Bab - 3

1591 Words
Mawar kini sedang mengantar mamanya memilih baju yang akan dikenakan untuk acara reuni nanti. Dia pun turut andil dalam memilih pakaian, karena bagaimanapun dia ingin mamanya tampil dengan sempurna nanti, dan membuat Bima - mantan suami Desri menyesal. "Yang ini gimana, bagus nggak?" tanya Mama Desri menunjukkan gaun berwarna ungu, dengan motif renda di bagian dadanya. Mawar memperhatikan gaun yang sedang ditunjukkan oleh mamanya. Kemudian dia menggeleng. "Nggak, kurang bagus, Ma. Jadi kayak keliatan norak gitu, deh!" "Gitu, ya?" "Iya." Lalu Mawar memilih gaun berwarna hitam, yang memperlihatkan bagian punggungnya. "Coba yang ini deh, Ma!" Mawar menyodorkan gaun yang ia pilih. Tapi Mama Desri malah menggeleng. "Lho, kenapa?" "Mama malu. Itu, bagian punggungnya keliatan," kata Mama Desri sambil menunjuk gaun yang terlihat kurang bahan itu. Mawar menggeleng, kemudian dia berkata, "Nggak, coba aja dulu, Ma. Mawar yakin, ini cocok banget dipake sama Mama." "Tapi, mama terlalu tua buat pake gaun yang terbuka kayak gini." Mawar tetap keukeuh, dia mendorong tubuh mamanya untuk masuk ke dalam fitting room. Mau tak mau, Desri menurut. Dia mengganti setelannya dengan gaun yang sudah disiapkan oleh anaknya, Mawar. Sedangkan Mawar, dia menyadarkan punggungnya pada sebuah tembok, sambil melihat-lihat media sosial melalui ponselnya. "Nak, kayaknya ini gaun terlalu terbuka, deh!" Mawar melihat ke arah mamanya, lalu ia tersenyum karena merasa puas dengan pilihannya. Lalu gadis bar-bar itu mengacungkan dua ibu jarinya, sambil berkata, "Sempurna!" "Tapi, ini terlalu -" "Ga ada tapi-tapian! Udah, kita beli yang ini aja, Ma!" Setelah selesai mencoba, ibu dan anak itu pergi ke kasir untuk membayar gaun milik mamanya. Dan mereka langsung menuju ke bagian sayur dan buah-buahan. "Mau beli apa aja, Ma?" tanya Mawar sambil mendorong troli, sedangkan Mama Desri sedang memilih beberapa jenis sayuran. "Mau makan apa?" "Mawar pengen bakwan jagung, Ma. Boleh?" Mama Mawar tersenyum, lalu mengangguk. Mereka kemudian berjalan menuju bagian buah-buahan, dan saat Mawar sedang mendorong troli, tidak sengaja ia menabrak seseorang. "Ah, maaf!" pekik gadis itu sambil menghampiri orang yang tak sengaja tak tertabrak olehnya. "Oh, iya, saya nggak apa-apa, kok," ungkap wanita itu sambil tersenyum. Desri kembali sambil membawa beberapa buah-buahan, dan kembali pada Mawar yang sedang menunggunya. "Kenapa, Nak?" tanya Desri sambil mengamati keadaan sekitar. "Ini, tadi Mawar nggak sengaja nabrak ibu ini," jelas Mawar sambil menyentuh lengan ibu-ibu yang tak sengaja tertabrak olehnya. Sedangkan ibu-ibu yang tak sengaja tertabrak oleh Mawar, dia malah memperhatikan wajah Desri dengan lekat, hingga membuat Desri merasa tak nyaman. "Maaf, kenapa Anda memperhatikan saya sampai seperti itu?" Desri memberanikan diri untuk bertanya. "Maaf, tapi ... apa sebelumnya kita pernah ketemu?" tanya ibu-ibu itu. Desri terlihat kebingungan. "Nggak, ini baru pertama kalinya kita ketemu." "Nggak, kamu kok kayak adik kelas aku, ya? Sahabat aku itu, lho!" Ibu-ibu itu keukeuh, hingga membuat Desri sedikit memundurkan tubuhnya karena takut. "Maaf, kayaknya Anda salah orang." "Nggak! Ini beneran kamu, kan? Dena? Eh, Destro? Eh, siapa sih? Distro? Ya ampun, aku lupa. Siapa nama kamu?" tanya ibu-ibu itu sambil riweuh sendiri. "Nama Desri," ucap Desri sambil menunjuk dirinya sendiri. Sedangkan Mawar, gadis itu masih setia dengan tontonan drama yang ada di hadapannya. "Iya, nah! Kamu Desri! Astaga, ini beneran kamu! Ya ampun, aku kangen!" Tiba-tiba saja ibu-ibu memeluk Desri dengan erat. Sedangkan Mawar yang melihat adegan itu, dia langsung menjauhkan mamanya yang sedang dipeluk oleh orang asing. "Tolong, Ibu jangan seenaknya peluk mama saya, ya!" tegas Mawar. Ibu-ibu itu melepaskan pelukannya, lalu melihat ke arah Mawar dan tersenyum. "Ini anak kamu? Cantik, ya? Dia umur berapa? Udah nikah belum? Lulusan mana?" Mawar menatap aneh pada ibu-ibu itu. Baru juga ketemu, tapi sudah memborbardir mamanya dengan berbagai macam pertanyaan. "Tapi maaf, sebelumnya Anda siapa, ya?" tanya Desri sambil menatap ibu-ibu itu. "Ini aku, Mirna! Senior kamu waktu SMA dulu!" jelas Mirna sambil menunjuk dirinya sendiri. "Mirna? Mirna mana, ya? Soalnya saya juga punya senior yang namanya Mirna." "Iya, itu aku! Mirna Saraswati! Alumni SMA 2 Kuningan, anak IPS 2!" "Iya, namanyy Mirna Saraswati! Tapi, ko Anda bisa tau nama sahabat saya, ya?" tanya Desri kebingungan. Mirna gemas dengan dirinya sahabatnya yang tidak mengenali dirinya. "Iya, itu aku, Des! Dulu aku buluk, item, dekil! Sekarang aku putih, makanya kamu nggak kenal!" Ah ... Mirna membuka kartunya sendiri. Desri melihat wajah Mirna denga seksama. Cukup lama, hingga akhirnya dia menjerit. "Astaga, ini ini Kak Mirna? Si kucel itu, kan?" tanya Desri memastikan. Dan dijawab anggukkan kepala oleh Mirna. "Ya ampun, maaf. Aku nggak kenal! Abis pangling banget, dulu item, buluk, dan dekil. Sekarang kinclong gini!" Desri memeluk tubuh seniornya itu. "Iya, itu aku, Des. Tapi maaf, kamu itu mau ngeledek atau gimana?" Lalu gelak tawa terdengar dari mereka, dan melupakan keberadaan Mawar dan Herman, suami Mirna. "Mama," panggil Herman sambil mendorong troli. Desri, Mirna, dan Mawar melihat ke arah Herman. "Dia?" tanya Desri. "Iya, dia Herman, suami aku," kata Mirna sambil menggandeng lengan suaminya, Herman. "Dia siapa, Ma?" tanya Herman pada istrinya. "Dia Desri, Pa." "Ha? Desri, si junior songong itu?" tanya Herman pada istrinya. Lalu mereka semua mengangguk. Mereka bertiga bercengky sebentar, sebelum Mawar memanggil namanya. "Ma, ayo ...." ajak Mawar pada Desri. Dan ketiga orang itu melihat ke arah Mawar, dan sedetik kemudian Mirna dan Herman saling melempar pandang, dan dengan kompaknya mereka berdua menatap Desri, dengan tatap seolah-olah mereka bertanya, 'dia siapa?' "Em ... ini Mawar, putriku." Desri menjelaskan, lalu dia menatap ke arah Mawar kemudian dia berkata, "Nak, ini Tante Mirna dan Om Herman, sahabat mama waktu SMA dulu. Mawar tersenyum, dan meraih tangan dua sahabat mamanya lalu menciumnya. "Halo, Om dan Tante, saya Mawar." Mawar memperkenalkan diri. Herman dan Mirna tersenyum, mereka berdua suka pada sikap sopan santun dari Mawar. "Mau mampir ke restoran milik kita?" tawar Desri pada sahabatnya. Herman dan Mirna, saling memandang. Kemudian pasutri itu mengangguk berbarengan. *********** Suasana Wijaya Grup terlihat sudah sepi. Hampir semua karyawannya sudah pulang ke rumahnya masing-masing. Tapi, masih ada juga beberapa orang yang masih tinggal di perusahaan itu. Seorang pria masih duduk di kursi kerja miliknya, tangannya sibuk membolak-balikkan lembar dokumen yang tersusun rapih di atas meja kerjanya. Lalu suara ketukan pintu membuat pria itu mengetikkan kegiatannya. "Masuk!" ucapnya tanpa mengangkat wajahnya. Terdengar derap langkah kaki, perlahan mendekat ke arahnya. "Yo, Ren! Ko Lo rajin banget, sih?" tanya Max, sahabat yang merangkap menjadi atasan Rendra di perusahaan. "Iya, nih. Sengaja, biar bisa dapet bonus nanti," jawab Rendra sambil melihat ke arah sahabatnya, yang sedang duduk di atas meja kerjanya. "Lagian, cape-cape kerja buat apa? Lo nggak punya pacar yang bisa ngabisin duit Lo!" "Heh, Lo lupa sama Michelle?" tanya Rendra. Max melihat ke arah Rendra, lalu membuang muka. "Lo masih ngarepin cewek yang ga jelas itu? Cewek yang hampir bikin Lo jadi gila? Hem?" cecar Max. Rendra terdiam, dia tak membalas ucapan sahabatnya. Dia malah menyibukkan dirinya dengan setumpuk dokumen. "Lo harus lupain Michelle, Ren," ucap Max. "Nggak bisa, gue nggak bisa lupain dia, Max," kata Rendra, dengan mata masih tertuju pada dokumen yang harus ia tanda tangani. "Lo harus bisa, Ren! Cari cewek lain! Buka hati dan mata Lo, dan liat, masih banyak cewek di luar sana!" "Nggak semudah itu, Max! Lo nggak ngerasain apa yang gue rasain!" Suara Rendra meninggi. Max mendengus kesal. Entah nasehat apa lagi yang harus ia berikan untuk sahabatnya, bahkan orang tua Rendra sendiri sudah dibuat pusing oleh anak bujangnya. "Gue nggak tega liat Lo yang menderita kayak gini, Ren. Lo bahkan rela melajang cuma gara-gara pengen menjaga hati buat cewek yang keberadaannya juga nggak jelas di mana!" tegas Max, dengan berapi-api. Rendra tak mengomentari ucapan Max. Dia menutup mata dan telinga, dari orang-orang yang menyuruhnya untuk melupakan Michelle. ********** Sedangkan di sebuah restoran, tiga orang paruh baya sedang duduk dan bernostalgia ria, sambil sesekali memakan dan menyesap minuman yang terhidang di mereka. "Astaga, Des! Aku udah nyangka, kalo si Bima itu seekor buaya! Aduh, emosi aku!" keluh Mirna, saat mendengar cerita Desri, mengenai rumah tangganya. "Ya begitulah, Mir," sahut Desri sambil tersenyum kecut. "Terus, sampe sekarang kamu belum nikah lagi?" selidik Mirna. Desri pun mengangguk, lalu berkata, "Iya, dan gara-gara perceraian antara aku dan Bima, ini berdampak pada Mawar, putriku satu-satunya." Desri menatap pada Mawar, yang sedang menghadapi pelanggan yang sedang mengeluh. Mirna dan Herman pun melihat ke arah Mawar, mengikuti kemana mata milik Desri menatap. "Anakmu, umur berapa, Des?" Lagi-lagi Mirna bertanya pada Desri. Untung saja sahabatnya itu sabar, dan memaklumi sifat kepo seniornya. "Umur 25 tahun, Mir," sahut Desri sambil terus menatap Mawar. "Astaga, udah nikah?" "Belum. Dia takut, jika bertemu lalu menikah dengan laki-laki seperti mantan ayahnya, Bima. Ini semua salahku, Mir." Desri menjelaskan. Herman dan Mirna merasa iba, pada jalan hidup sahabatnya. Lalu Mirna mengelus punggung tangan sahabatnya dengan lembut. "Sabar ya, Des! Ini bukan salah kamu ko, yang bertemu dengan laki-laki yang salah. Laki-laki yang tak bisa hidup hanya dengan satu wanita." Mirna menenangkan. Desri hanya tersenyum. "Oh, iya. Kamu punya anak berapa, Mir?" tanya Desri. "Satu, laki-laki. Bujang tua anak aku sih!" keluh Mirna kesal, jika tiba-tiba teringat pada anak bujangnya, Rendra. "Lho, kenapa?" Desri heran. "Dia, umur udah 30 taun, tapi sampe sekarang belum nikah!" kata Herman sambil menyesap minumannya. "Bener itu, Mir?" Desri memastikan, dan dijawab anggukkan oleh Mirna. "Dia, nunggu cewek yang nggak jelas keberadaannya di mana. Sampe-sampe dia nolak semua perempuan yang pengen deket sama dia." Herman menjelaskan keadaan putranya. Desri pun merasa iba pada kondisi anak sahabatnya. Entah kesambet apa, tiba-tiba Mirna mengusulkan sebuah ide. Ide yang mampu membuat para pengunjung restoran menatap ke arah meja mereka semua. "Gimana kalo kita jodohin mereka berdua?" usul Mirna sambil tersenyum secerah mentari siang itu. "Apa?" pekik Herman dan Desri bersamaan. "Kenapa? Kan bagus, tuh! Yang satu nggak percaya karena pikirannya udah terdoktrin, bahwa semua laki-laki itu sama, kayak mantan ayahnya. Yang satu lagi nya cuma keukeuh sama satu wanita. Nah, tugas si cowok, dia membuktikan pada si cewek, jika tidak semua laki-laki itu buaya. Gimana, setuju nggak?" Herman dan Desri masih terdiam, mencerna usulan Mirna. "Tapi, mereka kan udah jelas nggak ada perasaan, Mir," ucap Desri. "Tenang aja, lama kelamaan nanti juga mereka bakalan ada perasaan, kok! Batu yang keras aja bisa bolong sama air kalo tiap hari di tetesin. Nah, mereka juga sama. Bakalan luluh satu sama lain karena kecantikan dan ketampanan dari diri mereka masing-masing! Gimana, kalian setuju nggak, Des, Pa?" Dua orang itu masih terdiam. Belum memberikan jawaban atas pertanyaan dari Mirna.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD