Part 2

720 Words
"Kalla, tolong bawa berkas ini ke ruangan Pak Sadida." Bu Billa, atasan Kalla, menyerahkan sebuah map. "Ruangannya di lantai dua puluh dua." "Baik, Bu." Kalla bergegas menuju ke lantai dua puluh dua. Ternyata tak sesusah yang Kalla pikirkan untuk sampai di ruangan Pak Sadida. Begitu lift terbuka di lantai dua puluh dua, Sadida tengah berdiri tepat di depan pintu lift. "Maaf, Pak. Ada berkas dari Bu Billa untuk Bapak." "Oh, kamu langsung kasih ke Pak Danar aja. Itu ruangannya. Beliau ada di dalam." Sadida menunjuk ke sebuah pintu besar di belakangnya. 'What?! Apa-apaan ini?! Ya Tuhan, apa Kau belum cukup puas menjungkir-balikkan hatiku?' "Pak Danar nunggu dari tadi lho", Sadida membuyarkan lamunan Kalla. "Oh, iya Pak. Maaf", Kalla sedikit membungkukkan badannya. Memantapkan hati, Kalla mengetuk pintu besar berwarna coklat di depannya. 'Semua akan baik-baik saja, Kalla. Pasti.' "Masuk!" Terdengar sahutan dari dalam. Kalla membuka pintu. "Ini berkas dari Bu Billa, Pak." Tak ingin berlama-lama di ruangan yang terasa hampa udara itu, Kalla segera meletakkan map di meja Danar. "Saya permisi." Kalla sedikit membungkukkan badannya dan segera memutar tubuhnya seratus delapan puluh derajat. "Kalla..." Suara berat tapi lembut itu berhasil menghentikan langkah Kalla. Jantungnya berdegup lebih cepat. "Duduk dulu." "Maaf, Pak, saya masih ada pekerjaan yang belum selesai", Kalla berusaha menolak. Kalla tahu dia tak seharusnya menolak perintah atasan apa lagi bosnya di sini. Jika saja bosnya bukan Danar sudah bisa dipastikan Kalla tak akan berani menolak. Namun demi kesehatan hati dan jantungnya, dia terpaksa melakukannya. Biar saja Danar menganggapnya tidak profesional. "Kamu ga bisa nolak, Kal. Ini masih di kantor, masih jam kerja. Ada hukumannya kalo nolak perintah atasan", Danar tersenyum. Dia sebenarnya tak berniat membawa masalah pekerjaan dengan Kalla. Namun melihat Kalla yang begitu kaku dan tegang, Danar ingin menggodanya. "Baik, Pak. Saya minta maaf." Akhirnya Kalla memilih menyerah, duduk di kursi di hadapan meja Danar. Kalla menunduk, tak ingin menatap Danar dan foto berbingkai besar di belakangnya. "Gimana kabar kamu, Kal?" "Saya baik, Pak." "Jangan kaku gitu, Kal. Emang kamu gak kenal Kakak?" "Ini di kantor, Pak, masih jam kerja." Danar tertawa. Kallanya masih seperti dulu, pandai membalikkan kata-katanya. "Kamu tinggal di mana?" "Saya ngekos, Pak." "Astaga, Kalla. Kita ngobrol biasa aja, jangan kaku gitu. Ini perintah." Kalla mengangguk. "Kamu ke Jakarta sendiri?" "Iya." "Sejak kapan tinggal di Ketapang?" "Gak lama abis Kakak pulang kampung." Nyessss.... Sejuk hati Danar mendengar sebutan itu lagi setelah sekian lama. Memang bukan cuma Kalla yang memanggilnya kakak. Tapi saat Kalla yang mengucapkannya rasanya berbeda, seperti ada manis-manisnya. "Kok gak kasih kabar? Kakak balik lagi ke Jogja kalian semua udah pindah. Gak ada yang tau pasti kalian pindah kemana." Danar menjeda ucapannya. Ditatapnya sosok cantik itu yang masih setia menunduk. Kalla sudah dewasa, sudah semakin cantik. Kulit putih bersih, mata bulat dengan bulu mata yang lentik alami, hidung yang cukup mancung, bibir tipisnya yang semakin menggoda. Ah, Danar ingin menyentuhnya. Membelai rambut ikal Kalla yang kemerahan dan lembut. "Kalla, Kakak udah kayak orang gila nyariin kamu." Mata Danar terlihat berkaca-kaca. "Maaf." Hanya kata maaf. Hanya kata itu yang bisa Kalla ucapkan. Mau apa lagi? Sekarang Danar sudah menikah, Kalla sudah memastikannya hanya dengan melihat sebuah foto mesra Danar dan seorang wanita yang terpajang elegan di dinding ruangan itu, tepat di belakang kursi Danar. "Kenapa kamu tiba-tiba pindah dan gak kasih tau Kakak? Papa sama Mama juga gak ngomong apa-apa waktu itu." "Aku gak tau. Papa bawa kita pindah. Udah gitu aja." Sebenarnya Kalla sudah mulai merasa tidak nyaman dengan obrolan ini. Dia sudah sangat enggan mengenang masa-masa itu, enam tahun lalu. Masa-masa yang sangat berat buatnya. Selama hampir lima tahun dia sudah seperti mayat hidup, hidup segan mati tak mau. Hingga di tahun ke enam Kalla mulai menyadari bahwa dia masih hidup dan masih bisa menikmati hidupnya. Kalla berusaha bangkit dengan bantuan mamanya, kakaknya, dan Raka yang mulai dekat dengannya setahun belakangan. "Nanti pulangnya Kakak anter. Kakak harus tau kamu tinggal dimana." "Gak usah, Kak. Aku pulang sama temen." "Kalla, di sini kamu jadi tanggung jawab Kakak. Apa kata Mama sama Papa kalo kamu di sini gak Kakak jagain. Jangan nolak lagi, Sayang." Kalla mengangguk. Hanya sebatas tanggung jawab pada Mama dan Papa katanya. Kok sakit sekali rasanya. Ah, memangnya apa yang Kalla harapkan dari Danar. "Udah sana balik kerja lagi. Nanti pas pulang Kakak tunggu di lobi." Kalla kembali mengangguk. =================================== TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD