Chapter 2: A Man Who Likes to Rebel

1678 Words
Di belahan dunia yang lain, tepatnya di bawah langit London yang tak begitu cerah karena cuaca yang sedang mendung, seorang laki-laki muda berambut legam sedang merebahkan dirinya di atas kasur. Sebuah ponsel berlayar setelapak tangan sedang ia pandangi lamat lalu tak berapa lama ia bangkit, mendengus gusar seraya membanting benda yang dipegangnya tersebut ke lantai. “Shitt!” Diusaknya rambutnya yang berantakan sebelum akhirnya mengambil kembali ponsel yang telah retak layarnya itu dan memasukkannya ke dalam saku celana. Tanpa pikir panjang, langsung saja ia menggerakkan dua tungkainya menuju pintu kamar dan membantingnya dengan keras. Cukup keras hingga mengundang atensi seorang perempuan paruh baya yang sedang berada di lantai satu. “Kang Haneul! Apa yang baru saja kau lakukan?!” Perempuan berpenampilan elegan dengan gaun selutut bewarna broken white itu lantas mendongak, menatap pada sang putra yang telah menderapkan kakinya penuh hentakan, menuruni anak tangga. “Di mana dia?” sang putra yang dipanggil Haneul itu kontan bertanya begitu dua kakinya berpijak di hadapan sang ibu. “Siapa maksudmu?” “Appa.[1]” Sang ibu dengan nama Maryon Lee itu lantas menghembuskan napasnya pelan. Agaknya ia jengah karena memiliki firasat bahwa putranya tersebut akan kembali menyulut perdebatan dengan ayahnya. Seperti bagaimana yang sering terjadi akhir-akhir ini. “Kali ini kenapa lagi?” Maryon bertanya dingin. “Eomma[2]… jawab saja pertanyaanku.” “Jawab pertanyaanku lebih dulu.” Haneul mengerang tertahan lantas berusaha mengontrol emosinya sendiri yang sudah hendak meledak. Bagaimana pun ia tahu, bukan pilihan yang tepat jika ia harus melampiaskan segalanya pada Maryon. “Baiklah. Kalau eomma tak ingin memberitahuku. Aku akan mencarinya sendiri. Dia sedang di kantornya bukan?!” Lalu begitu saja, lelaki berpostur tinggi yang mengenakan kaos putih dan celana pendek selutut itu telah menderap lekas menuju pintu utama. Tapi kemudian, satu suara meninggi sang ibu berhasil menahannya. “Ya![3] Kang Haneul! Jangan membuat keributan di kantor ayahmu!” Haneul pun berbalik. Tak lagi menampilkan raut yang sama pada sang ibu. Kali ini tatapnya berubah dingin. Tidak seperti tadi sebagaimana ia masih menaruh rasa hormat pada Maryon selayaknya anak pada ibu. “Sejak kapan… kau peduli padanya?” Haneul bertanya sarkas seraya meloloskan satu tawa rendahnya yang sengaja dibuat. “Ah… aku lupa. Apa kali ini, demi wawancara palsu sialan itu lagi?” Satu senyum miringnya sukses memantik emosi Maryon. “Kang Haneul, jaga bicaramu!” “Eomma… sudahlah. Berhenti berakting di depanku.” Maryon bungkam sejenak dengan raut murka. Lalu perempuan itu melajukan kakinya cepat ke hadapan Haneul lantas menatap putranya itu dengan dua mata melotot. “Aku serius tentang kata-kataku barusan. Jangan melakukan apapun di kantor ayahmu. Kau lupa, akan jadi apa kau di perusahaannya nanti? Jangan jatuhkan harga dirimu sendiri dan mempermalukan ayahmu.” Sesuai dugaan Haneul, ibunya itu tak pernah benar-benar peduli selain karena hal-hal semacam itu. Semua yang ia pedulikan cuma soal pandangan orang lain. Alhasil, mendecihlah putra satu-satunya yang dimiliki Keluarga Kang itu lantas menderap kembali mendekat pada sang ibu. Maryon pikir, anaknya paling tidak akan mendengar ucapnya lalu naik kembali ke kamarnya dengan tenang—tanpa lagi memikirkan rencana gilanya. Tapi apa yang selanjutnya dikatakan Haneul, cukup untuk membuat darahnya berdesir lebih hebat. “JJebal[4]… kali ini sekali saja… bersikaplah sebagai ibuku, bukan orang lain.” Maryon tidak tahu kenapa bibirnya tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun sekarang. Terlebih ketika dua tungkai Haneul telah menderap cepat menuju pintu depan dan pergi begitu saja. **** Sesuai dugaan Maryon, Haneul benar-benar membuat keributan di kantor ayahnya. Seusai menerobos masuk ke ruang presdir yang terletak di puncak gedung berlantai sepuluh yang berada di tengah pusat bisnis London, Haneul yang tak jua menemui batang hidung sang ayah lantas menderap dengan sorot mata berapi-api menuju ruang lain yang berada di lantai dasar—tempat di mana kepala keluarga Kang itu sering menemui clientnya atau menghadiri sebuah wawancara penting. Dan tara! Benar saja. Begitu pintu bergagang dua yang didobraknya paksa itu terbuka, Haneul langsung dipertemukan dengan beberapa pasang mata yang menatapnya terkejut. Tak terkecuali Kang Jung Chul yang sontak berdiri begitu menyadari apa yang sedang terjadi dan siapa yang kini memandangnya murka di ambang pintu sana. “Ya! Kang Haneul!” Lelaki 49 tahun itu murka. Tapi Haneul yang membuat keributan tak lantas goyah. Lelaki yang merasa dirinya lebih layak untuk marah dibanding ayahnya itu kemudian menderapkan kakinya cepat mendekati Jung Chul. Dibantingnya ponselnya yang telah terbuka layarnya ke atas meja di dekat sang ayah lantas menghardik benda itu dengan telunjuk. “Ige mwoeyo?![5]” Kentara sekali, Haneul sedang tak main-main dengan emosinya. Jung Chul berusaha meredam amarahnya sendiri dengan menghembuskan napasnya pelan lantas mencoba berdamai dengan menuruti keinginan anaknya untuk menatap ke layar ponsel di depannya. “Bukankah sudah kukatakan bahwa aku sendiri yang akan memutuskan masa depanku! Jadi apa ini? Aku tak pernah bilang akan—“ “Pulang sekarang. Kita bicarakan ini di rumah.” “Appa![6]” Jung Chul tak merespon. Lelaki berjas gelap itu justru memerintahkan asistennya untuk mengumpulkan semua berkas rapatnya dan meminta beberapa bawahannya yang hadir di sana untuk pergi. Tapi belum sempat seluruhnya meninggalkan ruangan, satu suara meninggi Haneul berhasil membuat semuanya tersentak. “Presdir Kang Jung Chul!!” Sungguh demi apapun, Jung Chul ingin menampar anaknya ini sekarang. Tapi ia yang menyadari bahwa masih banyak pasang mata yang menatapnya sekarang, jadilah ia hanya bisa menenggak amarahnya sendiri dan melampiaskannya lewat sebuah tatap berapi-api. “Kau tidak mendengarku? Pulang sekarang!” Dengan intonasi ditekan, Jung Chul berujar. “Jelaskan semuanya padaku sekarang. Di sini. Sekarang juga.” Kang Haneul bersikeras. “Ya! Kang Haneul!” Haneul yang tetap bersikukuh berdiri tegak di depan sang ayah dan menatapnya nyalang akhirnya memaksa Jung Chul untuk tetap bertahan di ruangan yang sama. Alhasil, seusai memastikan seluruh bawahan dan asistennya pergi, Jung Chul mengendurkan dasi yang melilit lehernya. Barulah setelahnya, tanpa buang-buang waktu, ia langsung melayangkan sebuah tamparan keras di wajah Haneul. “Neo michyeosseo?![7]” Kepalang emosi, Jung Chul nyaris memaki dalam bahasa ibunya. Agaknya ia patut sedikit bersyukur bahwa pembicaraannya dan Haneul sejak tadi sebagian besar dilakukan dalam Bahasa Korea, sehingga pekerja dan asistennya tak dapat mengerti. Tapi tetap saja, melihat bagaimana Haneul menerjang masuk dengan dua mata membara dan intonasi suara yang tinggi, siapapun akan paham pembicaraan semacam apa yang sedang terjadi di antara keduanya. Pertengkaran ayah dan putra. “Kau ingin menghancurkan reputasiku?!” Jung Chul yang masih emosi kini menghardik Haneul dengan telunjuknya. “Dasar anak tidak tahu—“ “Wae?![8] Kenapa kau baru menamparku sekarang?” Haneul melawan sang ayah dengan sebuah tatap berani lalu ia tertawa sebentar. “Ah matta[9] karena orang-orangmu masih di sini. Karena mereka masih melihat kita. Bukan begitu, appa?” Jung Chul ingin sekali menampar wajah anaknya itu sekali lagi. Tapi Haneul yang agaknya tak ingin membiarkan pukulan keras itu mengenai wajahnya lagi kali ini telah lebih dulu mengintimidasi sang ayah. Didekatkan tubuhnya yang lebih tinggi pada Jung Chul lantas di depan wajahnya, Haneul berujar tanpa rasa takut. “Aku… tidak akan pernah berada di tempat ini.” Haneul menunjuk lantai di bawahnya dengan gigi gemerutuk yang agaknya cukup untuk membuat Jung Chul terhenyak. Bukan apa, jauh sebelum ini, Haneul tak pernah menunjukkan perlawanan seberani ini. Ia memang anak pembangkang yang senantiasa melakukan apapun kemauannya tanpa memperdulikan orang lain—terutama orang tuanya. Tapi biasanya, Haneul hanya akan komplain sebentar, marah-marah sesaat, tanpa pernah menunjukkan sorot mata seteguh dan semarah sekarang. Lantas, yang dilihat Jung Chul detik ini bukanlah isapan jempol semata. “Pernahkah sekali saja appa dan eomma mendengar pendapatku?” Satu pertanyaan Haneul tak mendapati jawaban apapun dari Jung Chul yang masih menatapnya murka. Reaksi tersebut lantas mengundang satu senyum miris yang dihadirkan di wajah tampan Haneul. Sebuah wajah yang ia wariskan dari kedua orang tuanya. “Bahkan untuk hal seremeh ke mana aku akan pergi dan siapa yang harus kutemui. Sampai kapan aku harus menuruti kalian?” “Ya! Kang Haneul! Kau tahu—“ “Aku tahu! Semua demi kebaikanku. Bukankah itu yang ingin kau katakan, appa?” Jung Chul mendesis. “Tapi kurasa 21 tahun bukan waktu yang sebentar. Sudah cukup…” “Kali ini jangan membangkang lagi dan ikuti saja semuanya! Kau sudah diterima di kampus terbaik dan akan melanjutkan studimu di sana. Setelahnya kau bisa langsung masuk ke perusahaan ini. Semua sudah disiapkan sebaik itu jadi kau jangan merusaknya. Cukup ikuti saja—“ “Mau sampai kapan?! Sudah kubilang berhenti memperlakukanku seperti boneka!” “Ya! Kau bukan boneka! Kau putraku—“ “Lalu perlakukan aku selayaknya putra kalian!” Satu bentakan Haneul cukup berhasil membuat Jung Chul terdiam. Ada hening yang menyelimuti ayah dan anak itu selama sepersekian detik, sebelum akhirnya Haneul yang telah mencoba meredam emosinya kembali bersuara. “Terserah kalian ingin mengaturku bagaimana selama ini tapi untuk masa depanku. Aku yang akan memutuskan.” Haneul kemudian menyambar ponselnya yang masih tergeletak di meja lantas menghadapkan layarnya ke hadapan muka sang ayah. “Dan ini! Aku tidak akan pernah pergi ke sana. Persetan dengan semua yang telah kau siapkan, appa… aku! Aku akan menjalani semuanya dengan caraku mulai sekarang.” “Apa maksudmu?” “Mulai sekarang berhenti mengaturku dan memperlakukanku layaknya boneka kalian.” Haneul kemudian membanting keras ponselnya ke lantai hingga kali ini layarnya benar-benar hancur dan padam. “Aku tidak akan pernah menginjakkan kakiku di tempat ini lagi ataupun rumah itu lagi.” “Ya! Kau mau ke mana? Apa maksudmu?!” teriakan Jung Chul berhasil menghalau jejak Haneul yang baru saja berjalan memunggunginya beberapa langkah. Kali ini lelaki berhidung tinggi yang dipanggil itu pun berbalik, memandang pada sang ayah dengan sorot mata tajamnya. “Aku akan pergi… dan jangan sekalipun mencoba untuk mencariku.” Begitu yang ia ucap sebelum akhirnya menderapkan kakinya cepat, meninggalkan Jung Chul yang berulang kali meneriakinya tanpa mendapati balasan. ****   [1]              Appa: Ayah. [2]              Eomma: Ibu. [3]              Ya!: Hei! [4]              Jjebal: Tolong/kumohon. [5]              Ige Mwoeyo?: Apa ini? (Bahasa sopannya) [6]              Appa: Ayah. [7]              Neo michyeosseo?!: Kau sudah gila?! [8]              Wae?!: Kenapa? [9]              Ah matta: ah benar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD