"Bik! Bik Siti." Seorang pemuda tampan berhidung mancung, berperawakan tinggi dan memiliki kornea mata berwarna abu-abu muncul dari balik pintu. Langkahnya langsung menuju ke dapur.
Di samping mulutnya yang terus meneriakkan sebuah nama, matanya juga celingukan mencari bayangan asisten rumah tangganya itu.
Dengan tergopoh-gopoh seorang wanita tua berlari menuju sumber suara. "Iya, Tuan." Wanita tua yang dipanggil Bik Siti itu berdiri tepat di depan tuannya itu. Tangannya saling bertautan menampakkan ketakutan. Wajahnya menunduk menghindari tatapan pria muda itu. Tubuhnya gemetaran seolah takut sesuatu akan terjadi padanya.
"Aku lapar. Siapkan makanan," kata pemuda itu tidak sopan. Wanita tua itu bernafas lega karena hanya kalimat itu yang keluar dari mulut tuannya. Tidak ada umpatan ataupun makian seperti biasanya.
Bik Siti membungkuk dan mulai berlalu menuju tempatnya memasak. Diambilnya bahan-bahan dari dalam kulkas dan mulai meracik sesuatu.
Sambil menunggu di meja makan, pria muda itu mengambil gawai dari kantong celananya. Ditutulnya aplikasi berwarna hijau dengan gambar balon percakapan.
Tangannya sibuk mengetikkan sesuatu sedang mulutnya sesekali mengumbar senyum. Sesekali dia melirik wanita tua yang sedang sibuk menyiapkan makanan untuknya. Usianya sekitar tujuh puluh tahun. Meski begitu dia masih sangat cekatan melakukan pekerjaannya.
"Sudah belum, Bik?!" Seakan sudah sangat kelaparan, pria muda itu berteriak hingga membuat Bik Siti terlonjak kaget.
"I-iya, Tuan. Sebentar lagi." Dengan tangan bergetar Bik Siti bergegas menyajikan makanan ke hadapan tuannya itu.
"Putra! Yang sopan sama orang tua! Jangan teriak-teriak seperti di hutan." Sebuah jitakan mendarat di atas kepala pria yang bernama Putra itu.
"Aw ...." Dipegangnya bagian kepala bekas jitakan itu. Seketika dia menoleh ke arah sumber penyebab kesakitannya itu. Namun, seketika nyalinya menciut melihat tatapan intimidasi dari pria di belakangnya itu.
Putra merutuki dirinya sendiri yang selalu kalah dengan pria itu. Bahkan tatapannya itu bisa menghujam sampai ke dalam jantungnya.
Pria itu duduk berseberangan dengan Putra. Matanya masih menatap Putra tajam. Diambilnya piring di atas meja dan memenuhinya dengan makanan yang tersaji di depannya itu.
"Kakak 'kan sudah bilang. Jangan suka seenaknya. Bik Siti udah berjasa merawat kita sedari kecil. Di saat orang tua kita sendiri tak pernah memperhatikan anak-anaknya." Tatapan pria itu belum beralih dari adik di depannya.
Putra masih menunduk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Tubuhnya bergetar hanya dengan mendengar suaranya.
'Kenapa dia tiba-tiba di sini? Bukankah kakak menetap di Amerika?' batin Putra.
"Putra!" Sebuah bentakan keluar dari mulut laki-laki itu diiringi gebrakan pada meja makan. Putra yang berada di depannya tersedak karena kaget. Diambilnya air putih yang tersedia di depannya.
Wajahnya menampilkan kecemasan. Suara seseorang di depannya itu mampu meruntuhkan kepercayaan diri yang selama ini dia bangun. Setelah rasa trauma yang yang bertahun-tahun dia alami.
Bayangan masa kecilnya berkelibat di depan matanya. Tiba-tiba tubuhnya menggigil.
***
Seoarang pria kecil meringkuk di pojokan. Dia terisak sambil menahan sakit di sekujur tubuhnya. Seorang remaja berdiri penuh kemarahan. Dia memegang ikat pinggang di tangan kanannya. Sambil menatap dengan penuh kebencian pada anak kecil di depannya, diayunkannya lagi ikat pinggang itu pada tubuh kecil di depannya.
"Ampun ... am-pun ..., Kak," pria kecil itu meminta ampun sambil memeluk kaki di depannya. Remaja itu menghentikan aksinya dan mulai mengatur kembali nafasnya. Pandangannya kembali normal, dibuangnya ikat pinggang di tangannya dan mulai memeluk pria kecil di depannya.
"Maafkan Kakak, Putra." Dengan berlinang air mata, remaja itu mengusap-usap punggung adiknya. Dia menatap tangannya seakan tidak percaya dengan apa yang telah dia perbuat.
"Ka-mu ... nggak sakit 'kan?" Diputar-putarnya tubuh kecil di depannya. Saat melihat beberapa lebam di tubuh adik kecilnya, tubuhnya gemetar.
"Tidak! Tidak!" Nafasnya mulai tak beraturan, pandangannya menggelap dan seketika tubuhnya lunglai jatuh ke lantai.
***
"Apakah kamu masih takut dengan Kakak." Pandangannya menelisik ke arah Putra. Nafas Putra memberat, tapi sedetik kemudian dia mampu menguasai dirinya.
'Aku bukan lagi Putra yang dulu,' katanya dalam hati. Putra mengangkat kepalanya, matanya lurus menatap ke mata pria di depannya.
"Apa Kakak pikir, aku akan meringkuk seperti dulu?" Sudut bibir Putra terangkat. Matanya masih menatap tajam pria yang dipanggilnya kakak itu. Dia tak mau terintimidasi lagi oleh pria di depannya itu. Sudah cukup masa lalunya dia habiskan untuk menjadi pengecut.
"Kamu sudah besar ternyata?" Bukannya marah, pria itu malah tersenyum melihat keberanian dari adiknya itu.
Ruangan berubah menjadi hening, tanpa mereka tahu sepasang mata memperhatikan dari sudut ruangan. Wanita tua itu hanya berdiri melihat interaksi kedua kakak beradik itu. Ia takut hal buruk akan terjadi pada keduanya, seperti beberapa tahun lalu.
"Kenapa orang gila ini ada di sini?" Putra memutar bola mata jengah. Pertanyaan yang lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.
"Putra! Jaga bicara kamu!" Dengan penuh penekanan orang yang dipanggil kakak itu berusaha mengintimidasi adiknya lagi.
Namun nampaknya itu tidak berhasil, Putra hanya melengos sambil menampilkan senyum mengejek.
"Ternyata Kak Satria tidak berubah sama sekali. Apa yang kamu dapat di Amerika? Apa tidak ada dokter yang bisa menyembuhkanmu?" Satria menggemerutukkan giginya. Tangan kanannya tanpa sadar meremas sendok yang sedari tadi berada di tangannya. Putra menatap ngeri ke arah sendok di tangan kakaknya itu. Sejujurnya tubuhnya bergetar, tapi dia tak ingin terlihat lemah di depan Satria.
Satria menarik nafas panjang, dia memejamkan matanya. Sepersekian detik berikutnya raut mukanya kembali tenang. Kemarahan sudah tak nampak di wajahnya. Dia membuka matanya, menatap Putra tajam lalu tersenyum.
"Aku merindukanmu, Adikku." Putra hampir tak percaya kakaknya bisa menguasai emosinya secepat itu. Matanya membulat sempurna.
'Apa yang akan terjadi denganku jika kakak benar-benar sembuh?' Seketika aura kecemasan menyelimuti wajahnya.
"Dan seperti yang sudah kamu duga, Papa menyuruhku meng-handle perusahaannya." Seakan pikirannya telah terbaca.
Putra hanya bisa menyalahkan takdir yang tak berpihak kepadanya. Bagaimana pun perusahaan tidak akan pernah jatuh ke tangannya.
Satria adalah anak kandung Setyo Abadi dari pernikahan pertamanya. Istri pertama Setyo meninggal sewaktu melahirkan Satria. Sepuluh tahun sesudahnya dia menikahi ibu Putra yang tengah mengandung janin entah milik siapa. Tapi karena perasaan cintanya pada wanita itu, Setyo pun tak mempermasalahkan hal itu.
Tapi ibarat pepatah 'darah lebih kental daripada air', Satria tetaplah prioritas dari seorang Setyo Abadi.
Meski dia menganggap Putra layaknya anak sendiri, bukan berarti dia akan menyerahkan perusahaan yang sudah sudah payah dibangunnya pada anak yang bukan darah dagingnya itu.
Di umur tujuh belas tahun, Satria diungsikan ke Amerika setelah Setyo tahu anak kandungnya itu mengalami gangguan kepribadian. Di suatu waktu dia bisa berubah seperti bukan dirinya. Seperti orang kerasukan dia akan melukai orang lain. Yang sering menjadi sasaran adalah Putra.
Agar bisa sembuh, Satria mendapatkan penanganan dokter jiwa terbaik di Amerika. Tapi selama bertahun-tahun tidak ada perkembangan yang signifikan. Usianya sudah mulai tua, dan Setyo butuh pengganti. Di saat itu dia menunjuk Putra menggantikannya sementara sambil menunggu kesembuhan Satria.
Bertahun-tahun Putra merasakan puncak, tapi apakah sekarang dia harus merelakan apa yang dimilikinya. Tapi perasaan trauma pada kakaknya belumlah lenyap sepenuhnya. Dan dia sangat tahu ayahnya tidak akan membiarkan siapa pun mengusik darah dagingnya itu sekalipun orang itu adalah Putra.
"Apa yang kamu bisa, Kak. Apakah sekarang kamu sudah waras?" Putra masih saja berusaha memancing emosi Satria, ia ingin membuktikan pada ayahnya bahwa Satria tidak bisa disembuhkan.
"Terserah apa katamu, Adikku sayang. Aku sudah banyak berubah. Dan perkataanmu itu tak ada pengaruhnya bagiku." Bukannya kemarahan yang dia tujukan pada adiknya, tapi senyuman hangat yang membuat Putra semakin membencinya. Seperti tidak ada rasa bersalah di matanya telah menghancurkan masa kecil Putra.
"Aku akan berbicara dengan Papa agar tetap mempertahankanmu, tapi di bawahku tentunya." Satria mengucapkannya tanpa ekspresi. Satria mengiris-iris daging di depannya dan menusuknya dengan garpu. Dengan perlahan dimasukkanya potongan daging itu ke dalam mulutnya.
Putra jijik melihat sikap sok berwibawa kakaknya itu. Mengingat betapa kejamnya pria itu pada Putra kecil yang hanya bisa meringkuk karena kekejaman Satria remaja.
"Aku tidak sudi diinjak olehmu. Aku akan keluar dari rumah ini dan suatu saat akan kubuktikan bahwa kamu tidak lebih dari sekedar kekutu di dunia ini."
Putra menggebrak meja dan segera berlalu meninggalkan Satria seorang diri. Hampir lupa, Bik Siti masih berdiri di pojokan dengan tubuh bergetar. Satria sangat menyayangi wanita tua itu layaknya ibu kandung. Bik Siti lah yang telah merawatnya dari bayi. Terlepas dari penyakitnya, Satria adalah anak yang baik dan sopan. Memang sangat berbeda dengan Putra yang tak bisa menghargai orang lain.
Putra memasuki mobil dan membanting pintu mobilnya. Nafasnya memburu menahan amarah. Dia menyalahkan wanita yang melahirkannya, kenapa dia harus terlahir bukan sebagai anak Setyo Abadi yang asli. Kenapa ibunya harus mengandungnya terlebih dahulu sebelum bertemu dengan Setyo.
"Aaaargh!" erang Putra frustasi. Dilajukannya mobilnya menuju sebuah apartemen elit di kawasan tengah ibu kota. Apartemen yang dibelinya beberapa tahun lalu itu merupakan apartemen mewah dengan fasilitas yang komplit tentunya.
Putra turun dari mobilnya dan segera berjalan menuju lift. Dia masuk ke dalam lift dan menekan tombol angka menuju lantai tempat apartemennya berada. Sesampainya di lantai tujuan, Putra keluar menuju pintu apartemennya. Di tekannya password tempat itu.
Pintu pun terbuka menampilkan suasana kamar yang bernuansa modern minimalis. Putra masuk dan segera mendaratkan bokongnya di atas sofa. Di depannya ada sebuah LED TV berukuran lima puluh inch. Diambilnya remot yang tergeletak di atas meja lalu menekan tombol power di ujung atasnya.
Beberapa detik kemudian televisi menyala dan menampilkan berita tentang dua orang saudara yang sukses meneruskan bisnis orang tuanya. Bibirnya menyunggingkan senyum mengerikan seolah ada sebuah rencana yang terlintas di pikirannya.
"Sepertinya jurusan kuliahku akan berguna saat ini," monolognya saat melihat iklan recruitment sebagai reporter sebuah perusahaan pertelevisian terbesar di Asia.
"Dan ...." Pandangannya beralih pada foto pengusaha wanita muda yang tadi ia lihat di televisi, "kamu lumayan cantik juga. Tidak ada ruginya jika memilikimu."