Wrong Path

1129 Words
Setelah membaca selebaran yang ditempel di papan pengumuman, Lisha tersenyum lebar. Matanya berbinar. Selain berisi aturan kompetisi fashion design, di pengumuman itu juga tertulis hadiah yang akan dimenangkan oleh para juara. Para juara berhak mendapat sejumlah uang tunai dan mengikuti pelatihan gratis di rumah mode ternama yaitu, Abaraga Fashion House. Mana ada murid SMK KarSa yang mau melewatkan kesempatan emas itu. Abaraga Fashion House adalah salah satu rumah mode yang terkenal dan sudah menelurkan banyak desainer terkenal. Rancangan rumah mode tersebut bahkan telah diikutkan di berbagai fashion show internasional. Salah satu teman Lisha yang bernama Elena ikut berdiri di depan papan pengumuman. “Lo nggak bakal melepaskan ini, kan?” “Nggak lah. Ini kesempatan emas buat dapat ilmu dari desainer-desainer keren di Abaraga Fashion House. Syukur-syukur habis lulus gue bisa kerja di sana. Masa depan gue pasti cerah.” “Iya, gue juga nggak bakal membiarkan kesempatan ini lepas. Gue bakal all out.” Lisha melirik Elena dengan sinis. “Serius? Tapi, gue pasti yang akan jadi perwakilan kelas. Di kelas kita kan, lo nggak masuk lima besar.” Raut wajah Elena langsung masam. “Belum tentu kali. Ini kan soal rancangan, bukan keseluruhan mata pelajaran.” Elena menatap ke arah lain. Ia menunjuk menggunakan dagunya. “Itu anak baru kemampuannya kayak apa ya? Gue penasaran. Bakal jadi saingan yang menyusahkan atau nggak?” Sambil bersedekap Lisha menatap Abby yang tengah berjalan menuju kantin. “Gue nggak yakin. Kayaknya sih dia bego.” “Kayaknya nggak mungkin b**o. Soalnya dia masuk ke kelas kita. Lo tahulah, rata-rata nilai di kelas kita itu paling tinggi daripada kelas lain.” “Ya kalaupun nggak b**o, paling kemampuan akademisnya biasa aja. Kita cari tahu dulu gimana?” Elena mengangguk. Lalu, ia dan Lisha mengikuti Abby menuju kantin. *** Di jam istirahat pertama itu, kursi-kursi di kantin sudah dipenuhi dengan murid-murid dari semua jurusan. Abby mengamati penjuru kantin untuk menemukan kursi yang kosong. Namun, kebanyakan meja yang diisi oleh murid-murid dari jurusannya sudah penuh. Ya, Abby bisa langsung membedakan murid-murid dari jurusannya, karena beberapa seragam mereka paling mencolok dan berbeda. Ada beberapa kursi kosong di meja panjang dekat dengan pilar Utara. Namun, semua murid yang mengisi meja panjang itu adalah murid laki-laki. Entah itu murid jurusan Teknik Komputer dan Jaringan atau Teknik Mesin, Abby tidak tahu dan tidak peduli. Tanpa pikir panjang, ia bergabung di meja itu. Ia duduk di kursi paling ujung, seharusnya keberadaannya tidak akan mengganggu murid-murid itu. Saat Abby duduk, semua murid di meja itu langsung menatapnya. Ia menyadari tatapan-tatapan itu, tapi tidak menghiraukannya dan hanya fokus dengan makan siangnya. Pokoknya ia harus makan secepat mungkin, lalu segera angkat kaki dari meja itu, maka semuanya akan baik-baik saja. Salah seorang murid berdeham beberapa kali, tapi Abby tidak menggubrisnya. Ia menyisir rambutnya ke belakang, berpose sok keren. Lalu, ia pindah ke tempat duduk tepat di samping Abby. “Hai, lo anak baru? Kayaknya gue nggak pernah lihat lo.” Abby menoleh. Mulutnya penuh dengan makanan. Pipinya sampai menggelembung, sehingga ia sulit bicara. Jadi ia hanya menggeleng, walaupun semestinya ia mengangguk. Itu hanya untuk mengetes, apa cowok itu cuma basa-basi atau ia memang mengamati semua murid. Sampai-sampai ia tahu murid baru dari jurusan lain. Sepertinya nyaris mustahil. Selain itu, Abby tidak ingin dijadikan sasaran keusilan atau apa pun itu, hanya karena ia murid baru. “Masak sih? Tapi, biasanya murid lama nggak bakal duduk di kursi murid jurusan lain. Lo paham kan, maksud gue? Jarang ada murid yang mau membaur dengan murid dari jurusan lain.” Ketika cowok itu selesai mengoceh, Abby sudah menyantap separuh makannya. Ini adalah rekor makan siangnya tercepat. Semoga lambungnya tidak kaget. “Iya, gue paham. Ini gue udah mau pergi.” Abby menghabiskan tehnya. Lalu, ia hendak pergi dari meja itu, tapi cowok itu menahannya. “Nggak usah buru-buru dong, itu makanan lo belum habis. Gue nggak ngusir lo kok.” Cowok itu mengulurkan tangannya. “Kenalin, gue Svarga. Arti nama gue surga. Gue dari jurusan Teknik Mesin.” “Tapi, kelakuannya kayak iblis dari neraka,” celetuk salah satu teman Svarga sambil tertawa. “Diam deh, No.” Svarga melotot ke arah temannya. Abby mengikuti arah pandang cowok itu. Sontak semua teman-teman Svarga melambaikan tangan kepada Abby. Tapi, ada satu cowok yang duduk di meja ujung, hanya menatap Abby dengan tatapan tidak bersahabat. “Eh, nggak usah didengerin ya. Mereka memang kayak gitu.” Svarga membaca label nama di kemeja Abby. “Abigail ya?” Abby menjabat tangan Svarga. “Iya, Abby. Gue balik ke kelas dulu. Nice to meet you.” Abby buru-buru pergi, karena ia merasa tidak nyaman berada di sana. Namun, ia sempat melihat, cowok-cowok itu tertawa dan meniru kalimat terakhir yang ia ucapkan. Di dalam hati, Abby mengutuk dirinya, kenapa ia harus mengucapkan kalimat itu. Sementara itu, di kejauhan Lisha dan Elena mengamati Abby. Mereka tidak berani ikut duduk di meja itu. Oleh sebab itu, mereka menunggu kesempatan hingga Abby selesai makan. *** Saat Abby tiba di kelas, Lisha segera duduk di sampingnya, sedangkan Elena duduk di kursi depan, tapi menghadap ke arah Abby. Lisha melipat kedua tangannya di depan. Raut wajahnya yang tidak bersahabat membuat Abby gugup. “Lo nggak waras ya? Kenapa lo duduk satu meja sama anak Teknik Mesin?” “Memang kenapa? Apa ada aturan nggak boleh duduk di sana?” “Ya nggak ada sih, tapi kan anak-anak Teknik Mesin tuh tukang bikin onar. Apalagi anak-anak di meja tadi. Lo harusnya mikir, kenapa banyak kursi kosong di dekat mereka.” Lisha berdecak. “Awas aja sampai ada masalah, terus anak-anak Tata Busana lainnya ikut terseret.” Abby panik. Pantas Svarga langsung tahu, bahwa ia adalah murid baru. “Terus gue mesti gimana? Apa mereka akan mempermasalahkan hal itu?” Lisha mengedikkan bahu. “Mana gue tahu.” “Lo kenalan sama Svarga, kan? Tadi gue lihat kalian ngobrol,” tanya Elena. Abby mengangguk. “Dia pasti bakal jadiin lo incaran selanjutnya.” “Incaran apa?” Abby menggigit bibir bawahnya. “Incaran untuk diisengi. Ya kan, Lis?” Lisha menyenggol kaki Elena, memberinya kode untuk tidak banyak memberi tahu Abby, karena ia tidak peduli sama sekali dengan nasib Abby. “Nggak tahu juga ya. Tapi, kalau dilihat-lihat, lo tipe orang yang akan kena s**l terus.” Lisha tertawa mengejek. Lalu, ia mengajak Elena kembali ke tempat duduknya. Mereka berjalan sambil berkasak-kusuk. “Udah terbukti bego.” “Benar juga, Lis. Kacau sih, dia pasti bakal dikerjai habis-habisan sama Svarga yang player itu.” Abby mengepalkan tangan. Ia masih bisa mendengar dengan jelas ucapan mereka, meskipun mereka merendahkan nada suara. Sepertinya ia tidak akan bisa memiliki masa remaja yang menyenangkan dan akan terus menjadi pecundang hingga kelulusan. Membayangkan itu membuatnya mual sekaligus marah. Abby baru sadar, tidak memiliki kemampuan bersosialisasi mungkin bisa membunuhnya perlahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD