Chapter 1: A Girl Who Doesn't Talk Too Much

1174 Words
Minggu pagi di musim semi yang cerah adalah hari paling indah menurut Moon Hae. Selain karena dirinya dapat menyaksikan bentangan langit bersih yang ditaburi awan putih, ia juga dipertemukan dengan pohon-pohon berbunga cerah yang biasanya berdiri sejajar di kiri kanan jalan. Terutama pekarangan Panti Asuhan Manse yang menjadi lokasi paling sering ia lalui. Ada sekitar empat tahun ia telah menetap di panti asuhan tak terlalu besar ini. Bersama dengan seorang pemilik sekaligus ibu asuhnya—Kim Da Hee—yang berhasil membantunya untuk kembali bangkit dan meneruskan hidup. Memang, sebuah peristiwa traumatis di masa lalunya adalah satu-satunya alasan mengapa ia kini berada di tempat ini. Di malam beku mengerikan itu, Moon Hae dipaksa kehilangan satu-satunya keluarga yang ia miliki. Pada tengah malam yang sepi itu, ia dikurung di sebuah apartemen mewah yang tak pernah ia tahu di mana tempatnya dan siapa sosok yang melakukan segala tindakan b***t padanya. Sampai akhirnya, Tuhan menghadiahkannya kebebasan. Sebuah kesempatan yang syukurnya tak ia sia-siakan. Dan begitulah bagaimana ia kini kembali meneruskan hidupnya. Meski semua tak lagi sama. Moon Hae yang dulu telah mati, berganti menjadi gadis 21 tahun yang tampak bodoh dan sering dikira tuna rungu. Tapi baginya itu bukan masalah. Moon Hae memang tak pernah lagi menaruh asa apalagi impian. Ia sudah enggan untuk berekspektasi apapun pada hidupnya. Yang ia tahu dan sering Ibu Kim sampaikan adalah bahwa hidupnya berharga. Bahwa ibunya tak akan pernah senang jika ia menyerah begitu saja. Jadi, Moon Hae akan menjalani semuanya sebagaimana adanya. Tanpa ada yang perlu dipaksakan. Mengalir mengikuti takdir. “Moon Hae noona![1] Ibu Kim mencarimu!” Sebuah panggilan dari balik punggungnya, menginterupsi sesi merenung Moon Hae yang sedari tadi asyik memandangi dahan pohon Sakura di hadapannya. Gadis berambut bob itu kemudian berbalik. Memasang seulas senyum cerahnya yang langsung berhasil menulari si anak lelaki berusia 17 tahun. “Ibu Kim di mana?” begitu tanyanya. “Di dapur. Kau harus ke sana sekarang,” jawab anak laki-laki berseragam SMA dengan nametag Ong Jae Min tersebut. Lalu Moon Hae pun mengangguk. Sebuah anggukan yang dibalas serupa oleh Jae Min. Tapi sebelum menderapkan langkahnya menuju dapur, Moon Hae menyempatkan diri menyisiri tampilan Jae Min dengan tatap seolah bertanya, “mengapa memakai seragam di Hari Minggu?” dan agaknya remaja berambut legam itu mengerti. Mengangguklah ia seraya menjawab, “sekolahku ada kegiatan amal hari ini, jadi kami akan pergi ke sebuah panti jompo.” Merasa pertanyaannya terjawab, Moon Hae yang tak banyak bicara itu lantas tersenyum. Menjulurkan tangannya ke puncak kepala Jae Min untuk selanjutnya ia tepuk-tepuk pelan dengan kedua mata berbinar. Sebuah tindakan yang selalu berhasil membuat hati Jae Min merasa tentram. **** Pemilik panti bernama Kim Da Hee itu tampak sedang sibuk mengaduk sepanci besar seolleongtang[2] ketika Moon Hae datang ke dapur yang tampak cukup hectic. Beberapa suster dan penghuni panti lainnya terlihat menyibukkan diri dengan aktivitas masing-masing. Ada yang sedang mengiris daging, mencuci beras, memotong daun bawang atau mengaduk masakan di atas tungku yang berjumlah lima buah. Memang, selain mendapat sokongan dana pribadi dari sang pemilik maupun beberapa donator, Panti Asuhan Manse juga menggerakkan sebuah bisnis katering kuliner yang cukup membantu dalam memenuhi kebutuhan panti. Dengan kemampuan memasaknya, Da Hee mengajari beberapa bawahannya, suster serta anak-anak panti yang sudah dewasa dan bersedia untuk bergabung dengan tim dapur. Tak terkecuali Moon Hae. Meski gadis yang sering merunduk itu tak pernah benar-benar bisa terlibat di dalam dapur, namun ia dipercaya sebagai pengantar pesanan. Sekarang adalah tahun keduanya menyandang satu tanggung jawab itu. Bukan cuma dia, ada anak-anak panti lainnya seperti Jae Min yang juga dengan senang hati menawarkan diri ketika mereka sedang senggang atau tidak sekolah. Seperti bagaimana Da Hee selalu memperlakukan anak-anak di pantinya, begitu pula anak-anak itu tumbuh menjadi pribadi yang menyenangkan juga baik. “Moon Hae, kau sudah sampai!” Da Hee menyapa antusias seraya meletakkan centong yang sedari tadi ia pakai untuk mengaduk, lalu bangkit dari posisi duduknya. “Kemarilah, ada yang ingin ibu beritahu padamu.” Dengan menurut, Moon Hae menderapkan kakinya mendekati Da Hee lalu berdiri di sampingnya. “Hari Senin besok, Seori tidak bisa mengatar pesanan. Kau tahu kan, sakitnya kambuh lagi. Mungkin kali ini ia akan dirawat cukup lama.” Ada binar kesedihan kala Da Hee bercerita tentang salah satu anak asuhnya tersebut. Tapi tak berapa lama, ia mengalihkan tatapnya memandang Moon Hae. Menampilkan satu senyum tulus yang diikuti dengan gerak pelan tangannya menyibakkan poni Moon Hae yang menutupi dahi gadis itu. “Jadi… bisakah untuk besok, kau mengantar bagiannya? Nanti bagianmu yang di malam hari akan dibantu oleh Jae Min, sepulang sekolahnya. Tadi ibu sudah membahas ini dengannya dan dia setuju. Bagaimana denganmu?” Moon Hae yang masih betah memandangi lantai di bawahnya tak bereaksi apa-apa. Entah apa yang ada di kepala gadis itu tapi melihatnya yang tak jua mengangguk atau menggeleng, lantas membuat Da Hee cepat-cepat berujar lagi. “Baiklah, kau tidak usah memaksakan dirimu. Kalau kau tidak mau, tidak apa-apa. Katakan saja, Moon Hae-ya…”[3] Gadis yang diajak bicara itu akhirnya perlahan mengangkat wajahnya, membalas tatapan sang ibu asuh. Tapi Da Hee tak pernah tahu hal apa yang membuat ia tampak ragu untuk memutuskan. “Ya sudah, kembalilah. Besok ibu akan meminta anak-anak yang lain untuk menggantikan Seori.” Bukannya menurut, Moon Hae justru bersikukuh di tempatnya. Ia tak bergerak sama sekali bahkan ketika Da Hee mencba menuntunnya untuk keluar dari dapur. “Moon Hae, waeyo?” Si gadis yang ditanyai masih bungkam. “Ada yang ingin kau katakan?” Kali ini dua tangan Moon Hae yang bertaut terlihat diremat-rematnya resah. Menyadarinya, lantas Da Hee menyusul jemari itu dan menangkupkan tangannya lembut, memberi ketenangan. “Aku mau…” akhirnya keluar juga sebait kalimat itu dari mulut Moon Hae. Memang, sejak kedatangannya ke panti, Moon Hae dikenal sebagai gadis yang sangat pelit bicara. Ia hanya mau bersuara pada orang-orang yang sudah sangat dipercayainya seperti Da Hee yang akrab disapanya Bu Kim ini dan juga Jae Min. Pada yang lain, ia jarang berkomunikasi. Paling hanya menjawabi pertanyaan mereka dengan sebuah gelengan atau anggukan. Sebuah kebiasaan yang pada akhirnya tak jarang membuat ia disalahpahami sebagai seorang penyandang disabilitas. “Kau mau?” Da Hee agaknya tak begitu mengerti. “Menggantikan Seori untuk besok?” dengan hati-hati, wanita paruh baya itu mencoba menebak. Ternyata dugaannya tepat karena tak berapa lama Moon Hae menjawabnya dengan sebuah anggukan pelan. “Benarkah?” Sekali lagi gadis itu mengangguk. Lalu setelahnya Da Hee menganggukkan kepalanya sendiri dengan seulas senyum lebar yang diiringi dengan sebelah tangannya yang mengusap sebelah pipi Moon Hae lembut. “Baiklah. Besok pagi pukul delapan, datanglah ke mari untuk mengambil pesanannya.” Untuk ketiga kalinya Moon Hae menganggukkan kepala. Hanya saja kini seulas senyum tipisnya ikut menyertai. ****   [1]              Noona: panggilan dari laki-laki yang lebih muda (adik laki-laki) kepada perempuan yang lebih tua (kakak perempuan). [2]              Sup khas Korea yang terbuat dari rebusan tulang sapi dengan isi udon, daging tipis, bawang dan garam. Sup ini memiliki kuah seputih s**u karena rebusan tulang sapi yang begitu lama (sampai berjam-jam dan merubah warna rebusannya). [3]              Waeyo: Bahasa sopannya, “kenapa?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD