Adaptation

1195 Words
Abby memasuki lorong kelas menuju jurusan Tata Busana, ia baru menyadari satu hal yang tidak biasa. Ada beberapa murid yang memakai seragam berbeda. Seragam hari Jumat dan Sabtu adalah bawahan kotak-kotak berwarna merah tua, serta kemeja putih dengan manset dan kerah yang berwarna senada dengan bawahan. Namun, yang tidak biasa adalah model seragam murid-murid itu. Model seragam itu tidak baku, jelas mereka melakukan modifikasi sesuka hati. Ada cewek yang memakai rok lipit hadap, span asimetris, kerut, bahkan bertingkat. Ada cowok yang memakai celana panjang skinny, jogger, dan boot cut. Abby yakin, sebelumnya ia telah membaca peraturan sekolah. Mungkin ia melewatkan bagian kerapian seragam. Atau, ada kebiasaan tertentu yang tidak ia ketahui. Yang jelas peraturan SMK Karya Nusa jauh berbeda dari sekolah menengah pada umumnya. Abby menatap roknya yang merupakan model baku seragam murid sekolah menengah. Rok span rempel satu dan panjangnya di bawah lutut. Tapi, bukan cuma ia yang memakai rok model baku itu. Ia juga menemui murid lain yang mengenakan seragam serupa dengannya. Pikirnya, tidak apa-apa, ia tidak menjadi orang yang aneh. Namun saat beberapa murid menatap Abby, ketegangan tiba-tiba merayap. Degup jantung cewek itu meningkat. Tatapan murid-murid itu membuat Abby malu, ia menunduk sambil mencari kelasnya. Ia menyesal datang ke sekolah tanpa persiapan dan tekad yang kuat. Bagaimana mungkin ia bisa mengubah nasibnya, jika hari pertama masuk sekolah saja ia sudah merasa seciut ini. “Celingukan gitu cari apa sih?” Seorang cowok berambut gondrong mengikuti arah pandang Abby. “Kelas...” Abby buru-buru melihat catatannya. “Aphrodite?” Untuk kesekian kalinya Abby mengerutkan dahi. “Kayaknya catatan gue salah.” Abby tahu benar bahwa itu adalah nama salah satu dewa-dewi Yunani yang digunakan untuk merek pakaian terkenal asal Eropa. Tiba-tiba cowok itu tertawa. Suaranya melengking, membuat gendang telinga Abby berdengung sesaat. “Gue tahu, lo anak baru, kan?” Cowok itu membaca label nama di atas saku kemeja Abby. “Abigail Galesha. Aphrodite itu nama kelas.” Cowok itu menunjuk ke papan nama di atas pintu kelas terdekat, tertulis Cheryl diikuti angka romawi X di sana. Cheryl juga merupakan merek pakaian terkenal. Sekarang Abby paham, kelas-kelas di jurusan Tata Busana diberi nama merek pakaian. “Kenalin, nama gue Richardo Miller.” Label nama di seragam cowok itu memang tertulis Richardo Miller. Namun wajahnya tulen Indonesia, tidak ada jejak yang menunjukkan ia campuran Eropa. Abby tidak yakin itu adalah nama aslinya, tapi ia tetap menjabat tangan Richardo. “Jadi, di mana Aphrodite?” “Di lantai dua, ruangan keempat setelah tangga. Di sini masing-masing angkatan cuma ada tiga kelas, nggak seramai SMA. Terus gedung sebelah itu kelas buat jurusan Tata Boga, jangan sampai nyasar ke sana, tapi nggak apa-apa kalau lo lagi laper.” Suara tawanya yang tidak enak itu terdengar lagi. “Gedung yang berbatasan dengan lapangan basket dan taman itu punya jurusan Teknik Mesin sama Teknik Komputer dan Jaringan. Kalau lo mau cuci mata, bisa ke sana. Soalnya cowoknya cakep-cakep.” Sambil sesekali mengerutkan kening, Abby mendengarkan penjelasan Richardo dengan khusyuk, lalu mereka menaiki tangga ke lantai dua. “Kenapa ada murid yang pakai seragam nggak baku ya? Terus, cowok boleh ya rambutnya dipanjangin?” “Lo bebas mau pakai seragam kayak gimana, gaya rambut, pakai tindik, apa pun pokoknya; asal lo berada di peringkat lima teratas di masing-masing kelas. Peraturan itu berlaku buat jurusan lain juga.” Richardo berhenti di kelas bertuliskan Georgia Atlanta - XII. “Ini kelas gue. Kelas lo tepat di samping kelas gue.” “Ok. Makasih banyak ya, untung gue ketemu lo.” “Btw, hati-hati ya.” “Kenapa?” “Aphrodite penuh sama anak-anak ambisius yang suka menghalalkan segala cara.” Richardo melambaikan tangan, lalu masuk ke dalam kelasnya. Entah kenapa jantung Abby berdegup lebih kencang. Ia sudah membayangkan hal-hal buruk yang mungkin menimpanya. Namun, ia berusaha menyingkirkan pikiran buruk itu. Ia dengan mantap memasuki kelas Aphrodite. Dimulai dari Lisha, kemudian ke murid-murid lain, mereka menghujamkan tatapan ke arah Abby. Abby menganggukkan kepala pelan dan memaksa diri untuk tersenyum, tapi tidak ada yang membalas senyumnya. Tidak lama kemudian bel berbunyi, tapi bunyi bel itu tidak mampu mengalihkan perhatian mereka. Mata Abby menelusuri ruangan berusaha mencari tempat duduk kosong. “Oh, Abigail ya?” Pak Amdi masuk ke kelas. Abby menoleh. “Iya, Pak.” “Saya tunggu kamu di ruang guru lho, ternyata sudah di sini.” Pak Amdi menggiring Abby ke depan kelas. Ia mulai basa-basi singkat, lalu menyuruh Abby memperkenalkan diri. “Kenalkan nama saya Abigail Galesha, panggil aja Abby. Saya pindahan dari Surabaya.” Abby membeku. Ia hanya mampu mengucapkan kalimat perkenalan mainstream. Lisha tertawa. “Yakin lo anak Tata Busana? Jangan-jangan anak Tata Boga.” Pak Amdi meminta Lisha diam, lalu ia mempersilakan Abby duduk di kursi paling belakang, tanpa teman sebangku karena dua kursi itu memang kosong. Tampaknya apa yang dikatakan Richardo benar. Murid-murid di kelas ini sangat kompetitif. Dulu di sekolah lama Abby, kursi belakang selalu diperebutkan, sedangkan kursi depan terutama yang dekat dengan meja guru selalu dihindari. Pak Amdi bersedekap. “Saya tahu ini adalah tahun ajaran yang sangat kalian tunggu.” Ia tersenyum. “Siapa yang tidak antusias mengikuti program magang? Tidak ada, kan? Tapi, sebelum magang, kalian perlu pemanasan. Sekolah akan mengadakan kompetisi desain busana yang bisa diikuti oleh semua angkatan. Sayangnya, masing-masing kelas hanya boleh mengajukan tiga perwakilan. Siapa yang mau jadi volunteer?” Seluruh murid mengangkat tangan mereka, kecuali Abby. Pak Amdi menatap Abby. “Kamu tidak berminat?” “Berminat, Pak.” Abby langsung ikut-ikutan mengangkat tangannya. “Saya tahu, kalian akan sangat antusias. Oleh sebab itu, saya sudah mempersiapkan aturan untuk menyeleksi perwakilan kelas kita. Saya minta kalian membuat desain dan memproduksi pakaian. Lalu, kumpulkan desain sekaligus foto pakaian yang dikenakan oleh model.” Abby melongo. Hanya untuk menyeleksi perwakilan kelas, tugas yang diberikan terbilang susah. Jika membuat desain busana saja tidak masalah bagi Abby, tapi ini juga harus memproduksi rancangannya. Belum mencari model yang mau mengenakan rancangan itu. Salah satu murid mengangkat tangan, lalu bertanya, “Itu harus cari model ya, Pak? Nggak bisa pakai manekin aja?” “Iya, model kan banyak. Minta teman atau kerabat jadi model kan bisa. Opsi lainnya kamu sendiri yang pakai rancanganmu juga tidak masalah.” “Lalu, syarat dan aturan untuk kompetisi antarkelas apa, Pak?” Mata Lisha terlihat berbinar, tidak sabar untuk mengikuti kompetisi itu. “Syarat dan aturan belum diumumkan. Tunggu saja, kemungkinan dalam minggu ini akan ditempel di papan pengumuman.” “Desain untuk seleksi perwakilan kelas bisa dipakai lagi nggak, Pak?” “Bisa, jika desain itu memenuhi tema yang diberikan. Jadi kalian tidak perlu kerja dua kali. Makanya saya sarankan untuk menunggu pengumuman selanjutnya.” Semua murid mengangguk paham, tapi Abby terlihat gusar. Peraturan SMK KarSa—begitu para murid menyingkat nama sekolah mereka—jauh berbeda dengan peraturan di sekolah pada umumnya. Semestinya saat kelas XII begini, murid-murid sudah dipersiapkan untuk fokus ujian kelulusan. Namun, murid-murid kelas XII masih terlihat penuh ambisi, bahkan diperbolehkan mengikuti kompetisi. Abby belum terbiasa dengan hal-hal baru semacam ini. Perubahan kali ini benar-benar terlalu ekstrim menurutnya. Andai ada Sila di sini, pasti semua akan mudah bagi Abby. Sila selalu membantunya dan membuat Abby merasa aman.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD