Candrios Wiguna

1709 Words
Rios buru-buru masuk ke dalam mobilnya, sebelum para penggemar menyerbu. Beberapa bodyguard memasang badan saat para penggemar ingin meminta foto. Garin, manajer Rios, memberi sedikit pengertian bahwa Rios sedang buru-buru karena jadwalnya padat. “Kalau kalian ingin dapat tanda tangan dan foto bersama, kalian harus membeli mini album Rios. Ok?” Garin melambai, lalu masuk ke dalam mobil. Ia menghela napas saat mobil berhasil melewati kerumunan penggemar. Ia merapikan pakaiannya yang kusut karena didesak-desak oleh fans Rios. “Para fans itu memang gila. Apa mereka nggak sekolah? Mereka udah 1 jam menunggu di luar gerbang sekolah lo.” “Nanti gue kasih pesan waktu launching mini album supaya mereka rajin sekolah.” Garin mengangguk-angguk. Ia memeriksa ponselnya yang sejak tadi bergetar. Matanya melotot memandangi layar ponsel, lalu ia tersenyum. “Baru juga 15 menit PO mini album bertanda tangan lo dibuka, eh udah ludes.” “Bagus, tapi tangan gue pegel harus tanda tangan 1000 album.” Garin tertawa. “Nanti gue ajak ke spa plus plus deh.” Rios langsung memukul lengan manajernya itu sekuat tenaga. Garin mengaduh. “Tolong, gue dapat k*******n fisik dari artis gue!” “s**l, suruh siapa lo ngomong yang nggak nggak ke anak sekolahan.” “Bercanda. Gue sebagai manajer tentu harus melindungi lo dari berbagai hal-hal buruk dan menjerumuskan.” Garin masih memegangi lengannya yang ngilu. “Lagian katanya tangan lo sakit, kok bisa mukul gue.” Rios tidak memedulikan ocehan Garin. Ia memeriksa akun Instagramnya yang setiap hari jumlah pengikutnya semakin bertambah, sekarang menjadi 7,8 juta. Ia memutuskan mengunggah sebuah foto, lalu menuliskan sederet caption. Dalam hitungan menit, jumlah like-nya mencapai ratusan ribu. Rios tersenyum sambil membaca komentar-komentar penggemarnya. “Ngomong-ngomong, kalau penjualan mini album lo sukses, apa yang akan lo lakukan?” Rios melirik sekilas ke Garin yang raut wajahnya mulai serius. “Seperti biasa, bakal kita rayakan sama nenek, kakek, dan kru.” “Cuma begitu? Masak nggak ada sesuatu yang berbeda.” Rios mengerutkan keningnya, memikirkan sesuatu yang lain tapi tidak menemukan ide apa pun. “Lo nggak ingin merayakan bareng orang tua lo?” Kalau sudah membicarakan tentang orang tuanya, Rios merasa mulas. Ia selalu menghindar, baginya itu adalah topik sensitif. Garin tahu persis hal itu, tapi kenapa ia malah merusak suasana siang itu. “Lo tahu kan, gue cuma bakal merayakan momen kesuksesan gue sama orang yang menghargai kerja keras gue. Dan, mereka bukan bagian dari orang-orang yang peduli sama gue.” Garin mengangguk. “Tapi, lo tahu kan publik penasaran sama hubungan lo dan orang tua lo. Lo seolah-olah menunjukkan ke mereka hubungan kalian baik-baik aja, tapi nyatanya nggak.” “Gue heran, bukannya lo dan manajemen yang minta gue untuk selalu menjaga reputasi. Nggak mungkin kan, gue bilang hubungan gue sama orang tua gue buruk.” “Slow, Bro. Maksud gue, lo harus benar-benar menunjukkan bahwa hubungan kalian memang baik, nggak cuma omongan doang. Gimana kalau lo ikut reality show? Jadi, ada reality show baru dan lo bisa muncul di episode pertama. Itu reality show tentang...” “Nggak!” Garin belum selesai menjelaskan, Rios sudah menolak idenya itu. Rios tahu maksud Garin. Itu pasti reality show tentang keluarga yang setiap adegannya akan di-setting sesuai naskah. Garin mengalah dengan sikap keras kepala Rios, daripada ia memaksanya terus dan Rios malah membuat keributan. Itu lebih gawat lagi. *** Rios masih ingat, saat dulu ia lebih sering dirawat oleh baby sitter, tapi kemudian nenek dan kakeknya yang mengambil alih. Orang tuanya sibuk mengejar karir. Mereka memiliki target yang sama, yaitu mencapai puncak tertinggi. Namun, mereka mengabaikan anak sematawayangnya untuk kesuksesan mereka. Tadinya Nenek dan Kakek bolak-balik Jakarta untuk menjaga Rios. Mereka bisa menginap 1 minggu hingga sebulan penuh. Sampai akhirnya saat SD, mereka memutuskan untuk mengajak Rios tinggal di Bandung. Bagi mereka lebih baik cucunya dirawat oleh keluarga daripada baby sitter. Orang tua Rios kadang-kadang pergi ke Bandung untuk menjenguknya. Itu pun kalau mereka tidak sibuk. Kadang sebulan hingga dua bulan tidak ada kabar dari mereka. Jika ingat, mereka akan menelepon atau mengirimkan hadiah sekenanya. Pernah Rios mendapat hadiah yang sama sekali tidak ia sukai. Orang tuanya pikir, Rios menyukai mobil-mobilan dengan remote control. Padahal ia lebih suka berkutat dengan lego. Menyusun setiap potongan-potongan kecil menjadi sesuatu. Ia juga suka membaca komik superhero. Tapi, orang tuanya tidak pernah tahu apa pun tentang kesukaannya itu. Bahkan hal sepele tentang makanan kesukaannya pun mereka buta. Rios kecil menunduk sambil menatap mobil remote control yang barangkali harganya mahal. “Kok cuma dilihatin saja, Ri? Ayo main sama Kakek di luar.” Rios menggeleng. “Kenapa?” “Aku nggak suka dengan mainan ini. Bukan karena jelek, tapi memang aku nggak suka aja.” “Ri, kamu harus menghargai pemberian orang tuamu, di benda itu melekat cinta mereka.” Rios tahu, bahwa Kakek hanya berusaha menenangkannya. Ia tidak yakin memang ada cinta yang melekat pada hadiah-hadiah yang dikirimkan orang tuanya. Kemungkinan saja hadiah-hadiah itu dibelikan oleh karyawan mereka. Mana sempat mereka menghabiskan waktu membelikan hadiah. Telepon baru lima menit saja sudah buru-buru ditutup, karena mereka mau meeting dengan karyawan, bertemu klien, harus segera naik ke pesawat; masih banyak alasan lain. Jika mengingat semua itu membuat Rios kesal. Ia membanting mobil mainan hingga pecah di beberapa sisi, lalu berlari keluar rumah. Kakek terus memanggilnya, tapi tidak ia hiraukan. Rios terus berlari hingga ke rumah Sila. “Sila! Sila!” Rios menggedor pintu. Sila keluar dengan jari telunjuk menempel di depan bibirnya. “Sstt… Jangan teriak-teriak dong.” “Kalau aku nggak teriak, gimana kamu bisa dengar?” “Ketuk pintu beberapa kali aja bisa, kan. Dan nggak perlu keras-keras kayak orang ngajak berantem.” “Kenapa sih?” “Ayahku lagi tidur, nanti ganggu. Yuk ke taman aja, tapi ke rumah Abby dulu.” “Nggak usah ke rumah Abby.” “Kenapa?” “Aku mau cerita sesuatu sama kamu. Aku nggak mau Abby dengar.” Alis Sila mengerut. Sila sebenarnya merasa tidak enak jika Abby tahu mereka tidak mengajaknya main, tapi ia menurut saja. Mungkin Rios memang membutuhkan waktu dengannya. Rios sendiri belum terlalu dekat dengan Abby, pasti ia merasa canggung jika menceritakan suatu hal yang penting. Rios dan Sila duduk di atas jungkat-jungkit, tapi karena Sila lebih berat daripada Rios, jungkat-jungkit itu tidak berfungsi dengan benar. Kaki Rios menggantung di udara, ia berusaha turun tapi tidak bisa. “Makanya makan yang banyak, Chan. Kalau ada Abby, mainan ini bakal berfungsi dengan benar.” Sila keceplosan. Sila mendorong kakinya menjauhi tanah, sehingga Rios yang gantian mendarat di tanah. “Udah ah, nggak seru main jungkat-jungkit. Katanya mau cerita malah diam aja.” Sila turun dari jungkat-jungkit, lalu duduk di ayunan. Rios mengekorinya. “Aku kesal sama orang tuaku.” “Kenapa? Mereka nggak menjenguk kamu lagi?” Rios mengangguk. “Kenapa kamu nggak pura-pura sakit aja biar mereka datang?” Ide itu mungkin bagus, tapi Rios sudah pernah sakit sungguhan dan orang tuanya tetap tidak bisa datang ke Bandung. Jadi berpura-pura sakit tidak akan memberi pengaruh apa pun. “Nggak akan ngaruh.” “Pergi aja dari rumah. Nanti aku temenin, gimana? Aku juga suntuk di rumah.” “Gila!” Rios menggeleng. Ia terlalu takut untuk pergi dari rumah. Di luar sana mungkin saja tidak aman. Siapa yang tahu mereka akan bertemu dengan penculik. “Memang ada cara lain supaya orang tuamu peduli sama kamu? Nggak ada kan, Chan? Kamu harus ngelakuin hal-hal berbeda. Lagian selama ada aku, nggak usah takut. Nggak ingat siapa yang mukul anak laki-laki yang gangguin kamu? Siapa juga yang ngerjain anak-anak perempuan yang ganggu Abby?” “Iya iya. Sila sang jagoan.” “Jadi, kapan kita kabur?” Rios mengedikkan bahu. Sila menghela napas. “Masak harus aku juga yang ngasih tahu kapan.” Sila menopang dagunya menggunakan tangan. “Ok, nanti malam kita ketemu di sini habis makan malam.” Rios mengangguk. Mungkin hanya dengan cara itu, orang tuanya datang. *** Malam itu, Rios menunggu Sila sampai kedinginan, tapi Sila tidak kunjung datang. Ia ingin menghampiri Sila ke rumah, tapi takut terlihat oleh orang lain. Jika mereka tidak buru-buru pergi sekarang, kakek dan neneknya akan menyadari kepergiannya. Rios sempat mengira, bahwa Sila hanya mengerjainya, tapi ia membuang pikiran itu jauh-jauh. Sila selalu menepati janjinya. “Kamu lagi ngapain di sini?” Suara lembut dari kegelapan mengagetkan Rios. Setelah sosok itu berjalan maju dari bawah pohon, Rios dapat melihat sosok itu. Ia menghela napas karena itu hanya Abby. “Cuma main ayunan.” “Tapi, kamu bawa tas ransel segala, nggak mungkin cuma main ayunan, kan? Apalagi malam-malam gini.” Rios menelan ludah. “Mmm... Aku nungguin Sila.” Raut wajah Abby tampak kecewa. “Kalian mau ke mana?” Rios hanya diam saja. Ia bingung bagaimana menjelaskan semuanya kepada Abby. Ia sudah tertangkap basah, tidak mungkin berbohong, tapi mungkin Abby tidak akan menerima penjelasannya. “Sorry Chan, aku telat ada urusan tadi. Yuk pergi sekarang!” Sila membungkuk dengan kedua tangan memegangi lutut. Napasnya memburu seperti baru saja dikejar anjing tetangga. Ia sama sekali tidak menyadari keberadaan Abby. “Kalian mau ke mana?” Pertanyaan itu muncul lagi dari mulut Abby, tapi kini ditujukan kepada Sila. Sila terperanjat. “Kok kamu di sini, By?” Belum Abby menjawab, Sila langsung berbicara, “Ok, itu nggak terlalu penting. Kita mau kabur dari rumah.” Rios memelototi Sila, tapi anak perempuan itu tidak peduli. “Karena kamu udah di sini, kamu harus ikut kita.” “Apa? Aku nggak mau. Lagian buat apa kalian kabur?” “Kita ini teman, kan?” Sila merangkul Abby. “Kita harus bantu Chan supaya orang tuanya mulai memerhatikan Chan.” “Tapi, bukan dengan cara kabur, kan? Apa kalian nggak takut? Kita nggak tahu gimana dunia di luar sana.” Sila mendengus. “Nggak usah berlebihan deh, By. Semua akan baik-baik aja. Kita nggak akan pergi jauh-jauh. Kita cuma akan sembunyi di perkebunan. Gimana?” Abby masih menimbang-nimbang, bersamaan dengan itu sorot lampu menerpa mereka. Beberapa orang dewasa berlari ke arah mereka. “Rios!” panggil Kakek. Pada akhirnya, usaha mereka untuk kabur malam itu gagal total. Kakek dan Nenek jadi sering mengawasi Rios setelah peristiwa itu. Mereka bahkan memastikan untuk tidak terlambat menjemput Rios di sekolah. Rios juga diberi hukuman dengan tidak boleh main di luar rumah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD