Bab 1 : Diagnosa Hamil

1110 Words
Bab 1 : Diagnosa Hamil "Anda positif hamil 13 minggu," ucap seorang dokter kepada wanita bergaya tomboy, ketua komunitas pecinta hewan melata itu. "Apa, Dok?!" Mata Anjani melotot sembari menggelengkan kepala, ia tertawa. "Gak mungkin, Dok! Jangan coba-coba memberi analisa palsu," sambungnya dengan tampang kesal. "Liat itu di layar monitor, ini kantong kehamilan anda walau janinnya belum jelas terbentuk." Dokter muda itu menunjuk monitor di samping Anjani berbaring. Anjani segera bangkit dari tempat tidur dengan sambil membenarkan bajunya setelah melakukan USG karena keluhan penyakitnya yang ia duga hanya asam lambung saja. Anjani duduk di hadapan sang dokter kandungan, wajahnya masam. Ia tak mempercayai sama sekali diagnosa itu. Ia jengkel karena awalnya ia hanya ingin berobat ke dokter umum saja, tapi dari dokter umum malah dirujuk ke poli kandungan. "Dok, bagaimana bisa anda mendiagnosa saya hamil sedang saya belum punya suami, dan belum pernah melakukan hubungan badan dengan siapa pun?" Anjani menatap tajam sang dokter wanita. "Kalau anda tak yakin dan meragukan diagnosa saya, silakan periksa ke dokter lain." Dokter itu tersenyum sambil menyodorkan surat hasil pemeriksaan. Anjani menghembuskan napas jengkel, lalu menerima amplop hasil pemeriksaannya. Tanpa mengucapkan terima kasih ataupun tersenyum, wanita dengan setelan jaket dan celana hitam itu keluar dari ruangan sang dokter. Setengah jam kemudian. Sambil mengumpat kesal, Anjani keluar dari mobil dan menutup pintunya keras-keras saat tiba di depan rumahnya. Dengan wajah masam, Anjani melangkah masuk ke dalam rumah, dan tak menoleh saat berpapasan dengan sang ayah tiri di depan pintu. "Emaknya ular kenapa datang-datang malah manyun gitu?" sapa ayah tirinya sambil berlalu. "Berisik!" jawab Anjani ketus. Sang ayah tiri hanya tersenyum kecut, lalu keluar dari rumah dan menuju mobil. Hubungannya dengan sang anak tiri memang tak terlalu baik. Anjani menaiki anak tangga lalu menuju lantai atas rumah yang memang sudah menjadi wilayah kekuasaannya. Deretan hewan peliharaannya menghiasi seisi ruangan, Anjani pecinta hewan melata jenis ular. Ada bermacam jenis yang ia koleksi di rumahnya lantai atas ini. Ada yang dikandang dan ada juga yang dibiarkan merayap bebas seperti jenis sanca bodo. Saat memasuki kamar, ular piton sepanjang 4,5 meter melingkar di tempat tidurnya. Anjani memberinya nama Chiko, setiap malam ia akan tidur bersamanya. *** Seminggu berlalu sejak dokter memvonis hamil pada Anjani, ia masih tak mempercayai hal itu, namun belum sempat juga untuk memeriksakan ke dokter lain. "Jani, apa ini? Kamu hamil?!" sambut sang mama saat Anjani baru saja masuk ke rumah. Anjani menatap tajam sang mama, melihat kertas hasil pemeriksaan miliknya tempo hari bisa berada di tangan sang mama. "Sini kamu, jelaskan semuanya kepada mama!" Wanita setengah baya yang masih terlihat muda itu menarik putri tunggalnya untuk duduk di ruang tengah. "Surat itu gak benar, Ma! Pasti ada kesalahan, Jani gak mungkin hamil," jawab Anjani dengan tampang kesal. "Gak mungkin salah, Jani! Ini dari Dokter di rumah sakit. Bilang sama, siapa ayah dari janinmu itu!" bentak sang mama geram. "Jani gak hamil, Ma!" bantah Anjani dengan nada tinggi pula. Mendengar suara keributan di dari ruang tengah, Lucky menghampiri istri dan anak tirinya yang sedang bersitegang dengan mata sama-sama melotot. "Hey, ada apa ini?" tanya Lucky sambil duduk di samping sang istri dan meraih kertas di atas meja. "Anjani, jangan coba mengelak lagi! Sebaiknya beri tahu siapa laki-laki yang telah menghamilimu itu! Biar kita bisa meminta pertanggungjawaban. Jangan bikin malu, hamil tanpa suami begini!" Sang mama memukul meja dengan keras. "Gak ada, Ma! Jani gak hamil dengan siapa pun!" Anjani bangkit dari sopa. "Hmmm ... mungkin Anjani hamil dengan ular peliharaannya, Sayang," ujar Lucky dengan senyum sinis sambil menghadap istrinya. Endah, mamanya Anjani tertegun, dahinya berkerut mendengar ucapan dari suaminya yang ganteng itu. "Bodo!" ketus Anjani sambil melirik ayah tirinya dan berlari menuju anak tangga. "Makanya Jani, jangan main sama ular terus! Udah hamil begini, mau minta pertanggungjawaban dengan siapa?!" Jerit Endah dengan kesal. "Kamu pasti dihamil Chiko si ular piton yang kamu keloni setiap malam itu!" Anjani naik ke lantai atas tanpa memperdulikan ocehan sang mama. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar, menatap Chiko yang sedang merayap dari tempat tidur turun ke lantai. "Masa iya Chiko yang menghamiliku? Agghh ... Ini bukan cerita legenda ular putih, omong kosong saja! Aku malah curiga dengan si Lucky, jangan-jangan dia yang sudah memperkosaku saat tidur!" Anjani membatin. Dengan menghembuskan napas kesal, Anjani duduk di kursi goyang yang sengaja ia letakkan di tengah-tengah ruangan, karena di sekelilingnya penuh dengan kandang ular dengan beraneka jenis ragam. Dipandanginya aneka jenis ular koleksian yang bisa membuat hati senang jika mengamati gerakan bergeliutan hewan melata itu. Pintu kamarnya terlihat terbuka, keluarlah si ular piton yang ia beri nama Chiko. Hewan kesayangannya itu mulai merayap dan mendekatinya, lalu melengkor naik ke atas pangkuan. Ceril si sanca bodo berwarna kuning pun tak mau kalah saing, ia yang sedari tadi melengkor di karpet bulu depan televisi merayap mendekat ke arah Anjani juga. “Ceril, Chiko, aku lagi pusing sekarang. Gimana bisa mama mendapatkan surat keterangan dari dokter itu? Agghh!!!“ Anjani menggaruk rambut sebahunya. Anjani mengumpat kesal sambil memegangi perutnya yang memang terlihat makin berisi dari biasanya. “Chiko, turun dulu sana! Aku mau ke kamar,” perintah Anjani pada ular piton berwarna hitam yang ia rawat dari kecil itu. Chiko seolah mengerti ucapan sang majikan, ia langsung merayap turun dari pangkuan Anjani lalu mengikuti gadis yang suka berpakaian serba hitam itu masuk ke dalam kamar. *** Malam ini, Anjani tak bisa memejamkan mata dengan tenang, tangannya masih mengusap perut. Besok pagi ia akan berencana ke rumah sakit lainnya untuk memeriksakan diri dan membuktikan kalau dirinya tidak sedang hamil. Chiko yang melengkor di samping Anjani merayap di kepalanya lalu naik ke dadanya. Ia tersenyum lalu memeluknya, ia tak memerlukan selimut lagi, si ular piton selalu membuatnya hangat dengan melilitnya seperti ini. Anjani mulai memejamkan mata sambil memeluk Chiko seperti biasanya. Ia merasakan kenyamanan saat bersamanya mesti si ular piton hanya peliharaan saja, ia sudah menganggap Chiko sebagai teman. Diciumnya kulit hitam itu dengan penuh kasih sayang, sembari mengelusnya hewan bersisik itu. *** Pagi ini, sebelum berangkat ke kampus, seperti biasanya Anjani memberi makan para ular peliharaannya. Chiko dan Ceril sudah menunggu di kandang belakang, ia langsung memberikan masing-masing satu ekor ayam kepadanya sebagai jatah makan seminggu sekali. “Oke, gaes, aku berangkat dulu,” gumam Anjani sambil menyunggingkan senyum, lalu melangkah menuju anak tangga. “Sarapan dulu, Non!” ujar Bi Siti, asisten rumah tangganya. “Mama sama Om Lucky ada di meja makan, Bik?” tanya Anjani malas. “Iya, Non. Sarapan requestan dari Non Jani udah Bibik masakan. Ayo, Non!” Anjani menelan ludah, pagi ini ia meminta dimasakan cumi balado. Akan tetapi, ia jadi malas jika harus sarapan bersama sang mama yang sedang dilanda puber kedua dengan suami barunya yang alay itu. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD