Allah memang Maha Adil. Aku dikhianati dua kali, tapi tergantikan dengan calon suami baru yang jauh lebih baik dari sebelumnya bahkan mendekati sempurna. Siapa yang menyangka kalau pria yang kukejar, kini datang melamar. Pria yang selalu bersikap dingin, justru datang memberi kejutan yang tak pernah dibayangkan.
Uhm-- keknya bagus kalau buat cerita 'jodohku tetanggaku. Haha.
Aku masih terpaku dengan mata mengerjap cepat dan sesekali menguceknya. Masih sulit percaya dengan apa yang kulihat sekarang. Mimpikah?
"Mila." Mas Mustafa tersenyum.
Astaga! Tolooong ... aku langsung meleyot rasanya lihat senyum langka itu.
Ah, jangan-jangan ini mimpi lagi?
Aku menepuk-nepuk pipi sendiri, lalu mengigit ibu jari. Sakit.
"Ini nyata?" seruku yang membuat mereka semua langsung tertawa.
"Lucu calon istri kamu, Mus," ujar wanita yang usianya hampir sebaya dengan Ibu.
"Jum." Ibu mencolek pinggang seraya sedikit melotot. "Jangan bikin malu."
Ibu dan Bapak yang baru menyusul ke sini, berdiri di samping kiri-kanan sambil menyapa ramah mereka.
"Pak, aku enggak lagi mimpi, 'kan?"
"Ya enggak."
"Jum!" pekik Ibu.
Ibu dan Bapak kompak menahan punggungku saat hampir terjatuh.
"Bangun, Jum. Enggak usah akting. Masa orang pingsan kakinya masih nahan," kata Bapak disertai tawa kecilnya.
Aku kembali membuka mata dan mencebik sebal.
"Bapak enggak cs. Kali-kali, Pak, aku pingsan. Biar dramatis gitu kayak di film-film," cicitku yang disambut gelak tawa semua orang yang ada di sini.
"Maafin anak kami. Dia memang orangnya konyol," ujar Ibu.
"Enggak apa-apa, Bu. Saya malah senang dengan karakter Mila yang apa adanya," sahut wanita yang sempat memujiku lucu tadi.
"Mari masuk." Bapak tersenyum ramah sembari membuka pintu lebar-lebar.
Aku tadinya hendak mendekat pada Mas Mustafa agar bisa berjalan bersama dengannya, tapi Ibu malah menarikku lebih dulu menuju dapur.
"Enggak usah centil. Masih calon, belum jadi suami beneran," bisik Ibu seraya terus menuntunku.
"Siapa yag centil? Cuma mau jalan barengan aja, kok."
"Jaga image sedikit, Jum. Jangan sampai dia sama keluarganya jadi ilfeel sama kamu nanti."
"Siap, Kanjeng Ratu."
"Iiih, anak ini kalau dikasih tahu." Ibu mencubit gemas lenganku. "Ayo bantu bawain minuman sama camilan."
Aku sempat berhenti dan menoleh ke belakang, tersenyum simpul pada calon suamiku yang sudah duduk di sana bersama keluarganya.
"Jumilah!"
"I–iya!" Aku bergegas menghampiri Ibu yang melototiku dari dapur.
Jodoh memang datang tak terduga. Aku yang menjomlo cukup lama, tak menyangka sebentar lagi akan memiliki pasangan hidup. Aku hanya berharap, kejadian pahit di masa lalu tidak terulang lagi. Dua kali gagal menikah karena dikhianati, aku masih mampu bertahan dan tegar. Entah jika hal itu terulang lagi.
"Silakan diminum dulu," ujar Ibu seraya menyajikan camilan ringan, sedangkan aku membantu membawakan minuman.
Sempat aku melirik Mas Mustafa yang diam saja sejak tadi. Tatapan mata kami sempat bertemu sesaat, tapi dia malah memilih menunduk dan mengetik sesuatu di ponsel.
Diih, kok dingin lagi, sih?
"Sini, Jum, duduk." Bapak menepuk sofa kosong di sebelahnya.
Aku mengangguk, lalu duduk diapit Bapak dan Ibu. Aku yang terbiasa ceplas-ceplos dan cuek, ternyata bisa merasa gugup juga. Sedari tadi jantungku dag-dig-dug ser tak karuan. Hanya saja, sebisa mungkin tidak kutunjukkan kegugupan ini di hadapan mereka semua.
Wanita yang memujiku lucu tadi ternyata adalah mamanya. Beliau sangat ramah dan murah senyum. Benar-benar berbanding terbalik dengan putranya yang super dingin. Beliau datang dari luar kota ditemani dua orang kerabat, yaitu pamannya Mas Mustafa dan istrinya.
Kedua keluarga begitu serius membicarakan perihal pernikahan. Hanya aku seorang yang tak bisa fokus menyimak percakapan mereka. Rasanya, masih sulit kupercaya dia datang melamarku dengan tiba-tiba.
Baru membayangkan kami berdiri di pelaminan dengan gaun pengantin cantik saja, membuat senyum ini tak mampu dikendalikan. Terlebih lagi ketika membayangkan dia membopongku menuju kamar pengantin kami, aku tanpa sadar terbahak karena itu.
"Jum?" Ibu menyenggol lenganku.
Aku menoleh dan mendapati Ibu sedikit melotot. Setelah itu, kuedarkan pandangan pada mereka semua yang ternyata tengah menatap padaku.
"Maaf." Aku nyengir kuda.
Tahan diri, Jumilah. Tahan diri.
"Jadi, gimana, Nak Mila? Diterima enggak lamar—"
"Diterima!" sahutku cepat seraya spontan berdiri dan tersenyum senang.
Siapa yang bisa nolak rezeki nomplok begini? Ya, kan? Kesempatan super baik seperti ini belum tentu datang dua kali.
"Duduk." Ibu menarikku kembali duduk, lalu menggandeng lenganku dengan kuat. "Jangan bikin malu atuh, Jum," bisiknya yang kutanggapi hanya dengan senyuman dan garukan kepala.
"Mau, kan, jadi istrinya keponakan Om yang ganteng ini?"
"Ya maulah. Mau banget," sahutku sambil mesem-mesem.
Ibu spontan mencolek pinggang ini sampai aku menggeliat geli, tapi Bapak dan yang lainnya justru tertawa, kecuali calon suamiku itu. Dia sedari tadi belum terdengar mengatakan satu kata pun.
"Mus," panggil mamanya seraya mencolek lengan calon suamiku itu. "Simpan dulu hapenya. Bisa?"
Dia mengangguk. "Maaf," ucapnya, kemudian memasukkan ponsel ke saku celana.
Meski sesekali dihiasi dengan kekonyolanku, tapi acara lamaran ini berjalan dengan baik. Mamanya memakaikan cincin padaku sebagai simbol pengikat. Beliau juga memberikan kotak perhiasan yang berisi sebuah kalung dengan liontin bulan.
"Kalung ini amanah dari almarhum papanya Mustafa untuk kamu," ujar mamanya yang bernama Amira sembari tersenyum ramah.
Aku balas tersenyum. "Terima kasih, Tante."
Obrolan berlanjut lebih jauh lagi. Hngga akhirnya, kedua keluarga sepakat pernikahan akan digelar satu bulan dari sekarang. Aku jelas senang bukan main. Andai Ibu tidak memegangi erat lenganku, aku pasti sudah melompat riang dan salto di hadapan mereka.
Ternyata, selama ini aku dipermainkan oleh Mas Mustafa dan Bapak. Mas Mustafa sebenarnya sudah tahu tentang diriku, karena acara lamaran ini memang sudah dibicarakan jauh dari sebelum dia pindah ke sini. Dia berkata, jika dirinya berpura-pura seperti itu hanya untuk mengenali karakter asliku.
Untung lamaran tetep jadi. Coba kalau dia mundur pas tahu calon istrinya sengklek begini. Gigit jari, deh.
"Mesam-mesem terus," goda Ibu yang membuatku semakin tersipu.
Selesai berbincang, acara dilanjutkan dengan makan bersama. Aku senang melihat keluarganya yang bisa menerima keluarga kami apa adanya. Mereka yang terbiasa tinggal di rumah mewah, tetap terlihat santai dan nyaman meski harus makan dengan cara lesehan di karpet. Bukan tidak boleh makan di meja makan. Hanya saja, jumlah kursinya tidak cukup untuk kami semua.
???
Dalam rentan waktu sebulan itu, kami berdua menyiapkan acara pernikahan dibantu banyak orang. Minah dan Leha juga ikut membantu. Mereka masih tak percaya sekaligus ikut bahagia mendengar sahabatnya ini tiba-tiba akan menikah dalam waktu singkat dengan pria yang baru dikenal.
Sementara Asep, jelas dia sangat kaget dan terluka ketika aku mengabari hal ini. Bahkan, dia belum pernah menunjukkan batang hidungnya lagi di depanku. Setiap kali kami tak sengaja bertemu, dia selalu menghindar dan memilih jalan lain.
Sejujurnya, aku sedikit merasa bersalah, tapi mau bagaimana lagi? Jodoh tidak ada yang tahu. Lagipula, cinta memang tidak bisa dipaksakan, bukan?
"Asep!" panggilku ketika tak sengaja melihatnya mengintip ke rumah ini dari balik pohon mangga.
Dia hendak pergi, tapi aku sudah lebih dulu berlari keluar mengejarnya.
"Tunggu, Sep!" Aku berhasil mencekal lengannya.
"Kenapa?" tanyanya tanpa menatapku.
"Maaf."
"Kenapa kamu minta maaf?" Kali ini Asep tak lagi menghindari tatapanku.
"Maaf atas sikap kasarku selama ini. Maaf juga karena aku enggak bisa terima lamaran kamu. Terima kasih ... terima kasih sudah mencoba berjuang untukku."
Ah, kenapa hatiku tiba-tiba jadi perih begini?
"Asep?" panggilku karena dia hanya diam memandangku.
Asep tersenyum, senyum yang tersirat penuh luka. Aku bisa melihat jelas itu dari sorot matanya.
"Enggak apa-apa. Kamu enggak usah minta maaf. Mau terima ataupun nolak, itu udah jadi hak kamu. Maaf juga kalau aku sering maksa ini-itu dan sering gangguin kamu."
Aku tersenyum lega.
"Tapi kalau kamu berubah pikiran, terus mau kabur dari pernikahan dan terima cintaku, aku siap, kok."
"Ish!" Aku spontan memukul lengannya.
Kami tertawa bersama untuk beberapa saat, lalu sama-sama terdiam kembali.
"Selamat, ya, Mil. Semoga dia memang pilihan yang tepat untukmu." Asep mengulurkan tangannya.
Kusambut uluran tangan Asep dan balas menjabatnya sambil tersenyum. "Makasih, Sep."
Asep terdiam memandangku dan enggan melepaskan jabatan, meski aku mencoba menariknya.
"Asep?"
Asep tersadar dan segera melepaskan tangannya, lalu membuang muka sambil menggaruk kepala.
"Aku pulang, ya." Dia langsung berbalik dan pergi begitu saja.
"Asep!" panggilku yang membuatnya kembali berhenti melangkah.
"Kamu nanti datang, 'kan?"
Asep terdiam tanpa menoleh ke sini sedikit pun. Setelah itu, dia kembali melanjutkan langkahnya tanpa menjawab pertanyaanku tersebut.
Maaf ....
"Jum!"
Aku yang sedari tadi tertegun memandangi kepergian Asep, langsung menoleh saat mendengar Bapak memanggil.
"Ayo masuk! Kenapa malah bengong di situ?"
"Iya, Pak!" sahutku kemudian pergi setelah sempat memastikan sosok Asep tak terlihat lagi.
???