
"Atau mau aku kenalkan. Kenalanku pengusaha, banyak yang single," imbuh Joana. Mereka berdua berkomunikasi layaknya sahabat yang mengikis perbedaan usia di antara mereka.
"Bukankah kamu sudah tahu jawabannya, Ana?" Ratna bertanya retoris karena Joana sangat tahu kenapa adik ibunya itu sampai sekarang masih betah melajang.
"Aku sangat tahu, Tante." Entah itu benar itu cinta atau hanya obsesi semata. Tapi bagi Ratna, Hadi Kusuma adalah gambaran pria idaman di matanya. Melihatnya memperlakukan kakaknya dulu dan mencintainya. Tak ada lelaki lain yang sesempurna itu di matanya.