Bab 13

1789 Words
Sebulan lebih Annisa dirawat dan tinggal bersama serumah dengan Rara. Namun Annisa tak mampu mengingat masa lalunya. Yang dia ingat sebatas beberapa bulan terakhir yang terekam dalam memori ingatannya. Rara sengaja menempatkan Annisa bersamanya. "Aduh, cantiknya mamanya Rara." Puji Rara saat Annisa memakai selama Oscar hitam ketat dan jaket serta teen top milik Rara. "Tapi lebih pas kalau mama memakai ini, coba deh pasti lebih cantik." Tambahnya. Sempat Annisa memakai celana gemes dan tanktop yang sering dipakainya. Membuat Rara extra hati-hati menyimpan semua pakaian yang sekiranya tak cocok untuk mamanya dan menguncinya. Sehingga yang tersisa hanya pakaian dewasa. "Rara sini." Panggil Annisa sang mama, "kunci almari yang disini mana?, Mama pengen memakai yang ada di dalam sini." "Wah Rara lupa, besok kalau ada waktu kita cari bareng-bareng. Jadi sekarang mama pakai yang ini dulu, habis ini kita belanja pakaian buat mama. Okey." Sejak saat itu Annisa selalu mengajak ke toko buat beli baju yang baru. Kehadiran Annisa yang terkena amnesia akibat kecelakaan saat itu, kian menguras waktu. Sehingga semua aktivitas Rara. Namun dia melakukannya dengan penuh kesabaran. "Hari ini Rara pengen malem apa? Mumpung papa juga lagi laper nich, o iya mama kamu sudah bobo belum kalau belum tak bawain juga." Tanya papa dalam telepon. "Terserah papa aja." Tak seberapa lama sang papa sudah sampai di garasi mobil. Rara menyambut kepulangan papa dan mencium pipinya. "Papa akhir-akhir ini pulang terlalu malam,ingat jaga kesehatan papa." Pesan anak cantik belahan hatinya. Pak Soeryo Atmodjo tersenyum dan merangkulnya masuk langsung menuju meja makan. "Waaaaooo…makasih papaku yang caem selalu mengerti keinginan Rara cantik. apa yang ada dalam hati Rara pasti ada dalam pikiran papa." Pujinya terhadap papanya. Sejak ditelantarkan sang ibu yang melahirkannya hingga Rara dewasa memang tak sedetikpun hati pak Soeryo tanpa buah hatinya. Sehingga pak Soeryo tahu persis keinginan buah hatinya. Apalagi si Rara senantiasa terbuka tak secuil pun apa yang dialami dan dirasakan selalu dia ceritakan pada papa. Dan pak Soeryo satu-satunya tempat curhat yang bisa diandalkan dan bisa dipercaya. Pak Soeryo juga pendengar setia. Buat Rara. "Tadi pas papa lewat di depan sana, e… tiba-tiba seperti ada bisikan dari hati Rara yang papa dengar dengan jelas begini katanya: "Pa, lihat disebelah kiri itu ada resto,.mampir dan Rara lagi pengen yang itu." Begitu bisik hati Rara, makanya papa langsung beli… begitu ceritanya." Kata pak Soeryo ketika bercerita sama Rara. Mendengar cerita papa, si Rara tersenyum. Disantap Nya sate komoh kesikaan. "Hmmmm.. dari dulu sampai sekarang rasa tak pernah berubah. Sekali gigit Maknyus deh pokoknya." Puji Rara terhadap masakan di resto langganannya itu. "Kok papa cuman ngeliatin Rara maem?" "Ngeliat Rara menikmati sate pembelian papa, Rasanya pengen balapan sama anak papa tapi usia papa yang melarang makan melebihi porsi untuk seukuran papa." Diletakkan sate yang ada di tangan Rara kemudian dia menepuk jidat sambil berkata. "Oooo iyaaaa… Rara lupa." Kemudian diambilnya kembali sate komoh dan digigitnya. Malam itu Olien memakai parfum Chanel Grand Extrait koleksi Olien. Nada atas Neroli dari Grasse menyatu pada wangi bunga sensual dari dua bahan baku yang luar biasa, May Rose dan Jasmine dari Grasse. Menambah penampilannya terlkesan cewek banget. Memakai jeans ketat sepatu boot tinggi diatas mata kaki tanktop hitam dipadukan kemeja lengan panjang tipis dibiarkan tanpa kancing. Usai meneguk segelas air ia menghubungi, enam sekawan bermaksud ingin mengadakan pertemuan di rumah Rara untuk membahas langkah kedepan mengenai villa mereka setelah penyerahan kunci beberapa waktu yang lalu. "Pa, malam ini komunitas pengangguran mau mengadakan pertemuan disini." Pinta Rara. "Baguslah, sudah lama papa gak dengar gelak tawa mereka." Jawab papanya Rara. ngumpul bareng di rumah Rara bukan hal pertama yang mereka lakukan dirumah ini. Sampai-sampai saat mendesain ketika membangun rumah ini memang sudah disiapkan kamar khusus bagi mereka kalau sudah ngumpul kelewat waktu, bahkan hingga berhari-hari lamanya. Suara mobil Olien sudah terdengar berhenti di depan rumah Rara, suara khas canda mereka sudah memecahkan keheningan. Pak Soerya Atmodjo kali ini menyambut kehadiran mereka semua. "Selamat datang ke markas yang terlupakan." Sambut pak Soerya Atmodjo "Kami gak pernah lupa dan tak pernah melupakannya pak hanya saja kami lagi tidak ingat kalau kami punya markas disini." Jawab Nico lalu mereka tertawa. "Mungkin kami kesini gak bakal lama,hanya seminggu kok pak." Sahut si Olien. "Enggak pak salah sebulan." Sahut Nathan. "Enak aja, gak-gak pak satu jam aja, kemudian usir mereka semua tukang bikin Onar!, Cukup saya saja calon menantu bapak yang paling kece yang bakal nemenin calon istri." Saut Dirga. "Dah.. mulai Kan… kan … kan… rusuh dah!! Tolong panggil ambulan.. suruh bawa dia ke panti rehabilitasi." Saut Lia. Suasana seperti ini memang yang dirindukan oleh pak Soeryo Atmodjo. "Rasanya baru kemarin sore anak-anak ini kalau kesini pada dianter sama sopir, rasanya baru kemarin sore mereka minta didampingi saat mengerjakan tugas sekolah. Sekarang mereka sudah jadi miliarder tapi penampilan mereka tak berubah." Pikir pak Soeyo Atmodjo. "Saatnya kita membahas agenda kedepan." Pinta Olien menghentikan canda mereka. "Tapi Olien tau kalian gak bakalan bisa diam, karena Olien tau kalian pada laper semua." "Adik Nathan, adik Nico…temenin kakak ambil bungkusan di mobil, adik-adik cantik biar duduk manis ajjjja." Kata Dirga. ……… Usai makan malam yang mereka telah pesan saat menuju rumah Rara tadi, kini tinggal bungkus-bungkusnya saja yang tersisa. "Ciri-ciri masa pertumbuhan memang seperti ini, tanpa kata namun terpampang nyata di depan kita… bahwa bungkus-bungkus ini yang berbicara." Kata pak Soeryo Atmodjo mengawali pembicaraan ini. Kemudian dia lanjutkan. "Dan ini yang bapak banggakan dari kalian semua selama ini." Mereka semua hanya tersenyum mendengar apa yang dikatakan Papanya Rara. "Kalian tau apa yang bapak maksud?" "Terima Kasih buat pujian ini buat kami, tanpa kami sadari, waktu yang membuktikan terhadap apa yang kami lakukan selama ini dan itu terbentuk seiring berjalannya waktu." Kata Olien. Kemudian dia melanjutkan apa yang dia maksud. "Kami enam sekawan terlihat seperti kumpulan anak manusia yang hanya hura-hura dan menghabiskan waktu serta bergantung kepada kekayaan orang tua. Namun seperti bekas-bekas bungkus nasi ini membuktikan siapa yang menyantapnya, demikian juga villa yang berdiri megah itu membuktikan bahwa pemiliknya bukanlah orang yang suka hura-hura melainkan pekerja keras sejati." Mendengar pemaparan Olien semua bertepuk tangan dan mengacungkan jempol. "Bapak cuman kepengen tau langkah kalian selanjutnya." Tanya pak Soeryo Atmodjo. "Kami anak muda ingin masukan dari bapak, yang telah kami anggap sebagai salah satu panutan kami pak." Jawab Nathan. "Betul pak, yang jelas kami gak mungkin menempati villa Segede dan semewah itu, jadi kami perlu masukan dari bapak selaku panutan kami." "Semenjak bapak mendengarnya kalian membangun villa dengan konsep semewah itu. Bapak sebagai pebisnis langsung mengacungkan jempol, satu dan jika itu dijadikan villa sewa, tempat para orang berduit membutuhkan refreshing. Maka jempol bapak keempat-empatnya bakal maju." "Kami semua sepakat seperti itu, toh seandainya kami ingin beristirahat disana pun ada beberapa kamar yang bisa kami tempati. Untuk rumah tinggal kami juga masih punya lahan. Tapi paling tidak untuk sepuluh tahun kedepan." Kata Lia. Kemudian dia melanjutkan: "Untuk JM dan sesuai pendidikan yang didapat kami pasrahkan kepada Rara." Dua malam telah berlalu Enam Sekawan berada di rumah Rara dan telah menemukan kesepakatan bersama dan menjalankan tugas mereka masing-masing sesuai bidangnya. Perekrutan tenaga horse keeping sampai manajer yang menangani enam villa mewah itu. ……….. Malam itu Annisa tampak gelisah, dia merasa tak mungkin terus menerus berpura-pura lupa ingatan hanya untuk dekat dengan Rara anak yang diterlantarkannya, tapi jika dia mengaku ingatannya sudah pulih, si Soeryo bakal mengusirnya, sedangkan semua identitas dan semua miliknya sudah raib entah kemana, untuk mengurus jelas gak mungkin sebab nakal memakan waktu yang cukup lama. Kembali dia menyesali kebodohannya. Tapi parcuma itu sudah berlalu lalu begitu lama. Kini tinggal penyesalan dan harus menerima konsekuensinya. Walaupun aku pergi dari rumah ini dia tak memegang uang sepeserpun. "Lho mama kok belum bobo?" Sapa Rara membuatnya kaget serta membuyarkan lamunannya. "Mama cari duit, lupa taruh dimana, mama pengen belanja sendiri." "Emang mama mau beli apa?". Tanya Rara sambil memegang tangan dan jongkok di depannya. "Rahasia, anak kecil gak boleh tau." "Okey,besok pagi Rara ganti, emang uang mama berapa yang hilang." "Husss,bukan hilang. Tapi mama lupa tak taruh dimana. Itu uang tabungan yang mama cairkan kemarin. Enam puluh juta, dua ratus tiga puluh empat rupiah. Kata Annisa sambil berlagak bingung mencari di bawah bantal, sprei dan di kolong tempat tidur. "Mama, biar Rara ganti besok kita ke bank sama-sama." Pinta Rara. "Janji ya, inget catat baik-baik jangan kurang dan jangan lebih soalnya uang itu penting buat mama." Dicium nya kening Rara, lalu kembali ketempat tidur. Kembali dalam hatinya menangis. "Apakah aku harus pura-pura seperti ini?. Kalau seperti ini aku gak bisa berlaku seperti ibu layaknya seorang ibu yang menjaga dan memperhatikan anak, malah merepotkan." Pikir Annisa. Malam itu kegelisahan kian mencengkram hatinya. Perih, pedih, rasa bersalah dan pesan sang suami puluhan tahun yang lalu kembali mengiang, mengiang dan terus mengiang sehingga tak mampu menahannya. Tangis keras dan isak nya tak mampu ditahannya. Membuat Rara yang tidur disampingnya pun terbangun. "Mama,jangan sedih dan nangis begitu,Rara jadi ikutan nangis nich, sudahlah pasti ketemu kok, besok pagi Rara ambil uang sejumlah yang mama mau, ayo sekarang bobok lagi.” Pinta Rara. Dalam hati Annisa berkata: “Ini bukan soal uang sayang, ini soal pengakuan, bahwa mama yang ada disampingmu inilah yang melahirkanmu.” dilihatnya jam ternyata ini sudah jam 6 lebih, tapi dia sengaja gak berani bangun sebelum Soeryo Atmodjo sang suami pergi. Perlahan Rara turun dari ranjang berharap mamanya tak sampai terbangun, dan sebenarnya semalam-malaman dia gak bisa tidur. Selesai mandi, pagi itu Rara menemua sang papa. "Selamat pagi papa qiu tayank, ada sukacita hari ini." Diciumnya pipi sang papa. "Aduh." Kata Rara perlahan. "Kenapa sayang?" Tanya papa sedikit terkejut. "Kena tulang pipinya papa." Mendengar candaan pagi sang papa tersenyum. "Emang butuh berapa?" Papanya tau jantung hatinya lagi butuh uang cash. Rara meringis, lalu diciumnya lagi sang papa. "100." Kata Rara. Kemudian melanjutkan lagi. "Mau ke bank males Pa." Lanjutnya. "Coba liat ditempat biasa, kalau kurang nanti papa mampir ke bank." Katanya kemudian. "Sarapan yuk, tumben pagi ini papa laper banget." "Okey, tunggu sebentar pa." Rara masuk mengambil uang, lali di letakkan di samping mamanya yang lagi tidur. Diciumnya kening Mama perlahan. ……. "Rara minta rawon sama babat." Pintanya, setelah sampai di resto tak jauh dari rumah itu. Mereka ngobrol berdua. Saat asik membicarakan Enam Sekawan yang jarang ngumpul di rumah. Tiba-tiba hp Rara bunyi. "Iya dengan saya sendiri." Jawab Rara. "... … …" "Baik saya kesana sekarang… selamat pagi, terimakasih buat infonya." "Ada apa sayank?" Tanya papa. "Dari kantor polisi yang kemarin menghubungi Rara, katanya tas dan surat-surat serta identitasnya ditemukan, dan sekarang ada di kantor polisi." "Okey kita kesana, gak usah keburu-buru. Habisin sarapannya, baru kita meluncur kesana." Jam kantor memang jalanan macet, sehingga membuat Rara semakin gelisah. Melihat buah hatinya, sang papa tidak bisa berbuat banya kecuali hanya berkata : "Sebentar lagi sampai." Faktanya menurut Rara dari tadi belum sampai juga. "Satu tikungan lagi sampai neng." ………………..Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD