10. Benarkah Ini Takdir?

1583 Words
[Operasi bapak kamu berhasil. Kamu yang tenang di sana, Lia.] Isi pesan yang dikirimkan pamannya sungguh bisa membuat Dahlia tidur nyenyak malam ini. Setelah operasi selama kurang lebih delapan jam, akhirnya Dahlia bisa bernafas lega. Seketika dia melakukan sujud syukur untuk mengungkapkan rasa syukurnya kepada Allah. Senyuman tak mau hilang dari wajahnya. Hingga aura kecantikannya meningkat berkali lipat. "Kamu baik-baik saja, Lia?" Sarah yang melihatnya sangat khawatir. Ada yang salah dengan anak itu? kata Sarah dalam hati. "Sarah! Aku seneng banget!" Dahlia mengatakannya hampir berteriak. Dia memegang kedua tangan Sarah dan mengayunkannya. Sarah hanya bisa menaikkan alisnya melihat tingkah Dahlia. "Kamu tahu nggak apa yang buat aku seneng?" Sontak Sarah menggelengkan kepalanya. "Operasi bapak aku berhasil." Keduanya hampir melompat bersamaan saking bahagianya. Sarah menarik Dahlia dalam pelukannya. "Aku ikut seneng, Lia." Mereka melompat-lompat kegirangan seperti anak kecil. "Aku harus pulang, Sarah!" Seketika mereka berhenti. Sarah menghela nafas. "Ya, kamu memang harus pulang." Sarah tersenyum tulus, matanya lurus menatap Dahlia. Sarah tahu Dahlia begitu khawatir dengan bapaknya dan ketika tahu operasinya berhasil, dia sangat ingin bertemu dengannya. Bahkan dirinya juga bisa merasakan aura kebahagiaan dari Dahlia. "Liburan tahun baru besok, aku akan pulang Jogja," ucap Dahlia mantap. Sarah hanya manggut-manggut. Saat ini Dahlia hanya ingin merasakan kebahagiaan. Semua berjalan sangat-sangat lancar, seakan Tuhan selalu berpihak padanya. "Terimakasih, Tuhan," katanya lirih. Netranya masih berkaca-kaca mengingat keajaiban yang diterima bapaknya. Dari biaya rumah sakit sampai operasi yang berjalan lancar. Mengingat biaya rumah sakit wajahnya murung lagi, dia tidak habis pikir siapa yang telah melunasinya. "Kamu kenapa lagi, Lia. Kok, murung gitu? Bukannya semua seperti keajaiban? Harusnya kamu senyum, dong." "Jujur aku takut, Sarah." "Takut apa?" Sarah menaikkan sebelah alisnya mencari jawaban. "Takut jika ini hanya mimpi indah. Setelah aku bangun, aku harus siap menghadapi kenyataan yang pahit." Dahlia menundukkan kepalanya. Air matanya menetes lagi. Dia benar-benar takut jika ini hanya fatamorgana. Bahwa ada hal buruk yang menantinya di depan sana. Sarah menghela nafas. "Lia," ucap Sarah lembut, "berpikirlah positif." Sarah menjeda ucapannya. Disentuhnya dagu Dahlia dengan jari telunjuk kanannya. Dia mengangkat kepala Dahlia dan menatap matanya tajam. "Kadang sesuatu yang terjadi dengan kita berawal dari pikiran." Kedua tangan Sarah memegang kedua bahu Dahlia. "Kalau pikiran kita buruk maka yang terjadi dengan kita hanyalah hal-hal yang buruk. Tapi ...." Tangan kirinya kini beralih memegang tangan kanan Dahlia, sedang tangan kanannya mengusap punggung tangan Dahlia lembut, "jika kita terus berfikiran positif, insyaAllah hal-hal baik akan terus menghampiri kita. Jadi, think positive." Dahlia mengerjap-erjapkan matanya seolah tak percaya bahwa gadis di depannya hanya selisih satu tahun dengannya. Pemikiran Sarah sangat dewasa. Bahkan Dahlia meyakini bahwa Sarah adalah malaikat dalam bentuk lain. Sangat beruntung Dahlia memiliki sahabat seperti Sarah. "Kamu kenapa lagi, Lia. Kok malah bengong gitu?" Dahlia tidak langsung menjawab, dia memutar-mutar tubuh sahabatnya itu. Matanya memicing seakan mencari sesuatu di punggung Sarah. "Kenapa ih kamu, Lia!" Sarah heran dengan tingkah Dahlia. "Aku kok nggak lihat ada sayap di punggung kamu, Sarah. Bener, deh. Hati kamu udah kayak malaikat." Netra Dahlia menatap lurus ke dalam netra Sarah. "Ba ... ha ... ha ...." Tawa Sarah pecah mendengar kalimat yang keluar dari mulut Dahlia. Dih, ni anak kenapa malah ketawa, sih? batin Dahlia. "Aw ...!" Dahlia menjerit mendapat cubitan di perut sebelah kirinya. Setelah mendaratkan cubitan, Sarah segera berlalu keluar kamar. Terjadilah adegan kejar-kejaran di antara keduanya. Sarah mengatur nafasnya yang mulai tersengal-sengal. Dia duduk di kursi kayu yang berada di depan kos-an. Disusul Dahlia yang duduk di sebelahnya. "U-dah ... ah, Li-a ... aku-capek." "A-ku ... ju-ga ...." "Ba ... ha ... ha ...." Tawa mereka pun lepas karena kekonyolan tingkah mereka berdua. "Nih! Aku sampe nangis." Sarah mengusap sudut netranya yang mulai mengeluarkan air mata. "Sarah." "Hmmmm ...." "Kamu percaya takdir?" Pandangan Dahlia beralih ke arah Sarah. Sarah menoleh dan menghembuskan nafas pelan. Di depan kos mereka orang-orang masih berlalu lalang. Ini memang jam pulang kerja. Rumah kos tempat Dahlia dan Sarah tinggal bukanlah satu-satunya. Hampir semua rumah adalah tempat kos. Ada pekerja pabrik, ada pekerja kantoran, ada juga anak sekolahan dan kuliahan. Jika malam tiba tempat itu laksana pasar yang dipadati arus manusia. Tempat kos Dahlia memiliki gerbang yang akan digembok jika jam sudah menunjukkan angka sepuluh malam. "Takdir itu memang ada, Lia. Takdir yang sudah ditetapkan, seperti kelahiran, jodoh , kematian. Ada juga takdir yang harus dicapai dengan usaha. Seperti kepintaran, kesuksesan. Takdir apa yang kamu maksud?" "Ehm ... seperti kalau kita ketemu orang gitu?" Dahlia menaikkan satu alisnya. "Emang kamu ketemu siapa?" Bukannya menjawab Dahlia, Sarah malah ganti bertanya padanya. "I-tu .... Kita masuk aja, yuk. Mulai dingin, nih." Tanpa dosa Dahlia bergegas meninggalkan Sarah yang masih bengong akan kelakuan Dahlia yang kurang akhlak. Dengan tidak sopan meninggalkan orang yang sedang bergelut dengan rasa penasarannya. "LIA!" Sengaja Sarah berteriak karena merasa diabaikan. Dia berlari mengejar Dahlia yang yang berlalu meninggalkannya. Dahlia sudah berada di kamar, dia merebahkan tubuhnya dan tanpa sadar sudah berada di alam mimpi. *** Seorang gadis kecil berusia sekitar tujuh tahun sedang menangis karena ditinggal temannya sendirian. "Hu ... hu ... hu ...." Gadis itu mengusap ingus dan air mata dengan kedua tangannya bergantian. "Ini!" Anak laki-laki usia sekitar sepuluh tahun datang dan menyodorkan balon yang ada di tangan kanannya. Gadis kecil itu berhenti menangis, tapi masih terisak. Dia menatap anak laki-laki yang ada di depannya. "Aku tak mengenalmu!" ucap gadis itu acuh. Dia lalu memalingkan wajahnya dari anak lelaki itu. "Aku lihat kamu dari tadi menangis. Ini balonku, untukmu saja," kata anak laki-laki itu masih dengan menyodorkan balon di tangannya. Pandangan gadis kecil itu beralih ke arah balon yang mengambang di udara. "Benar ... itu untukku?" Gadis kecil itu mengerjap-erjapkan matanya sambil menunggu jawaban. Mata yang tadinya sembab berubah berbinar menatap anak laki-laki dengan balon di tangannya. "Iya. Untukmu saja. Dulu, kalau aku nangis, ibuku sering membelikan balon untukku." Netra anak laki-laki itu berubah berkaca-kaca. Dengan tatapan bahagia gadis kecil itu mengambil balon yang disodorkan kepadanya, "Terima kasih." "Kenapa kamu menangis?" "Aku tadi ke sini dengan temanku, tapi ...." Wajah gadis kecil itu berubah sendu lagi, "dia terus berlari meninggalkanku." "Di mana orang tua kamu?" Mata anak laki-laki itu menyapu sekeliling, tidak melihat siapapun selain mereka berdua. Gadis kecil itu menggeleng. "Rumahku dekat sini. Orang tuaku di rumah. Kalo kamu? Aku belum pernah melihat kamu sebelumnya?" "Aku tidak tinggal di sini. Aku dari Jakarta." Mulut gadis kecil itu membentuk huruf 'o'. "Kamu, sendiri?" Anak laki-laki itu menggeleng. "Aku ikut Bibik pulang kampung. Rumahnya sekitar sini." "Bibik?" "Iya, Bik Siti," kata anak laki-laki sambil menjilat es krim yang sedari tadi ada di tangannya. Gadis itu seolah sedang mengingat-ingat sesuatu. Dia menggeleng pelan. Sepertinya dia tidak tahu siapa yang dimaksud. Layaknya anak-anak, mereka berdua cepat sekali akrab. Entah apa yang mereka ceritakan, hanya ada binar kebahagiaan di mata mereka. "Tuan! Tuan!" Terdengar sebuah teriakan dari kejauhan. Mereka berdua pun menoleh. Seorang wanita yang sudah kelihatan gurat-gurat ketuaan berlari ke arah mereka. "Itu bibik yang kamu bilang?" Pandangan gadis itu beralih pada anak laki-laki yang telah memberinya balon. "Iya. Sepertinya aku harus pulang." Anak laki-laki itu bergegas menuju ke arah wanita yang memanggilnya itu dan meninggalkan gadis kecil seorang diri. "Siapa nama kamu?" Si gadis kecil teringat belum menanyakan nama si anak laki-laki. Anak laki-laki itu menoleh, "Namaku ...." *** Dahlia terhenyak dari tidurnya. Nafasnya agak sedikit tak beraturan. "Kenapa aku mengulang mimpi yang sama beberapa hari ini?" Diliriknya Sarah sudah terlelap dalam tidurnya. Dahlia mengatur nafasnya, dia beranjak dari kasurnya. Sarah membuka mata, menyadari ada pergerakan di sebelahnya. Dia mengucek matanya yang belum sepenuhnya bisa terbuka. "Kamu mau ke mana?" "Aku mau ambil minum." Dahlia berjalan menuju dapur dan mengambil segelas air putih dari dispenser. Dia menenggaknya dalam sekali teguk. "Apakah bisa seseorang mengulang-ulang mimpinya? Apakah aku pernah mengalaminya?" monolog Dahlia masih di samping dispenser. "Kamu kenapa tidak tidur lagi, Sarah?" Masuk ke dalam kamar Dahlia menjumpai Sarah sudah duduk di atas kasur. "Aku khawatir, wajahmu terlihat sangat cemas." Bukankah Sarah benar-benar seorang sahabat yang sangat baik? Dia benar-benar peduli dengan Dahlia. Dahlia bimbang apa perlu menceritakan mimpinya pada Sarah? Tapi dia sendiri bingung kenapa berulang-ulang beberapa hari ini. Dahlia menggigit bibir bawahnya, wajahnya menunduk. "Apa mungkin mimpi bisa terulang berhari-hari, Sarah?" Netranya lurus menatap netra Sarah. Dahi Sarah mengernyit seakan sedang memikirkan sebuah jawaban. "Seperti dejavu?" Dahlia mengangguk. "Memang mimpi apa?" tanya Sarah penasaran. "Ada seorang gadis kecil sedang menangis ...." Dahlia berusaha mengingat-ingat mimpi yang baru saja dialaminya. Dia bercerita semuanya pada sahabatnya itu. Sarah pun menyimak setiap kata yang keluar dari mulut Dahlia. "Sudah berapa lama?" "Sekitar seminggu ini. Sejak pertama aku masuk kerja." Sarah berusaha menggali sesuatu dalam ingatannya. "Aku pernah denger ...." Sarah sedikit melirik Dahlia. Gadis itu dengan serius menanti kelanjutan kata-katanya. "Kalau setidaknya kita pernah sekali bertemu dengan jodoh kita." Tangan Sarah memegang kedua tangan Dahlia, senyum terukir di bibirnya. "Mungkin kamu sudah bertemu lagi dengan jodoh kamu?" kata Sarah mantap. "Ba ... ha ... ha ...." Dahlia menarik tangannya dari tangan Sarah dan malah tertawa keras. "Aku serius, lho ini, Lia. Kamu jangan malah ketawa gitu!" sungut Sarah melihat Dahlia yang malah menertawakannya. "Udah, ah! Jangan bercanda lagi. Aku sampai nangis ini." Dahlia mengusap sudut matanya yang mulai mengeluarkan air mata. "Aku bilang, AKU SERIUS." Sengaja dia menekankan di kata-kata itu. Sarah benar-benar serius mengatakannya. "Udah! Udah! Kita tidur lagi aja." Tanpa menghiraukan Sarah yang masih memelototkan matanya, Dahlia berbaring memunggungi sahabatnya itu. Ditariknya selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Sarah yang mulai sebal pun ikut berbaring memunggunginya. Di dalam selimut, Dahlia tidak langsung tertidur. Dia sebenarnya memikirkan apa yang dikatakan Sarah. Benarkah ini takdir? ,
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD