BAB 1

2092 Words
Seorang laki-laki dengan snelli yang membungkus tubuhnya sedang berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Wajahnya yang datar membuat beberapa orang terperangkap dalam pesona abu-abu sang dokter yang sudah berumur cukup matang itu. Bukan matang lagi sih, tapi sudah kadaluarsa. Pasalnya, umurnya sudah menunjuk angka 33 tahun. Dan di umur itu, sudah banyak ceramah bahkan khotbah yang masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Alfatah Renaldi Verza, atau biasa disapa Renal. Laki-laki dengan lesung pipi yang katanya ganteng tapi masih saja bertahan dengan ke-jomblo-annya sampai detik ini. Rasanya ganteng saja tidak cukup untuk membuat diri laku di pasaran. Tapi mau bagaimana lagi? Renal itu adalah tipe yang sangat pemilih. Orangnya selektif sekali. Terkadang Renal juga tidak tahu diri, dia sendiri saja mirip kulkas begitu. Jika ada perempuan yang bertahan dengannya itu adalah suatu kebetulan. For your information, Renal ini jaman SMA-nya terkenal playboy. Suka gonta-ganti cewek tapi tidak ada yang dipacari. Hanya untuk sekedar selingan di kala sepi dan juga jenuh. Tidak ada yang terlalu serius untuk Renal karena dia memang tipe laki-laki yang mudah berpindah hati. Maka dari itu, sekarang dia merasa sulit menemukan tambatan hati yang mungkin masih nyangkut di awang-awang. Tapi yang jelas mungkin sudah dilahirkan. Renal kembali fokus pada jalan di depannya. Jalanan di koridor yang mulai sepi karena beberapa orang sudah kembali ke rumah masing-masing. Sekarang sudah pukul sepuluh malam, dan Renal belum ingin pulang. Mungkin karena efek lelah dan terlalu memikirkan nasib mobilnya yang sekarang berada di bengkel. Bagaimana bisa nasib mobil kesayangannya itu rusak parah hanya karena motor sialan yang tidak sengaja menabrakkan diri ke mobil Renal. "Ren," sapa seorang laki-laki tinggi dengan senyum segaris. Mungkin itu tidak bisa disebut dengan senyuman. Hanya sejenis garis tipis di bibir. Macam bebek saja. Renal menghembuskan napas kasar lalu menghentikan langkahnya pelan. Meladeni Arham adalah suatu keharusan karena nasib mobilnya ada di tangan Arham. Karena dia tengah sibuk mengurus pasien dan Arham yang mengurus mobilnya untuk dibawa ke bengkel. Entah mengapa Arham tiba-tiba menjadi orang yang baik hati dan tidak sombong seperti saat ini. Arham melepas snelli yang masih melekat pada tubuhnya. Lalu berjalan mendekat ke arah Renal dan duduk tepat di kursi yang ada di dekat Renal sambil melipat tangan di d**a. Lengkap sudah dua kulkas ini saling berdekatan. Membuat udara sekitar seakan beku dengan adanya keduanya. "Mobilmu bakalan baik dalam beberapa hari. Saya sudah bayar tagihan, jadi kamu tinggal ambil saja." Ucap Arham seraya menatap lurus ke depan. Renal yang awalnya hanya menyandarkan punggungnya ke tembok langsung menoleh ke arah Arham. Arham, orang yang paling terkenal pelit di antara keluarganya itu, bisa membayar tagihan perbaikan mobilnya. Wah, mungkin sahabatnya itu memang sedang salah minum obat. Baru bayar bakso atau mi ayam saja, jika ada Renal pasti Renal yang bayar. Sudah begitu, acara ngidam Arham karena anak pertamanya itu juga cukup menguras dompet. Walau dia sendiri yakin, tak semahal Arham membayarkan biaya perbaikan mobilnya. Renal mendudukkan dirinya disamping Arham yang tengah berkutat dengan ponsel hitam miliknya. Ponsel yang katanya baru dan Arham beli beberapa hari yang lalu, dengan sedikit rengekan pada istrinya. Maklum, semenjak Fasha melahirkan, perempuan itu jadi hemat. Mengatur pengeluaran dengan sangat ketat karena memikirkan masa depan sang anak. "Kamu nggak salah, Ham. Bayarin makan aja nggak mau, kok bayarin perbaikan mobil ditambah benerin jadi bagus lagi yang nggak cuma ratusan ribu." Ucap Renal heran sambil menatap Arham dari arah samping. Sedangkan Arham hanya bisa nyengir lalu datar lagi. Renal menggelengkan kepalanya tak percaya. Bagaimana ini bisa terjadi? Tapi tak apa, mungkin ini adalah rejeki anak sholeh yang tertunda. Arham menoleh sejenak ke arah Renal dengan menaik-turunkan alisnya. Sedang Renal sudah mencium bau-bau tidak baik. Pasti ada udang di balik bakwan. Eh, dibalik batu. Harusnya Renal tahu jika Arham itu orangnya tidak pernah tulus pada dirinya. Dan sekarang, Renal hanya bisa menyiapkan mental untuk mendengar apa yang sebenarnya bapak satu anak itu mau. Jangan lagi disuruh minum jus pare karena Fasha hamil, jangan lagi disuruh balapan makan rujak dengan cabe ekstra pedas. Lalu setelah itu, Renal berakhir di kamar mandi karena mules yang berlebihan. "Kamu harus datang ke nikahan dokter Iren ya," ucap Arham dengan sumringah. Arham seperti orang yang baru saja mendeklarasikan kemerdekaan saja. Tapi bagi Renal, itu rasanya mirip kiamat versi dunia. Datang ke nikahan mantan? Itu sama saja seperti menyerahkan diri ke kandang singa. Walaupun dulu mereka hanya saling dekat dan belum ke tahap pacaran, tapi tetap saja rasanya menyesakan saat undangan warna biru muda dengan gambar bunga putih itu nangkring di atas mejanya. Sudah sial ditabrak motor, eh malah ditambah harus datang ke pernikahan mantan gebetan. "Nggak ada syarat lain apa, Ham? Kamu kan tau, aku agak sungkan ke pernikahannya dokter Iren. Sendiri pula," keluh Renal dengan tampang kesal. Sudah tahu dirinya masih jomblo, kok disuruh datang. Adanya nanti malu kalau hanya datang sendiri. Arham hanya tertawa sambil menaikkan kedua bahunya acuh, tidak peduli dengan penderitaan yang tengah Renal rasakan saat ini. Lalu, setelah itu Arham hendak melangkah pergi. "Nggak bisa move on, ya? Kasian banget sih, Pak. Datang, nanti di kira belum bisa move on, lho." Ucap Arham dengan menaikkan sebelah alisnya mengejek. Membuat Renal jadi kebakaran jenggot. Sahabatnya itu memang tidak tahu diri. "Denger ya, aku bakal dateng ke acara nikahan itu. Karena aku udah mo-ve-on, denger!" Ucap Renal berapi-api dengan nada yang super ketus. Jangan tanya bagaimana ekspresi puasnya Arham saat sedikit berlari karena tahu jika Renal sudah mulai meledak. Menumpahkan lava kesalnya karena ucapannya baru saja. ---oOo--- Renal membenarkan jas hitam yang jarang sekali membalut tubuhnya. Dia baru saja turun dari mobil kesayangannya yang sudah sembuh dari penyok. Ya, setidaknya mirip dengan semula. Tidak ada penyok dan beset-beset karena tertabrak motor perempuan gila yang memanggil dirinya bapak dengan percaya diri. Dia kira, Renal sudah tua apa? Ya sebenarnya sudah sih. Itu, jika boleh jujur. Tapi tenang saja, tua tapi ganteng banget. Sebuah hotel mewah di depan sana adalah hotel yang akan menjadi saksi sakitnya karena ditinggal menikah Iren. Renal pernah suka dengan rekannya sesama dokter itu, tapi akhirnya Renal menyerah karena sempat bosan. Tapi lama-lama Renal jadi menyesal juga karena Iren mendapat laki-laki yang jauh lebih baik dari dirinya. Calon suami dari Iren adalah anak dari pemilik sebuah rumah sakit besar di luar negeri. Indoluxe hotel menjadi pilihan pergelaran pernikahan super mewah yang akan digelar oleh dokter Iren dengan calon suaminya. Dan sini, berdiri Renal dengan wajah yang tak suka tapi masih sok memasang wajah cool agar dikira sudah lupa kisah pendekatannya dengan dokter Iren yang sebenarnya cantik luar dalam tapi hanya saja belum jodoh. Takutnya, Renal hanya menjaga jodoh orang lain. Dan benar saja, jika dulu mereka pacaran. Pasti Renal hanya bisa gigit jari sekarang. "Iya sih, mobil jadi bagus lagi. Tapi rasanya aku mau mati aja kalau datang dan mengucapkan selamat ke arah Iren," ucap Renal sambil memegang dadanya yang masih berdetak. Ya iyalah berdetak, kalau tidak berarti Renal dalam keadaan wassalam. Mana Fasha dan Arham sudah datang awal tadi pula. Karena ada acara dengan keponakannya, Kenan. Yang hampir mirip dengannya juga karena ada lesung pipinya yang manis. Padahal Renal tidak ikut berkontribusi mencetak Kenan waktu itu. Eh! Seorang laki-laki dengan baju batik dan celana kain sedang berjalan ke arah Renal. Tangan kanannya menepuk pelan punggung tegap di depannya itu. Sontak Renal hanya bisa kaget dengan ekspresi was-was. Datang ke acara pernikahan tapi mukanya tegang. Mirip tersangka yang akan dieksekusi mati saja. Perlahan, wajah kaget itu luntur. Lalu digantikan senyuman kecil tak ikhlas karena kesal. "Eh, dokter Raka datang juga ke sini?" Tanya Renal basa-basi, lalu menyalami pasutri di depannya. Dokter Raka adalah seniornya saat di FK dulu. Tapi sekarang dokter Raka bekerja di rumah sakit yang ada di luar kota. Mereka kadang suka berjumpa manakala ada acara-acara seperti seminar atau acara seperti ini. "Nanti nyumbang lagi kandas ya? Atau kalau enggak ya ditinggal rabi. Pasti nanti bakalan jadi viral," canda dokter Raka yang membuat Renal sebenarnya sedikit dongkol tapi pura-pura saja senang dengan guyonan yang nyatanya menyesakkan d**a. Hiks, Kenapa sih, jomblo harus dihujat begini? Kenapa jomblo dibilang orang yang nggak laku? Kenapa juga jomblo terlalu bermasalah di mata orang-orang yang sudah berpasangan? Para jomblo juga manusia. Mereka juga ingin memiliki pasangan. Tapi bukan berarti, sendiri itu suatu kutukan dari Tuhan. Terkadang orang yang sendiri, memang sedang melakukan pencarian tapi dengan langkah tenang. Mereka cenderung mencari mangsa yang terbaik, baru deh mereka melepas panah mereka. Sama halnya dengan Renal yang terlalu pemilih soal pasangan. Renal tidak mematok perempuan itu harus kaya, cantik, lulusan S2, tapi yang dia butuhkan hanya perempuan yang bisa membuatnya tak bisa melihat perempuan lain. Dan sampai sekarang, Renal belum bisa menemukan perempuan itu. "Dokter Renal, kami masuk dulu ya! Mau bareng atau gimana?" Tanya dokter Raka dengan senyum yang kini menghias area wajahnya dengan baik. Tak seperti tadi yang membuat Renal muak. Renal menyunggingkan senyum tipisnya, "saya baru nunggu someone, Dok. Duluan saja nggak papa kok," ucap Renal halus, padahal tidak ada yang dia tunggu. Hanya alibi agar mereka tidak masuk bersama. Cukup tragis kisah cintanya, dan jangan ditambah ejekan manja yang akan dilayangkan para rekan-rekan dokternya. "Oh, pacarnya ternyata." Ucap dokter Raka yang berjalan menjauh bersama istrinya setelah menepuk bahu Renal pelan. Sedangkan Renal hanya bisa mendengus pasrah. Pacar dari mana coba? Masih sendiri begini kok dibilang punya pacar. Dari banyaknya orang yang berlalu-lalang, ada satu pemandangan perempuan dengan dress batik sedang membawa bunga-bunga melati segar. Senyumannya nampak manis jika Renal sadar. Tapi nampaknya, Renal hanya ingat satu hal tentang perempuan di depannya itu. Dengan langkah cepat, Renal mendekat tanpa perempuan itu sadari sama sekali. Tidak ada yang tahu jika bahaya sedang mengancam. Renal langsung menarik lengan perempuan itu kasar. Membuat keseimbangan perempuan itu berkurang dan tanpa sadar Renal memegang pinggang perempuan dengan lesung pipi yang sama dengannya itu. Perempuan itu hanya diam dalam pelukan Renal. "Long time no see," sinis Renal dengan menaikkan sebelah alisnya. Dia adalah laki-laki yang pandai menarik ulur hati perempuan dengan hanya mengandalkan tatapan mata saja. Sama halnya dengan apa yang Renal lakukan pada perempuan dalam pelukannya itu. "Sabrina Elka Kusuma! Kamu si penabrak ceroboh yang waktu itu," ucap Renal membuat perempuan itu hanya bisa menelan salivanya susah payah. Apa dia baru saja tertangkap kembali? Padahal kan dia sudah berdoa agar tidak dipertemukan dengan laki-laki di depannya lagi. Perempuan yang biasa disapa Elka itu hanya bisa menarik napas sambil buang napas. Jantungnya yang awalnya biasa saja, bekerja keras karena melihat Renal yang memasang wajah datar di depannya. Elka tidak menyangka jika laki-laki di depannya ini memang benar-benar tampan. Tapi karena saking gugupnya, Elka hanya bisa bengong dengan menggenggam bunga melati di tangannya dengan kuat. "Eh, ini toh calonnya dokter Renal?" Tanya dokter Raka yang baru saja keluar dari dalam hotel bersama dengan istrinya. Reflek Renal langsung melepas cengkramannya dari pinggang Elka. Namun, pegangan Renal sudah berpindah pada pundak perempuan itu agar lebih dekat dengannya. Senyuman Renal tercetak jelas di sana. Ada rasa aneh yang bergelayut di dalam d**a. Tapi Renal berusaha senormal mungkin untuk tetap bisa biasa saja. "Ah iya, kenalkan ini tunangan saya. Ini kakak seniorku yang paling baik, dokter Raka." Ucap Renal sok memperkenalkan pada dokter Raka. Ini sebenarnya terpaksa dia lakukan karena tidak ada cara lain untuk membuat suasana seakan mencair bagai es krim. Elka membulatkan kedua bola matanya tak percaya. Namun, karena Renal menatapnya dengan tatapan intimidasi, akhirnya dengan sangat terpaksa Elka tersenyum tipis kearah dokter Raka yang seakan penasaran dengan hubungan keduanya. "Saya Elka, Dok. Senang bisa mengenal senior tunangan saya," ucap Elka dengan susah payah karena Renal masih menatap dirinya dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Dokter Raka tersenyum lalu segera pulang. Sedangkan di depan masih tersisa Renal dan Elka yang saling berhadapan. Dengan Elka yang hanya bisa menunduk. Pasti Renal akan minta ganti rugi yang banyak padanya. Elka benar-benar tidak tahu harus membayar dengan apa. Lalu bagaimana jika Renal bukan orang yang baik? "Maaf ya, Pak. Tapi saya benar-benar nggak sengaja nabrak mobil Bapak kemarin. Jadi, saya nggak bisa bayar ganti rugi karena saya cuma orang miskin. Saya nggak punya ap-" ucapan Elka terpotong karena Renal membekap mulutnya. "Bapak? Kamu kira saya ini udah Bapak-bapak apa? Gini, kalau kamu emang nggak bisa ganti rugi mobil saya. Kamu harus ikutin mau saya," ucap Renal dengan menyunggingkan senyum menawannya. Elka hanya bisa menatap Renal dengan tatapan bingung. Lalu, apa yang Renal inginkan dari dirinya? Apakah Renal akan mengerjai Elka? Atau membuat Elka merasa tertekan. Karena Renal memang bukan orang yang bisa ditebak. "Temani saya malam ini," bisik Renal yang membuat bulu kuduk Elka meremang. Bisikan itu benar-benar membuat darahnya berdesir. Lalu membuat kerja jantungnya seakan dipompa lebih cepat. Ya Allah, baru aja kenal. Kenapa udah ngajak bermalam aja. Tolong Elka! ---oOo---
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD