Prolog

288 Words
“Moon Hae! Moon Hae! Kau mendengarku?!” Di bawah langit malam yang kelam, hanya berpayung dahan pohon tanpa daun yang sebagiannya tertutupi salju tebal, seorang gadis berambut bob tampak terduduk lemas di bawahnya. Dua mata gadis itu terlihat sayu dengan kondisi wajah berantakan dan beberapa bercak darah di bagian sudut bibir juga puncak pipinya. Seorang wanita paruh baya yang baru saja berteriak memanggil namanya, kini beranjak menarik tubuh dinginnya masuk ke dalam pelukan. “Moon Hae! Kumohon, sadarlah!” Lalu begitu saja tetes demi tetes air mata mengalir di wajah tak lagi muda itu. Dari balik tatap kaburnya, gadis yang dipanggil Moon Hae itu dapat melihat bagaimana wajah familiar di depannya ini sedang menatapnya cemas. Di balik rasa sakit yang ia rasakan di sekujur tubuhnya, Moon Hae dapat merasakan bagaimana peluk hangat perempuan itu berhasil melelehkan air mata dari kedua pelupuk matanya. “Eomma…” hanya itu yang berhasil ia lenguhkan sebelum akhirnya satu sosok lain muncul. Menarik paksa wanita 40-an yang dipanggil ibu itu lantas membanting tubuhnya ke jalanan. Moon Hae tak dapat melihat dengan jelas apa yang dilakukan laki-laki yang juga bertanggung jawab atas segala luka di tubuhnya itu. Tapi satu yang bisa ia tangkap adalah… tubuh ibunya berselang tergeletak di atas aspal. Salju putih bersih yang tadinya menutupi jalanan tersebut lambat-laun dialiri cairan kemerahan. Darah yang berasal dari tubuh renta yang kini bergetar itu agaknya cukup untuk membuat Moon Hae berteriak histeris. “Eomma!” Tapi berapa kali pun ia memanggil, tubuh meringkuk yang memunggunginya itu tak lagi pernah menyahut. Ibunya meninggal malam itu dan tepat setelahnya, tanpa memberinya kesempatan untuk mengucap salam perpisahan, Moon Hae diseret paksa ke suatu tempat. Sebuah tempat yang tak akan pernah ia lupakan, seumur hidupnya. ****  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD