Part 1

757 Words
Kalla mematut diri di cermin. Ia ingin hari pertamanya bekerja berjalan dengan lancar, pun di hari-hari selanjutnya. Susah payah Kalla meminta restu mamanya agar diizinkan merantau ke Jakarta. Kalla tak mau perjuangannya sia-sia. "Udah siap, Kal?", terdengar suara Raka, teman semasa kuliahnya yang mengajak Kalla melamar kerja di Jakarta, dari balik pintu kamar Kalla. "Udah", jawab Kalla seraya membuka pintu. "Yuk bareng. Aku bawa mobil Tante Metha sekalian anter anaknya sekolah." "Oke." Saat ini Kalla kos di rumah kos Metha, tante Raka. Kalla yang bukan asli Jakarta merasa sangat terbantu oleh Raka yang keluarga besarnya ada di Jakarta. Raka sendiri sedari kecil tinggal bersama orang tuanya di Pontianak. Namun, Raka dan Kalla baru saling mengenal di bangku kuliah karena mengambil jurusan yang sama. Tak lama kemudian mereka telah sampai di depan kantor tempat Kalla akan bekerja. Raka dan Kalla tidak bekerja di kantor yang sama. "Entar pulangnya aku jemput. Kamu tunggu aja kalo aku belum nyampe." "Gak usah, Ka. Aku pulang sendiri aja." "Aku jemput aja, entar kamu nyasar. Sekalian aku tunjukin jalan-jalan yang bisa kamu lewatin." "Iya deh. Makasih banyak ya, Ka. Kamu udah nolongin aku terus." "Kayak ke siapa aja sih, Kal. Di sini aku yang jadi orang terdekat kamu." Raka tersenyum penuh arti. "Ya udah sana masuk, tar telat." "Oke. Kamu ati-ati yaa bawa mobilnya." "Siap, Tuan Putri." Raka berlagak memberi hormat pada Kalla. Tawa keduanya berderai. =================================== Kalla dan beberapa karyawan baru duduk di sebuah ruangan yang cukup luas. Seorang pria yang cukup berumur tengah memberikan penjelasan mengenai seluk-beluk pekerjaan yang akan dilakukan. Namun fokus Kalla tertuju pada pria dewasa yang duduk di sebelah pria yang tengah berbicara. Kenapa Tuhan begitu jahat dengan mempertemukan dirinya dengan pria itu setelah penantian panjangnya, setelah dia menyerah untuk menantinya. Kenapa baru sekarang? Kalla mencoba meredam detak jantungnya yang menggila dengan irama tak beraturan. Niat hati merantau ke Jakarta agar dapat mengusir pria itu dari hatinya. Justru yang ia dapat sekarang adalah pertemuan yang sudah tak diinginkannya. Ditundukkannya kepala dalam-dalam, berharap pria itu tak dapat melihatnya. Beruntung Kalla tidak duduk di barisan depan. Kalla menghela napas lega. Beberapa menit yang lalu paru-parunya terasa sesak bak kekurangan oksigen. Lehernya serasa tercekik saat pria itu menatapnya sambil tersenyum simpul sesaat sebelum meninggalkan ruangan. Kenapa hatinya lemah sekali. Hanya melihatnya, mendengar suaranya, ditatap olehnya, dan diberi seulas senyum saja sudah menghancurkan tekad Kalla setahun terakhir untuk melupakan pria itu. Harapannya kembali timbul. Semangatnya kembali menggebu. Mungkin takdir mereka memang harus bersama, sesuai janji pria itu. Kalla tersenyum. "Gila! Ganteng banget Pak Danar! Mau gue jadi bininya...". Celotehan dari beberapa karyawan wanita terdengar. "Udah punya bini dia." Refleks Kalla mengarahkan pandangan ke sumber suara. Telinganya langsung berganti mode siaga. "Jadi simpenannya juga boleh. Hihi...." "Kagak bakalan. Setia dia mah." "Sok tau banget lo. Ganteng, tajir pasti punya simpenan dimana-mana." "Pak Danar mah beda. Setia banget sama bininya." "Lo tau dari mana?" "Gue sodaranya." "Heh! Kalo lo sodara Pak Danar, lo gak jadi karyawan biasa kayak kita. Ngaku-ngaku aja lo!" "Serah!" Perlahan suara-suara itu menghilang, menyisakan luka sayatan di hati Kalla. Jadi, Kak Danarnya sudah menikah. Tuhan pandai sekali mempermainkan hatinya. Baru beberapa menit yang lalu dirinya melambung, kini sudah terhempas lagi bahkan jauh lebih dalam. Sepertinya Kalla sudah salah dengan niatnya. Seharusnya dia pergi merantau dengan niat mencari uang, bukan untuk melupakan masa lalu. Ubah saja sekarang niatnya. Ya, sesimpel itu. Kalla harus lebih fokus mengumpulkan pundi-pundi uang. Fokus saja melanjutkan hidup. Masalah selesai. =================================== "Bawakan data karyawan baru ke ruangan saya sekarang", pinta Danar pada Sadida, asistennya, saat baru saja keluar ruang meeting. "Baik, Pak." Beberapa saat kemudian Sadida memasuki ruangan Danar dan menyerahkan map berisi data karyawan baru yang Danar minta. "Ini datanya, Pak." Danar segera membuka map itu. Dibacanya dengan seksama isi map tersebut. Matanya berbinar saat menemukan apa yang dia cari. "Senandung Kalla Senjahari", gumamnya. "Gotcha!" Tanpa sadar Danar tersenyum. Tadi dia memang tak salah lihat. Dia pikir hanya halusinasi saja melihat sosok gadis kecilnya. Hanya beberapa detik saja Danar melihat sosok itu sebelum pandangannya terhalang oleh orang-orang yang duduk di barisan depan. Ditambah lagi gadis itu terus menundukkan kepalanya. Beruntung saat keluar ruangan Danar melewatinya dan menyempatkan diri menatap wajah cantik itu. Tak lupa senyum manisnya untuk mengingatkan gadis itu bahwa dirinya masih Danar yang dulu. Sadida memperhatikan perilaku aneh bosnya. Tak biasanya bosnya tersenyum sendiri seperti itu. Danar memang bukan tipe bos yang kaku dan dingin, namun di mata Sadida dan para karyawannya Danar adalah sosok yang berwibawa dan disegani. Sadar tengah diperhatikan oleh asistennya, Danar berdehem sebelum menyuruh Sadida keluar dari ruangannya. =================================== TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD