Bab 2 : Ngidam

1376 Words
Bab 2 : Ngidam “Bik, masukin kotak makan sajalah! Anjani tunggu di sini, malas gabung ke sana!” ujar Anjani kecut sambil berlalu ke ruang tengah sembari menyambar remot televisi. “Baik, Non,” jawab Bik Siti, ia tahu kalau hubungan Anjani dan mamanya tak baik semenjak sang mama menikah lagi tiga tahun yang lalu. Beberapa saat kemudian, Bik Siti telah kembali dari dapur dengan membawa kotak makanan untuk Anjani. “Jani, mau ke mana kamu?” tanya Endah sambil bergandengan mesra dengan Lucky, si ayah tiri. “Kampus, Ma,” jawab Anjani sambil memasukkan kotak makannya ke dalam tas. “Hey, gimana masalah kehamilanmu ini?” Endah mendekati putri tunggalnya itu dengan wajah jengkel, matanya menelisik perut Jani yang memang terlihat agak berisi dari biasanya. “Jani gak hamil, Ma! Balik dari kampus mau ke dokter kandungan yang lain, biar jelas hasilnya,” jawab Anjani sambil ngeloyor menuju ruang tamu untuk sampai di pintu depan. Lucky mendekati istrinya, lalu berkata, “Lihatkan saja dulu, Sayang. Semoga dugaan kita tidak benar, Jani nggak hamil. Kasihan kamu pasti malu kalau Anjani benaran hamil anak ular.” “Iya, Mas, semoga saja hasil pemeriksaan itu benaran salah.” Endah semakin mengeratkan gandengan tangannya kepada sang suami yang umurnya terpaut sepuluh tahun darinya itu. *** Setelah mengantar tugasnya ke kampus, Anjani langsung menuju rumah sakit untuk kembali memeriksakan dirinya. Ia tak terima dirinya yang masih perawan malah diagnosa hamil 3 bulan. Apalagi mamanya sudah tahu akan hal ini. Anjani masuk ke ruangan poli kandungan, ia berharap pemeriksaan kali ini benar adanya dan tak salah seperti kemarin. “Sudah telat berapa minggu, Mbak?” tanya sang perawat kepada Anjani. “Gak ada telat, Sus, haid lancar tiap bulan dan saya masih perawan tapi kemarin malah diagnosa hamil tiga bulan sama rumah sakit xxx,” ujar Anjani dengan kesal. “Oh, kalau begitu ... langsung ke Dokter Gio saja!” jawab sang perawat. Anjani berpindah tempat duduk, dari kursi di depan perawat ke hadapan dokter muda berkaca mata dengan senyum yang lumayan manis, sehingga membuatnya menelan ludah. “Ayo, Mbak, langsung ke tempat tidur periksa saja! Suster, tolong dibantu!” ujar sang dokter. Sang perawat langsung menghampiri Anjani dan menyuruhnya berbaring, lalu menaikan baju kaos oblong itu dan menyemprotkan gel ke perut gadis tomboy itu. Dokter Gio sudah menyiapkan alat transduser dan langsung menekannya ke perut Anjani. Matanya yang sipit semakin menyipit saja saat mengamati monitor di hadapannya. “Gimana, Dokter, saya benaran hamil?” tanya Anjani tak sabar. “Iya, Mbak, kamu hamil 13 minggu. Cuma ... janin kamu ini agak aneh, diusia kandungan tiga bulan ini belum terlihat jelas. Sepertinya ada banyak, mungkin kembar lebih dari dua,” ujar sang dokter sembari mengamati layar monitor sebab ini kasus pertama yang membuat dahinya berkerut. Anjani menarik napas frustasi, ternyata dirinya benaran hamil dan yang lebih membuatnya shock, janin di rahimnya lebih dari dua. “Dok, gimana saya bisa hamil? Saya ini masih perawan dan belum pernah melakukan hubungan badan dengan siapa pun?” tanya Anjani kesal sambil menepis tangan dokter lalu bangkit dari tempat tidur pemeriksaan. “Saya juga selalu haid tiap bulan, masa iya hamil?” sambungnya dengan kesal. Dokter dan perawat saling pandang, mereka juga bingung dengan kasus Anjani. *** Anjani kembali ke rumah dengan kesal, hasil pemeriksaan yang kedua ini semakin membuat kepalanya berdenyut. Sudah dua dokter yang menyatakan dirinya hamil. Sang mama pasti akan mengamuk lagi kalau tahu hasil pemeriksaan keduanya sama dengan hasil yang pertama. Dengan wajah ditekuk, Anjani duduk di teras atas sambil menatap aneka peliharaannya juga. Ada beberapa jenis ular Sanca, seperti sanca kembang, sanca bola dan sanca hijau. Semua ular yang ia perlihara mempunyai nama panggilan sendiri. Akan tetapi hanya ular pyton yang ia beri nama Chiko dan sanca bodo yang bernama Ceril yang ia bebaskan berkeliaran di rumah. Tiba-tiba, Anjani merasakan perutnya mual seperti ingin muntah. Ia langsung berlari masuk ke kamar mandi dan mengeluarkan kembali apa yang sudah dimakannya di kampus tadi, cumi balado tanpa nasi. “Wueekk!!!” Anjani menatap geli makanan sisa muntah yang berserakan di wastafel. Dengan perut yang terasa diaduk-aduk, ia naik ke atas tempat tidur dan merebahkan diri. Penyakit asam lambungnya kembali kumat, begitulah pikir gadis tombiy itu karena ia sering terlambat makan. *** “Jani!!!” Terdengar bunyi ketukan dari depan pintu kamar. Dengan malas, Anjani membuka pintu kamar dan mendapati dua temannya Rully dan Radji sedang bermain bersama ular-ularnya. “Jan, kita dah nungguin kamu satu jam-an di taman, kok gak datang-datang juga sih?” Rully menghampiri Anjani. “Iya nih, mana chat dan telepon diangguri. Kamu kenapa sih, sakit? Tampangnya kusut gitu?” Radji duduk di samping Anjani. “Pulang dari kampus ketiduran. Aku mandi dulu, kalian tunggu di sini!” ujar Anjani sambil masuk kembali ke kamarnya. Anjani meraih handuk lalu membuka pakaiannya, Chiko terlihat mengamati aktifitas majikannya itu. Ia jarang keluar dari kamar, lebih senang melengkor di kasur sepanjang hari. Beberapa menit kemudian, Anjani sudah keluar dari kamar dengan menggendong Chiko di pundaknya, lalu mengopernya kepada Rully. Ketiganya menuruni anak tangga dan menuju mobil Rully, mereka akan menuju taman dengan membawa hewan peliharaan masing-masing. Tapi, ular milik Anjanilah yang paling banyak dan beraneka jenis. Maka dengan itu, dia dijadikan ketua dari komunitas pecinta hewan melata itu. Sesampainya di taman kota, tujuh orang teman komunitas Anjani sudah menunggu. Diantara sepuluh orang itu, hanya terdapat dua orang cewek saja, delapan orangnya laki-laki. “Hey, akhirnya datang juga. Kirain gak datang!” sapa teman-temannya sambil menyatukan tangan. “Sorry aku telat, ketiduran.” Anjani langsung bergabung dengan teman-temannya sembari menurunkan Chiko dari pundaknya. Begitulah rutinitas Anjani bersama teman-teman komunitasnya, setiap sore sabtu dan minggu, mereka akan berkumpul di taman kota dengan membawa hewan peliharaan masing-masing. “Radji, beliin aku rujak di depan sana!” perintah Anjani kepada Radji sambil menyodorkan uang dua puluh ribu, ia jdi ingin makan yang asam-asam dan saat membayangkan rujak, air liur serasa masu menetes saja. Radji, si cowok berwajah India itu menurut saja. Ia memang sering disuruh Anjani ke mana-mana dan tak pernah berani menolak. Beberapa saat kemudian, Anjani sudah menikmati rujak buah itu dengan nikmatnya. Radji dan Rully hanya saling pandang, karena baru kali ini teman mereka yang tomboy itu makan yang asam-asam, biasanya dia paling anti dengan makanan masam. “Hamil kamu, Jan! Makan rujak kok sampai segitunya!” ejek Rully sambil cengengesan. “Hamil ama Chiko tuh!” timpal Radji. Mendengar ocehan dua temannya itu, Anjani berhenti menyucupi jari-jarinya dan meletakkan bungkusan rujak dari tangannya. Keringat dingin membasahi dahi, ia tersinggung dan takut ocehan temannya itu menjadi kenyataan. “Woy, Jan, marah kamu! Kita cuma bercanda,” ujar Rully tak enak hati melihat raut wajah Anjani yang berubah masam. “Iya, Jan, kami Cuma bercanda.” Radji mendekat ke arah Anjani. “Udah ah, siapa juga yang marah? Nggaklah. Ji, belikan aku es tebu di depan sana!” Anjani meluruskan kakinya. Anjani berusaha bersikap santai, tak ada yang boleh tahu tentang diagnosa dua dokter yang telah menyatakan dirinya hamil. Besok ia mendatangi rumah sakit lainnya, sebab ia yakin sekali kalau dirinya tak mungkin hamil. *** “Jani, dari mana lagi kamu udah malam begini baru pulang?” sambut Endah, mamanya Anjani saat putri tunggalnya itu memasuki rumah dengan Chiko melongkor di pundaknya. “Biasalah, Ma, abis kumpul ama geng komunitas,” jawab Anjani sambil melewati sang mama yang kini berkacak pinggang melototinya. “Sini dulu!” Endah menarik ujung jaket. “Apaan sih, Ma?” Anjani melengos sambil menurunkan ekor Chiko dari tangannya dan mengarahkan hewan melata itu ke arah sang mama. “Jani, jauhkan Chiko! Mama geli,” teriak Endah histeris melihat buntut Chiko mengenai wajahnya. Anjani menahan tawa. Ia memang sengaja mendekatkan Chiko ke arah sang mama sebab ia tahu, kalau mamanya memang penakut dengan ular. “Aghhh ... Jani, jauhkan Chiko!” jerit Endah lagi, saat Anjani sengaja mengalungkan ekor Chiko ke leher sang mama. Mendengar jeritan sang istri, Lucky langsung berlari ke ruang tamu dan menarik istrinya menjauh lalu menurunkan ekor Chiko dari leher istrinya. Sedang Anjani, ia tertawa puas melihat sang mama ketakutan. “Jani, mama sudah menemukan hasil pemeriksaan keduamu ya. Siap-siap saja, mama akan ngawinin kamu sama Chiko!” teriak Endah kesal melihat Anjani yang sudah berlari menaiki anak tangga dengan membawa hewan peliharannya itu. Bersambung .....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD